Sekecil Apapun Kebahagiaan mari kita rayakan dengan ngopi!!!!!

Rabu, 08 Desember 2010

Islam dan Death Education

Katakanlah: “Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”
(QS. Al-Jumu’ah [62]:8)

Prolog

Banyaknya musibah yang terjadi di tanah air hingga saat ini tak pelak telah menyebabkan kerugian serta kehancuran yang luar biasa. Kerugian materi tentu sangat banyak sekali, begitu pula kerugian non-materi seperti kehilangan keluarga dan orang-orang yang dicintai. Mereka juga mengalami trauma yang mungkin akan terus terekam dalam ingatan. Belum lagi beratus-ratus ribu manusia yang akhirnya harus mengungsi dan meninggalkan rumah mereka karena rentetan bencana tersebut.
Namun semua kerugian itu tidak sebanding dengan kerugian yang bakal kita alami jika kita tidak mampu mengambil hikmah dari setiap kejadian yang menimpa tersebut. Salah satu hikmah yang sangat dekat dan pantas sekali untuk kita ambil ialah tentang kematian. Ya… kematian. Bukankah musibah-musibah itu telah menyebabkan kematian ratusan ribu jiwa?

Kematian: Akhir atau Awal?

Saat ini, kematian merupakan topik menarik yang banyak diseminarkan di negara-negara Barat, terutama Amerika. Pembicaraan tentang kematian selalu menarik minat banyak kalangan. Bahkan kini di Amerika, topik tentang kematian telah diupayakan untuk bisa diberikan di sekolah-sekolah. Istilah yang kini banyak digunakan untuk topik ini ialah death education (thanathology).
Memang, kematian adalah suatu keniscayaan yang pasti akan menjumpai setiap orang, tidak peduli warna kulit, ras, kebangsaaan, status sosial, bahkan tidak juga peduli dengan kemajuan teknologi di bidang kesehatan yang dimiliki, kematian tetap saja akan menjemput semua makhluk yang bernyawa. Demikianlah, Bangsa Barat – yang seolah dengan kecanggihan teknologi dan pengetahuan medisnya mampu menunda kematian – pun tetap percaya bahwa kematian akan datang juga.
Dalam berbagai literatur Barat tentang kematian, nampak bahwa arah pembahasan dari topik yang mereka kaji terfokus pada masalah problem-problem psikologis yang mungkin dialami oleh seorang individu pasca kematian orang yang dikasihinya. Kalaupun ada yang membahas tentang kematian terkait dengan orang yang mati itu sendiri, itu hanya sebatas tentang bagaimana agar seorang individu bisa menghadapi kematian sesuai yang diinginkannya. Misalnya mati di dekapan orang yang dicintai dan disaksikan oleh seluruh anggota keluarganya.
Dari situ nampak bahwa kajian atau pembelajaran Bangsa Barat tentang kematian tidak mencakup kematian itu sendiri, apakah kematian itu merupakan akhir kehidupan ataukah sesudah kematian itu ada kehidupan lain lagi, inilah yang tidak dikaji oleh mereka. Hingga akhirnya mereka tidak sampai pada analisa tentang bagaimana seharusnya manusia mempersiapkan diri untuk mati dan untuk kehidupan setelah mati. Nampak bahwa bangsa Barat menganggap bahwa kematian adalah akhir dari kehidupan.
Berbeda dengan konsep Barat, Islam dengan gamblang menyatakan bahwa kematian, selain sebagai akhir perjalanan hidup di dunia, adalah sekaligus awal dari suatu kehidupan yang sejati. Kematian hanyalah sebuah media transisi dari kehidupan dunia yang fana untuk selanjutnya menuju kehidupan akhirat yang abadi. Allah subhanahu wata’ala berfirman: “Ketahuilah bahwa kehidupan dunia ini tidak lebih dari sebuah permainan dan keisengan, bermegah-megah, dan adu kesombongan di antara kamu serta berlomba-lomba dalam kekayaan, dan keturunan. Seperti hujan yang turun yang menumbuhkan tanaman-tanaman yang mengherankan para petani, tapi tak lama tanaman itu tampak olehmu layu, menguning, kemudian luluh hancur. Padahal di akhirat masih ada azab yang dahsyat, di samping ada ampunan dari Allah dan keridloan-Nya” (Q.S. Al-Hadiid [57]: 20).

