Sekecil Apapun Kebahagiaan mari kita rayakan dengan ngopi!!!!!

Sabtu, 27 Desember 2014

Filosofi Ponokawan



Awal kemunculan wayang di Jawa menjadi bukti akulturasi budaya. Sekaligus menjadi media penyebaran agama Islam bagi wali songo terkhusus Sunan Kalijaga sebagai pencipta wayang –punakawan.
Akan tetapi, tingginya arus globalisasi sedikit demi sedikit menggeser dunia pewayangan di Indonesia. Penulis amati, agaknya globalisasi yang tengah hangat ini mampu menggantikan pewayangan yang sejak dahulu ada. Tidak dapat dipungkiri, kecenderungan memilih melihat konser band luar negeri dibanding budaya sendiri, wayang. Padahal, epistemologi pewayangan Indonesia jauh di atas produk globalisasi tersebut. Nilai yang terkandung melebihi dari sekadar alunan syair kontemporer saat ini.

Wayang yang selama ini kita sanggap jadul ternyata menyimpan keindahan filosofi pada setiap tokohnya. Penulis teramat berkesan dengan keindahan tokoh Punakawan yang kerap mewarnai pementasan wayang di Indonesia. Bahkan menjadi idola bagi para penikmat wayang. Ternyata 4 pandawa Punakawan mempunyai filosofi luhur yang diambil dari bahasa arab.

Tokoh Punakawan yang terdiri atas Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong ini mempunyai nama yang diambil dari bahasa arab. Semar dari kata Syimar, Gareng (Khairan), Petruk (Fatruki) dan Bagong (Bagho). Keempat kata arab tersebut jika digabungkan mempunyai makna Syimar Khairan, Fatruki Bagho yakni “sebarkan kebaikan, jauhi kejelekan”. Selain itu, Semar juga mempunyai semboyan “Begegeg Ugeg Ugeg, Mel Mel Sadulito”. Jadi orang harus kokoh, jangan mudah goyah, harus teguh pendirian. Menuntut ilmu sedikit demi sedikit, tapi tanpa henti. Sungguh keindahan filosofi dan itu warisan luhur bangsa kita sendiri.
Penulis semakin bergairah mencintai Indonesia lewat budaya wayang. Ini dikarenakan, tokoh Punakawan tidak hanya menjadi stimulus dunia wayang, tetapi membawa nilai-nilai luhur melalui sifat yang mereka punyai. Semar, sebagai sang bapak bagi ketiga pandawa. Meski berpenampilan jelek, ia merupakan simbol kebaikan. Mempunyai kesaktian, kedalaman ilmu, dan kearifan jiwa.

Gareng, dalam kisahnya menjadi simbol manusia pandai. Namun, kepandaiannya itu tidak diikuti dengan kecakapannya dalam mengemukakan pandapat. Berbeda dengan Gareng, Petruk menyimbolkan manusia yang banyak bicara akan tetapi tidak sepandai Gareng.
Terakhir Bagong, merupakan bayangan dari Semar. Bagong mempunyai pribadi lancang, suka mengemukakan kritikan pedas dan penuh kebijakan. Hampir mirip dengan para pemimpin di negeri ini yang penuh kebijakan. Tapi sayang, realisasi yang masih belum optimal.
Dari keempat pandawa di atas, ada satu tokoh yang kiranya mampu menjadi panutan bagi para pemimpin negeri. Tokoh itu ialah Semar Bodronoyo. Sosok yang mempunyai kadigdayan, kasekten, spiritualis, serta sebagai sosok pemimpin yang kharismatik dan rasional.
Semar merupakan tokoh spiritual yang selalu ada di balik layar sebuah dinamika dan mekanisme yang adil dan demokratis. Menariknya, Semar akan segera pergi begitu mendapati kekuasaan dijalankan dengan corrupt dan tidak adil (diskriminatif). Dalam ceritanya ia berteman dengan seluruh imperium di dalam kekuasaan dunia dan pusat kekuasaan teologis para dewata di kahyangan joggring saloka.1)
Tokoh tersebut adalah hasil kebudayaan Indonesia, sejak dulu hingga sekarang kita kenali. Ironisnya, apakah para pemimpin kita sudah melupakan arti penting dari kebudayaan tersebut?
Epistemologi punakawan tidak akan menjadi filosofi kering jika kita sebagai generasi peradaban mampu memaknai dan menerapkan dalam kehidupan nyata. Punakawan haruslah menjadi tuntunan bagi generasi bangsa. Menambah kecintaan masyrakatnya terhadap keluhuran budaya.
Sungguh budaya yang mampu memikat hati penulis. Memahami, mengapresiasi, serta menjunjung tinggi, inilah caraku mencintai negeri.


Sumber : Mulkhan, Abdul Munir. 2003. Dari Semar ke Sufi. Yogyakarta: Al Ghiyats.

Kamis, 25 Desember 2014

Pahami Aroma Kopimu dalam Majlis Al-Ngopihitamiyah

   
"Kopi. Selalu ada saja cerita tentangnya. Kopi memiliki ruang cerita sendiri dalam kotak hidupku: Lebih dari semacam minuman penghilang kantuk, tetapi menjadi semacam filosofi dalam hidup so mari kita pahami aroma kopimu dalam Majlis Al-Ngopihitamiyah."

Hari yang berlalu semakin cepat jika kita saat bisa menikmatinya tanpa ada masalah yang menggangu. Apalagi saat kita buka majlis Al ngopihitamiyah he....  itulah istilah nongkrong bareng kawan-kawan dan menikmati secangkir kopi hitam panas yang kental di waroeng kang ilik  
        Selera tiap orang dalam menikmati kopi berbeda - beda. Entah itu kopi hitam, kopi susu, kopi putih (white coffee), atau yang lainya.. tapi kita tetap sama tak ada yang membeda-bedakan kita hanya penikmat kopi.
      
        Waktu saya ngariung bareng teman-teman di pangkalan waroeng kang ilik.  kemudian kami memilih untuk memesan kopi sesuai dengan selera masing-masing yang pasti kopi hitam itu seleraku. ada satu hal yang kalian harus ketahui, kenapa sih minum kopi harus sruput? selain masih panas supaya aroma kopi lebih terasa mungkin sebagian orang mengenal kopi hanya berwarna hitam dengan rasa pahit doang dan ternya di balik hitam kopi banyak filosofi bagi kehidupan yang tersimpan jika kita mau mempelajarinya dan banyak hal yang bisa kita petik dari aroma atau pun kejadian pas waktu kita ngopi mari kita pahami aroma kopimu masing-masing kawan  Misalnya dengan cara meminumnya. 
  1. saat meminum kopi itu harus pelan pelan agar mulut dan lidah kita tidak melempuh. namun jika kopi sudah dingin kita akan cepat meminumnya jika kita ambil filosofinya saat kita menjalani hidup, itu dengan penuh kesabaran tanpa harus terburu buru agar kita bisa mencapai suatu tujuan. namun jika kita mencari jalan pintas kita tidak akan pernah mencapai tujuan tersebut, yang ada malah kita terjebak dalam suatu masalah yang besar.
  2. bagi yang belum bisa merasakan kopi mungkin ngopi itu yang ada rasa pahit tapi bagi kami penikmat kopi bukan merasakan pahit melainkan menikmati pahit seperti halnya kita menikmati kehidupan.
  3. kopi itu ada wangi aroma, pahit bahkan manis yang dinikmati seperti halnya kehidupan ada senang bahkan ada susahnya.....
  4. walaupun berada di cangkir berbeda tapi kopi tetap sama hakikatnya begitupun manusia walaupun kita beda dalam fisik tetap sama hakikatnya hanya mahluk Allah SWT.
  5. Manis , Pahit Kenapa harus salah satunya kita nikmati? kita bisa nikmati dalam dalam satu cangkir kopi begitu pun hidup kita harus bisa menikmati manis pahitnya...
  6. mungkin adakalanya kita pandang hitamnya kopi ini sebagai keteguhan, lalu menikmati perlahan, mungkin akan terbiasakan begitu juga kepahitan kehidupan kita mesti bisa menikmatinya karna tanpa disadari Allah SWT. punya rahasia terbaik untuk kita dalam kepahitan itu dalam maha rencananya.
dan masih banyak lagi andai mau mempelajarinya mari kita pahami aroma kopimu dan sering-sering berada dalam majlis al ngopihitamiyah semoga kita bisa dapat mengambil hikmah dan pelajaran di balik hitamnya kopi....

Sabtu, 20 Desember 2014

Energi untuk Kehidupan

Perjalanan adalah ibu kandung pengalaman. Jika pengalaman adalah guru terbaik, maka tahulah kita dari mana guru itu memeroleh ilmu. Ya, dari perjalanan. Pelajaran tentang baik dan buruk, serta benar dan salah, diolah menjadi kearifan dan kebijaksanaan dengan cara mengalami sendiri. Bukan sekadar dari membaca teks pengetahuan atau mengutip pengalaman orang lain. Dengan mengerjakan sendiri sesuatu, kita mencetuskan daya cipta, mengolah daya karsa, dan akhirnya mendapatkan daya rasa.

Allah membenci seseorang yang mengatakan sesuatu yang tidak ia kerjakan. Sebab, sesuatu yang ia katakan itu dekat dengan dusta dan dzalim. Dusta karena ia berkata tanpa benar-benar tahu apa yang diucapkannya. Dzalim karena ia kemudian merasa tahu, bahkan lebih tahu, padahal sesungguhnya ada yang tahu dan lebih tahu darinya. Dusta dan dzalim mencegah kita belajar dari kesalahan. Jika dari kesalahan saya kita sudah terhalang untuk belajar, apalagi dari kebenaran. Hanya satu momen yang disediakan oleh semesta untuk orang yang suka berdusta dan berbuat dzalim itu.

Momen itu adalah momen ketika kena batunya. Siapa pun tak bisa menghindar. Segala sesuatu yang kita lemparkan ke semesta selalu akan terpental dan berbalik ke arah kita sendiri. Jika darma memantulkan kebaikan, maka karma memantulkan keburukan. Falsafah Jawa tentang “Sawang Sinawang” atau melihat-dilihat mengajarkan betapa jika kita berharap menerima kebajikan maka kita harus memberi kebajikan pula. Jika tak ingin dicubit, janganlah mencubit. Orang yang berbuat dusta dan dzalim pada akhirnya akan termakan oleh perbuatannya sendiri.

Padahal, sesungguhnya semesta bersedia tunduk pada manusia sejak Allah menetapkan manusia sebagai makhluk paling mulia di antara seluruh makhluk; yang dimuliakan dengan akal budi; dan pemimpin di muka bumi, khalifah fil ardli. Jadi, apa pun yang terjadi pada diri kita sesungguhnya terjadi berdasarkan perintah kita sendiri. Bahasa tubuh dan bahasa ruh seorang pemimpinlah yang menggerakkan dan mendiamkan mereka yang dipimpinnya. Jika seseorang mengirimkan sinyal positif kepada semesta, maka serta-merta semesta pun akan bergerak positif. Pun sebaliknya. Sesuai instruksi.

Cahaya memang menerangi, tapi bukan berarti ia tidak menggelapkan. Jika terlampau terang-benderang, cahaya menghasilkan dampak yang sama belaka bagi penglihatan, yakni gelap mata. Silau bahkan lebih berbahaya bagi mata karena bisa menyebabkan kebutaan. Demikian pula cahaya seorang pemimpin. Jika tak menakar dengan baik seberapa besar penerangan yang dibutuhkan, adanya seorang pemimpin justru mengacaukan konsentrasi karena melumpuhkan indera. Pemimpin yang baik pun bisa belajar dari cahaya betapa ia berguna ketika gelap ada. Tanpa gelap, ia bukan siapa-siapa.

Demikianlah pengalaman sangat sabar mengantarkan kita menuju kedewasaan berpikir dan merasakan. Perjalanan kita takkan pernah lebih cepat atau lebih lambat dari waktu. Dan, pengalaman tidak memberikan kelulusan kepada para pejalan. Pengalaman selalu berubah dan bersifat sangat pribadi. Terhadap satu peristiwa yang sama-sama kita alami, setiap diri akan mengambil pelajaran yang spesifik dan berbeda. Dan, belajar adalah energi untuk kehidupan. Energi ini tergolong energi terbarukan. Pengetahuan dan pengalaman selalu memperbarui dirinya sendiri. Dan kewajiban untuk belajar adalah seumur diri, sejak lahir hingga mati. Tanpa berhenti.

Pada akhirnya, kita bisa memetik buah dari pengalaman. Buah itulah yang disebut pengertian. Dengan terus belajar, kita menjadi mengerti mengapa dan bagaimana sesuatu itu terjadi. Segala hal memang bisa ditanyakan, namun tidak setiap hal bisa dipertanyakan. Ada hal-hal yang sesuai nalar, namun lebih banyak lagi hal yang hanya bisa kita rasakan tanpa pernah, atau tanpa perlu melihatnya langsung. Selalu ada rahasia di dalam setiap hal. Dan rahasia memiliki sistemnya sendiri untuk bersembunyi. Seorang pemberani memiliki peluang yang lebih besar untuk melakukan perjalanan dan memeroleh pengalaman. Tapi, tetap saja, kita pun bisa belajar dari rasa takut.

By: Gus Candra

Berdo'a Dan Berusaha


Tak mengapa kau tidak percaya pada kekuatan doa. Siapa tahu kau lebih hebat daripada Allah. Hanya saja, satu hal yang perlu kau tahu tentang doa. Berlaku rumus, selain berdoa, manusia harus berusaha. Sedangkan rumus Allah merupakan keniscayaan yang mutlak. Dia berfirman,"Berdoalah, niscaya Kukabulkan (Q.S. Al Mu'min: 60)." 

   Manusia perlu berusaha untuk mewujudkan doa, Allah tidak perlu berusaha untuk mengabulkan doa. Sekali pun percaya pada kekuatan usaha, manusia takkan pernah bisa mewujudkan doanya. Sekali pun tanpa usaha, Allah selalu berhasil mengabulkan doa sehingga menjadi nyata. Nah, pilihan ada di tanganmu, itu pun jika kau diizinkanNya memilih.

   Akankah kau menggunakan rumus manusia dengan mengandalkan kekuatan usaha di atas kekuatan doa, atau kau gunakan rumus Allah yang otomatis berhasil: berdoalah niscaya Kukabulkan, tentukanlah sikap. Rasulullah Muhammad SAW bersabda,"Ad-du'a mukhu 'l-'ibadah. Doa adalah otak atau saripati ibadah." Dan, ibadah adalah tindakan berserah atau kerelaan untuk mengabdi kepada Tuhan.

   Sekarang, marilah bertanya kepada diri sendiri: sudahkah aku berserah? Sudahkah aku mengabdi dengan tulus ikhlas? Masihkah aku bersifat tamak dan bersikap menuntut imbalan atas ibadah dan amalku? Masihkah aku menjadikan pahala dan surga sebagai kendaraan dan tujuan? Ataukah memang bagiku keridhaan Allah adalah satu-satunya harapan?

   Satu doa melebihi seribu usaha, jika kita meyakininya. Yang menjadi persoalan adalah kita tidak percaya. Kita tidak benar-benar percaya. Padahal, doa seorang manusia yang mengimani "Laa hawla wa laa quwwata illa bi 'l-laahi 'l-'aliyyi 'l-'adziim" lebih menggetarkan semesta raya daripada usaha seribu manusia yang merasa paling hebat, dan merasa lebih hebat lagi setelah bersatu dan bekerjasama.

   Maka, setiapkali berdoa, yakin dan berprasangka baiklah betapa mudah bagi Allah untuk mengabulkannya. Dan, satu hal terpenting: selalu bersiap-siaplah dikabulkan doamu. Seringkali manusia yang berdoa tak siap doanya dikabulkan dalam waktu dekat, apalagi dalam tempo seketika. Seringkali manusia gagal mengatasi guncangan jiwa ketika doanya dikabulkan Allah. 

   Dia menjadi lupa dan lalai. Dia menjadi merasa usahanyalah yang membuat keinginannya tercapai. Bukan karena terkabulnya doa. Padahal, bagaimana pun berusaha, bukan manusia yang menentukan hasilnya. Manusia berada di wilayah proses dan takkan pernah melebihi itu. Kita takkan bisa melewati batas itu. Sedangkan Allah berada di wilayah hasil. Buatlah rencana, dan ketahuilah bahwa, menurut Q.S. At Thariq," Dan Aku pun membuat rencana yang sebenar-benarnya," dan rencana Allah itulah yang berlaku.

   Rasul SAW bersabda,"Afdhalu 'd-du'a al hamdu li 'l-laahi rabbi 'l-'aalamiin. Sebaik-baik doa ialah berterimakasih memuji Allah, Pengatur Alam Semesta." Cukup bagiku Allah sebagai Pemimpin dan Penolong. Tak apa-apa kau tidak berdoa dan memilih jalan hidup seolah-olah kaulah penentu segala hal dalam perjalananmu. Namun, ketika kau kehilangan arah, yakinlah bahwa segala sesuatu berasal dari Allah dan pasti kembali kepadaNya. 

By: Gus Candra

Minggu, 14 Desember 2014

Arti Membaca

Semasa seorang anak memasuki bangku pendidikan formal, hal pertama yang diajarkan oleh guru adalah pelajaran baca tulis. Hal tersebut tentunya sangat penting sebagai suatu landasan perpijak, modal awal sekaligus titik awal untuk pembelajaran selanjutnya. Sudahkah ketrampilan baca tulis yang seakan sederhana dan mudah kita lakukan tersebut kita pahami maknanya secara mendalam? Apakah arti dari membaca? Apakah makna dari menulis?
Risalah kenabian berupa wahyu Al Qur’an yang diberikan pertama kali kepada Nabi Muhammad SAW adalah iqro’, bacalah! Kenapa kita diperintahkan terlebih dahulu untuk membaca? Bukannya menulis? Hal tersebut tentunya bukan tanpa alasan dan sebenarnya urutan tersebut sangat terkait dengan struktur sembilan puluh sembilan nama Allah dalam Al Asmul Husna. Bagaimana maksudnya?
Adz Zohiir dan Al Bathien adalah sebagian dari asma Allah. Kata lahir lebih dahulu hadir sebelum batin. Jadi sebenarnya manusia diperintahkan untuk “melihat” yang lahir guna kemudian disimpan dalam dunia batin kita, itulah arti membaca.
Menurut Damarjati Supadjar, “membaca adalah suatu aktivitas membatin suatu hal yang lahir”, tentunya dalam pengertian luas. Maksud dari lahir disini adalah benda dalam artian fisik, kongkrit maupun abstrak yang dapat diindera oleh panca indra manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Langsung dalam pengertian melalui penglihatan, perabaan, penciuman, pengecapan, maupun pendengaran. Sedangkan tidak langsung dapat diartikan melalui ciri-ciri suatu benda atau keadaaan, ataupun dengan peralatan bantu tertentu.
Contoh yang paling sederhana adalah membaca tulisan. Tulisan adalah suatu bentuk fisik kongkrit yang melalui indra penglihatan, atau bisa juga melalui perabaan bagi saudara kita yang tuna netra, kita jadikan sebagai input untuk diolah oleh otak berdasarkan referensi pengetahuan yang pernah diajarkan(pelajaran mengenai abjad) untuk kemudian disimpan dalam memori. Dari memori tersebut kemudian tersusunlah kata dan kalimat yang dapat kita keluarkan melalui ucapan, atau bisa jadi kita hentikan sampai tahapan penyimpanan makna dalam memori jika kita membaca secara batin.
Dari contoh sederhana tersebut kemudian dapat ditarik makna yang lebih luas menyangkut obyek baca tidak hanya lagi berujud tulisan. Kita bisa membaca warna sebagai merah, hitam, putih, biru dan sebagainya. Kita bisa membaca gambar, lukisan, gunung, air, batu, laut, langit dan masih banyak benda yang lain.
Kita juga bisa membaca suasana sebagai panas, dingin, senang, susah, menakutkan. Suhu dapat kita baca secara tidak langsung dengan bantuan alat termometer, kelembaban udara dibantu dengan higrometer maupun barometer. Curah hujan dapat diukur dengan regenmeter, massa dapat ditimbang, radiasi dapat diketahui dengan surveymeter, dan masih banyak contoh lain.
Pertanyaan berlanjut, apa yang mesti dibaca manusia? Yang harus dibaca manusia adalah ilmu Allah. Menurut para ahli tafsir, ilmu Allah dibagi menjadi dua yaitu ilmu Allah yang terucap atau kalam, serta ilmu Allah yang tercipta atau disebut alam. Dengan demikian untuk kemaslahatan hidup manusia dalam mengemban tugas memakmurkan bumi, manusia diharuskan membaca, dalam arti mengaji, mengkaji, meneliti, menelaah dan berpikir mengenai kalam dan alam. Hanya dengan penguasaan ilmu kalam dan alamlah manusia dapat menciptakan pengetahuan dan teknologi untuk kesejahtearaan hidupnya.

Rabu, 05 November 2014

ALLAH YANG MENGATUR, BUKAN KITA

Alangkah lebih baik jika kita berprasangka baik kepada Allah. Dia Maha Pengampun. Andai dosa manusia pertama hingga manusia terakhir dikumpulkan, dan dimohonkan ampunan, niscaya tidak mengurangi senoktah saja AmpunanNya. Manusia memang bangsa yang melampaui batas, namun samudera ampunanNya teramat luas hingga tak terjangkau apa pun. 

Jika Kasih Sayang Allah saja melampaui KemurkaanNya, mustahil sebesar-besarnya dosa besar makhluk akan bisa melebihi AmpunanNya. Allah berfirman dalam Q.S. Az Zumar: 53,"Katakanlah: wahai hamba-hambaku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun dan Maha Penyayang."

Siapa yang sanggup melawan Allah? Seandainya seluruh umat manusia bersatu untuk menciptakan tuhan baru, tiadalah satu keberhasilan saja akan tercapai. Tuhan tidak perlu dibela, sebagaimana yang pernah ditulis oleh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), sebab tiada sekutu, tiada seteru, bagiNya. Di hadapan Allah, segalanya lemah, menyerah, kalah, musnah.  

Allah itu Maha Esa, dan kita wajib memurnikan KeesaanNya yang demikian tanpa pertanyaan, tanpa perlawanan, dengan segala keniscayaan yang mutlak dalam KekuasaanNya. Allah bukan sama, bukan pula berbeda, dengan siapa pun yang adalah ciptaanNya -- dalam pengertian manusia yang serba terbatas. Maka, segala yang sama dan yang berbeda itu bersifat jamak, lebih dari satu, dan ia bukan Tuhan.

Jika manusia saja masih terus mencari dan menambah pengetahuan, mengembangkan pengetahuan melalui penelitian dan penemuan, bagaimana bisa ia menyetarakan diri atau disetarakan dengan Allah Yang Maha Tahu. Allah itu Maha Awal, Mula dari segala permulaan. Allah itu Maha Akhir, Azali Abadi nun tak terhingga dan tidak selesai. Tidak bertambah, tidak juga berkurang, namun tidak bisa kita menyebutNya bersifat tetap. 

Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dia Maha Menciptakan, namun bukan ibu kehidupan. Dia Maha Mencukupi, namun juga bukan ayah kehidupan. Allah bukan laki-laki, bukan perempuan, bukan gender tertentu, dan Dia tak terucapkan dengan kata, makna, dan suara. Tak tergambarkan dengan lukisan, tulisan, dan bunyian. Raden Tanoyo dalam mensarikan Serat Wirid Hidayat Jati karya Kanjeng Sunan Kalijaga menyebutNya: tan kena kinaya ngapa, tiada dapat diperumpamakan dengan apa pun.

Para leluhur kita telah membahas tentang perilaku tauhid dalam memurnikan Keesaan Allah dengan teramat indah. Ini senafas dengan Q.S. Al Ikhlash: 4 yang berbunyi,"Tiada yang setara dengan Dia."
Ya, Allah Maha Satu. Satu-satunya Satu. Tiada berdua, tiada mendua, tiada diduakan. Dia tiada banding, tiada tanding, tiada sanding. Tidak ada permisalan bagiNya, tiada pula bagi perumpamaan.

Dalam berperikehidupan, terutama dalam menyembah Allah, Hamba-lah yang membutuhkan Tuhan, dan bukan sebaliknya. Allah adalah Allah, tak tergantikan. Tidak ada Tuhan baru, sebagaimana tidak ada Tuhan lama. Dia tidak terkungkung oleh ruang dan waktu yang adalah ciptaanNya. Dia berhak, berkehendak, berwenang, berkuasa penuh untuk berbuat sesukaNya. 

Kehendak Allah adalah segala-galanya. Seluruh makhluk, takluk. Pilihan kita hanya satu: berserah. Kita berdiri, duduk, berbaring di atas permukaan bumi, dan di bawah hamparan langit yang sama, dan gulita jika tanpa CahayaNya. Dialah yang memilih siapa yang DianugerahiNya penerangan dan keterangan dan siapa yang dibiarkan tetap dalam gelap. Allah itu Penguasa segalanya. Apalah kita tanpaNya. Selagi masih ada umur, mari berhenti melawan, segera berserah diri, ruku’, sujud. 

Percuma kita mengagungkan prestasi, itu karya Ilahi. Kehormatan, kekuasaan, kemulian, kekayaan, adalah dari Allah. Kepada kita mudah bagiNya memberi, semudah dari kita bagiNya mengambil kembali. Pun demikian kehinaan, Dia yang kuasai. Dia Maha Berkehendak, dan bahkan tiada yang bisa menahanNya menghapus KehendakNya sendiri jika itu yang Dia kehendaki. Suka-suka Dia. Alam semesta ciptaanNya sendiri. Makhluk ciptaanNya sendiri. Tak ada yang bisa mempengaruhiNya untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Dialah Sang Maha Pengatur, tak ada yang bisa mengaturNya. 


Gus Candra

Selasa, 04 November 2014

SEMESTA MANUSIA

Semesta memiliki caranya sendiri untuk merawat kehidupan dan memilih siapa dan apa saja yang bertahan hidup di lingkarannya. Seleksi alam menghendaki siapa yang kuat, maka dialah yang selamat. Tidak hanya kuat secara fisik, namun juga psikis. Tidak cuma akal, tapi demikian pula hati. Rimba belantara tidak selalu dalam wujud hutan raya, melainkan juga segala misteri di dalamnya. Dari masa ke masa, perubahan pun berubah. Di dunia, keselamatan tak berusia abadi.

Dan, semesta yang sesungguhnya adalah diri ini. Diri kita sendiri ini. Di dalamnya hidup hutan raya dengan keanekaragamannya. Watak-watak binatang menjelma nafsu-nafsu manusia dan karakter-karakter tumbuh-tumbuhan dari akar hingga buahnya menyerupai pertumbuhan jiwa kita. Suara-suara dari ruang-ruang kosong dalam diri bagai bisikan dan raungan dalam hutan, yang entah dari mana sumbernya. Timbul-tenggelam dalam bentuk pikiran dan perasaan.

Ya, manusia adalah jagat, yang bahkan lebih agung dibanding alam raya yang tergelar. Diri manusia mengandung samudera yang dari sanalah terbetik peribahasa "dalamnya lautan bisa diukur, dalamnya hati siapa tahu?". Diri manusia mengandung angkasa lepas, yang sampai-sampai untuk menegur kesombongan pun terlahir idiom "masih ada langit di atas langit". Sebesar-besar perang, jika mengutip Muhammad SAW, masih lebih besar perang melawan diri sendiri.

Sebelum Allah mendaulat manusia sebagai khalifah fil ardli, pemimpin di bumi, Dia menetapkannya sebagai makhluk paling mulia karena dibekali akal. Bahkan, Muhammad bersabda," Sesungguhnya Allah menciptakan Adam sebagai CitraNya." Dan, dalam Q.S. Al Baqarah: 31, Allah berfirman," Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhnya." Betapa mulia kedudukan manusia, apalagi jika ia diterima di sisiNya selagi masih hidup. Inilah kedudukan manusia bertakwa.

Segala sesuatu bermula dari Allah dan berakhir untuk kembali padaNya. Manusia menjalani fitrahnya, pun Allah memiliki FitrahNya sendiri dan segala sesuatu indah pada WaktuNya. Salah satu di antara seleksi alam yang kerap membuat manusia gagal mencapai kedudukan Insan Kamil atau Manusia Paripurna adalah musibah. Kesedihan, kesengsaraan, kenestapaan, dukalara, dan entah apa lagi namanya, tak sulit mencerabut keyakinan manusia atas Allah. Ia meragu, bahkan putus asa.

Sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Al Baqarah: 155, Allah memberi manusia musibah berupa ketakutan, kelaparan, dan serbaneka kekurangan, tapi hanya orang-orang yang sabar yang berhasil melewati etape ini. Bagi mereka, babak ini sangat penting untuk memahami ajaran tentang segala sesuatu berasal dari Allah dan kembali padaNya. Yang tidak merasa memiliki, ia tidak merasa kehilangan. Yang sadar bahwa dirinya adalah milik Allah, ia tak punya rasa memiliki. Makhluk adalah propertiNya.

Sangat jelas Q.S. Ath Taghabun: 11 menyebutkan," Tidak ada musibah kecuali dengan izin Allah." Menerima musibah dengan baik adalah sebaik-baik pilihan. Jika kesabaran ada batasnya, kesetiaanlah yang menjadi garisnya. Dan, manusia penyabar adalah ia yang tetap berada di dalam garis itu. Tabah dan setia mendengar dan melaksanakan PerintahNya dan menjauhi LaranganNya. Pada mereka inilah, Allah memberikan keberkahan yang sempurna, rahmat dan petunjuk.

Dari penyair W.S. Rendra, siapa pun bisa belajar betapa kebahagiaan dan penderitaan adalah sama saja. Dia pernah pula mengatakan,"Kesadaran adalah matahari, kesabaran adalah bumi, keberanian menjadi cakrawala, dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata." Sang pujangga memiliki  kesimpulan sama bahwa manusia-lah semesta sesungguhnya. Perusakan, sebagaimana pembangunan, berada di tangan manusia sebagai pemimpin bagi dirinya sendiri maupun bagi bumi.

Manusia digambarkan lebih kuat daripada gunung sehingga Al Qur'an diturunkan padanya. Dalam Q.S. Al Hasyr: 21 dilukiskan betapa gunung akan hancur terbelah jika menerima ayat-ayat suciNya. Jika "awwaluddin ma'rifatullah" atau beragama dimulai dengan mengenal Allah, dan untuk mengenal Allah berlaku prinsip "man arafa nafsahu faqad arafa Rabbahu" atau siapa kenal diri maka ia kenal Ilahi, setiap manusia perlu mengenal seisi rimba belantara di dalam diri.


Gus Candra.

Sabtu, 01 Februari 2014

Sayap Sayap Bertasbih...

 Bismillaahirrahmaanirrahiim

1. Apakah engkau sangka burung terbang karena sayapnya?  Tidak. Sesungguhnya, Allah yang menahannya di udara.

2. Apakah engkau sangka manusia berdiri karena kakinya?  Tidak. Sesungguhnya Allah yang menahannya di permukaan bumi.

3. Apakah engkau sangka ikan berenang karena siripnya?  Tidak. Sesungguhnya Allah yang menahannya di dalam air.

4. Allah Maha Pengasih dan Penyayang. Dia Memberi bahkan sebelum diminta. Dia Maha Pemelihara, tak tidur tak pula mengantuk.

5. Apakah engkau sangka bumi itu datar? Tidak. Sesungguhnya bumi digelar pada awalnya dan bumi akan digulung lagi pada akhirnya.

6. Apakah engkau sangka bumi datar? Tidak. Sesungguhnya bumi itu bulat.  Betapa terbatas penglihatan, betapa mudah mata teperdaya.

7. Apakah engkau sangka bumi itu diam? Tidak. Sesungguhnya Allah memutarnya sehingga tampak bagimu silih berganti siang dan malam.

8. Apakah engkau sangka bumi itu diam? Tidak. Sesungguhnya Allah memutarnya teratur dan cepat -- di luar batas kesadaran makhluk.

9. Apakah engkau sangka bumi itu lunglai? Tidak. Sesungguhnya Allah memberinya daya menarik segala hal di atasnya agar melekat.

10. Apakah burung terbang karena sayapnya, manusia berdiri karena kakinya,  ikan berenang karena siripnya?  Tidak! Allah menopang makhlukNya.

11. ... burung-burung yang mengembangkan dan mengatupkan sayapnya di atas mereka? Tidak ada yang menahannya di udara selain Yg Maha Pemurah. (Q.S 67:19)

12. Qiyamuhu binafsihi. Allah Maha Hidup Maha Kuat, Dia Berdiri Sendiri tanpa penopang tanpa penolong. Makhluk sebaliknya: dhaif.

13. Kemudian Allah menetapkan kepada makhlukNya kemuliaan supaya mereka dapat mensucikan Diri dan memuji Kesucian Tuhannya.

14. Sebaik-baik memuji Allah adalah bertasbih, " Subhanallaah,"  dan sebaikbaik memohon kemuliaan adalah memuji," Alhamdulillah."

15. "Tidakkah kau tahu bahwa bertasbih kepadaNya apa yg di langit dan bumi, juga burung dengan mengembangkan sayapnya." [Q.S 24:41]

16. Di hadapan Allah, kemuliaan makhluk ditentukan oleh kadar ketakwaannya. Kau kira kau lebih berhak surga daripada burung?

17. "Masing-masing telah mengetahui cara sembahyang dan tasbihnya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan." [Q.S 24:41]

18. "Tiada makhluk yg merayap di bumi, tiada burung yg terbang dengan sayapnya, melainkan mereka adalah umat yang serupa dengan kamu." [Q.S 6:38]

19. Masihkah kau sangka kau lebih mulia dibanding burung-burung yang memuji Tuhannya dengan kepakan sayap? Bagaimana kau memuji Tuhanmu?

20. Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat serendah-rendahnya. [Q.S 95:3-4]

21. Tak terhitung betapa Allah telah memuliakanmu, memberi nafas tanpa kau memintanya, lalu nikmat apa lagi yang kau dustakan?

22. Tak terhitung betapa Allah telah memuliakanmu, memberi nafas tanpa kau memintanya, lalu mengapa kau berkeras menyekutukanNya?

23. Siapa yg mempersekutukan Allah, ia seolah jatuh dari langit lalu disambar burung, atau diterbangkan angin jauh. [Q.S. 22:31]

24. Masihkah kau akan menganggap dirimu lebih mulia daripada burung, setelah kau kekal mempersekutukan Allah dalam hidupmu?

25. "Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, melainkan yang buta adalah hati yang di dalam dada." [Q.S. 22:46]

26. Alangkah mulia burung-burung yang kicaunya saja menentramkan jiwa. Alangkah hina manusia yang suka mencaci di antara mereka.

27. "Engkau memuliakan dan menghinakan siapapun yang Engkau Kehendaki. Di tanganMu segala kebaikan." [Q.S. 3:26]. Siapalah aku ini?

28. Maka seorang Fariduddin Attar pun belajar dari musyawarah burung-burung, dan ia merendahkan suara ketika memuji Tuhannya.

29. Dan oleh burung bahkan aku telah dikalahkan. "Aku orang yang dikalahkan, tolonglah aku. [Q.S. 54:10]." Apa yg bisa kubanggakan?

30. Ya Allah. Demi burung-burung yang terbang, dan sayap-sayap yang dikepakkan, aku memujiMu. Aku menyesal dan memohon ampunanMu.

Alhamdulillaahirabbil 'aalamiin.

By: Gus Candra

Senin, 27 Januari 2014

Belajar dari Secangkir Kopi

Iman dibangun atas empat pilar keyakinan. Yaitu ilmal yaqin atau percaya berdasarkan pengetahuan, 'ainul yaqin atau percaya berdasarkan pandangan langsung, haqqul yaqin atau percaya berdasarkan pengalaman pribadi, dan ikmal yaqin atau percaya berdasarkan keterlibatan mendalam.

Ilmal yaqin dapat diibaratkan sebagai mula-awal belajar. Seorang Sufi menimba ilmu dari siapa pun, terutama dari gurunya, tentang sesuatu hal. Sebagaimana seorang pehobi masak mencatat resep masakan dari seorang Chef. Jika berhenti hanya pada menimba ilmu, apalagi jika sebanyak-banyaknya, maka semakin banyak ilmu justru semakin berat beban hidupnya.

Para Sufi memiliki analogi yang satir, yaitu betapa pun seekor keledai menarik segerobak ilmu, toh ia tetaplah seekor keledai. Semakin banyak ilmu, jika tak diwujudkan menjadi amal, maka alih-alih membawa manfaat, ia justru menimbulkan madharat bagi penghimpun ilmu itu sendiri. Oleh karenanya, ilmal yaqin harus dilanjutkan dengan 'ainul yaqin.

Kita bisa belajar dari kopi. Setelah mencatat bahwa secangkir kopi dibuat dari setuang air mendidih, setakar bubuk kopi, dan gula sebutuhnya, seorang Sufi harus melihat sendiri apa itu air, kopi, dan gula. Tak cukup baginya hanya mendapati air, kopi, dan gula sebagai susunan aksara. Hanya teks, dan bukan konteks.

Sesuai fitrahnya, kopi diseduh atau disajikan dengan ampasnya, dengan cangkir, bukan gelas. Tapi, mengapa harus demikian? Seorang Guru Tasawuf saya mengatakan," supaya kau seolah memegang kuping sendiri saat memegang kuping cangkir."

"Setelah kuping terpegang dan kopi mendekat, kau aktifkan lidah sebagai indera penyesap dan hidung sebagai indera pencium," lanjutnya. Mata sebagai indera penglihat akan menatap ke arah suwung tertentu, ketika kopi kita sesap dan seketika aromanya kita hirup. Segera panasnya secangkir kopi itu membuka pori-pori kulit, sehingga pendek kata: hiduplah seluruh lima indera dalam diri.

Inilah mengapa tatkala mengaji Tasawuf, seorang murid disuguhi secangkir kopi oleh sang mursyid. Lebih pahit lebih baik bagi indera. Seolah belum Sufi jika belum ngopi. Dan, memang demikianlah tradisi ngopi bermula: dari para Sufi yang melek semalam suntuk.

"Tahu dari mana itu kopi?" tanya Guru Tasawuf saya, suatu malam. Ia berseru,"siapa tahu aspal? Toh sama hitamnya sama pekatnya. Minumlah!"

Segera saya sesap secangkir kopi itu, saya rasakan dengan tamat, lalu saya jawab,"Ini benar kopi, Kiai. Yakin seyakin-yakinnya."

Guru saya itu berwasiat, iman dibangun setidaknya dengan empat keyakinan: 'ilmal yaqin, 'ainul yaqin, haqqul yaqin, ikmal yaqin. "Ilmal yaqin adalah yakin berdasar pengetahuan. Tahu secangkir kopi diracik dari air mendidih, kopi, dan gula dalam takaran tertentu. Namun, cita-rasa tak cukup hanya dari resep di atas kertas. 'Ainul yaqin adalah yakin berdasarkan kesaksian. Melihat kasunyatan," katanya.

Melihat sendiri,"O, ini yang disebut air mendidih. O, ini bubuk kopi. O, ini butiran gula." Nyata. Bukan lagi teori, bukan ilusi. Tapi, melihat saja pun tak cukup. Haqqul yaqin adalah yakin karena mengalami sendiri. Memasak air, meracik kopi. Terlibat prosesnya. Puncaknya keyakinan adalah ikmal yaqin, yaitu yakin karena merasakan sendiri. Menyesap kopi dan merasakan sensasinya.

Ini kopiku, mana kopimu?

#SulukSufi  By: Gus Candra