Islam dan Death Education

Berlandaskan pada firman Allah dalam surat al-Hadiid tersebut, kiranya kita mampu untuk menentukan apakah pendidikan tentang kematian itu perlu kita terapkan bagi diri dan bagi anak cucu kita atau tidak. Penulis secara sederhana menyatakan bahwa bagaimanapun juga pendidikan tentang kematian adalah suatu hal yang sangat perlu untuk dipelajari oleh setiap orang, terutama sekali oleh umat Islam. Karena bagaimanapun, setiap kita pasti akan menghadapi yang namanya kematian. Terutama sekali, ketika saat ini, kematian adalah hal yang sangat sering kita jumpai dalam kehidupan kita, entah itu kematian karena bencana alam, kecelakaan, perang, atau pembunuhan.
Berbeda dengan konsep pendidikan kematian yang ditawarkan barat, pendidikan tentang kematian Islam lebih mengarah pada hakikat kematian serta apa yang harus dipersiapkan oleh manusia untuk menghadapi kematiannya, agar kematiannya itu bisa memberi makna. Meski demikian, pendidikan tentang kematian Islam selayaknya juga tidak mengesampingkan pendidikan tentang kesiapan individu menghadapi kematian orang yang dicintainya, agar tidak timbul problem-problem psikologis yang dapat mengarah pada perilaku abnormal, depresi misalnya, sebagaimana pendidikan tentang kematian yang ditawarkan Barat.
Dalam Alquran telah banyak ayat yang berbicara tentang kematian yang bisa diambil untuk bahan pendidikan tentang kematian. Sebut saja surat an-Nisaa [4]: 78 (tentang kematian yang akan menjemput setiap manusia dimanapun mereka berada), Q.S Ali Imron [3]: 185 dan al-Anbiyaa’ [21]: 35 (yang menerangkan bahwa setiap yang berjiwa pasti akan mati), Q.S al-A’raaf [7]: 57 (tentang kebangkitan orang-orang yang telah mati), Q.S al-Baqarah [2]: 161-162 (tentang laknat bagi orang-orang yang mati dalam keadaan kafir), serta masih banyak lagi ayat-ayat tentang kematian dalam Alquran yang bisa diambil pelajaran darinya.
Kesemua ayat-ayat Alquran yang berkaitan dengan kematian tersebut merupakan literatur komplit bagi setiap manusia yang ingin menggali lebih dalam tentang hakikat kematian. Melalui ayat-ayat tersebut, setiap muslim akan mampu memiliki pandangan serta pengetahuan yang benar tentang kematian, serta segala bekal yang harus dipersiapkan agar kematiannya menjadi bermakna.
Death Education yang Bersumber dari Bencana
Selain bersumber dari ayat-ayat dalam Alquran (qauliyah), pelajaran tentang death education juga dapat kita ambil dari ayat-ayat kauniyah-Nya. Berbagai bencana alam, kecelakaan, kriminalitas, atau bahkan kematian yang wajar sekalipun merupakan sumber rujukan yang sangat tepat untuk mempelajari hakikat kematian. Berbagai bencana alam dan peperangan yang banyak terjadi saat ini yang telah merenggut ratusan ribu nyawa, semuanya menjadi literatur yang up to date untuk meningkatkan kesadaran serta kesiapan kita menyongsong datangnya kematian yang setiap saat bisa menjemput kita.
Setiap orang tentu mengharap bahwa hidup yang hanya sekali di dunia ini bisa berarti. Namun lebih dari itu, setiap muslim juga mengharap bahwa kematian yang juga hanya akan datang sekali, juga bisa memberi arti. Kematian yang berarti ialah kematian pada saat yang tepat, pada saat kita siap, kematian yang mampu meninggalkan berbagai kemaslahatan bagi umat, serta mendapat bekal untuk menuju akhirat.
Biarlah saat lahir kita menangis dan orang-orang tertawa, karena tawa tersebut merupakan bukti cinta kasih mereka atas kedatangan kita di dunia. Dan biarkanlah pula orang-orang menangis saat kita mati, asalkan kita bisa tersenyum dan tertawa, karena tangis mereka saat kita pergi menghadap Khalik adalah juga sebagai bukti cinta dan kasih mereka atas diri kita.
Ingatlah bahwa dalam surat al-Hadiid di atas, Allah telah menerangkan bahwa di akhirat telah menanti azab yang sangat dahsyat, namun selain itu ampunan serta ridha-Nya juga senantiasa menunggu di sana. Kini terserah pada kita hendak memilih yang mana. Semoga saja semua bencana, musibah, serta peristiwa yang telah menyebabkan kematian saudara-saudara kita semakin meningkatkan kesadaran kita untuk lebih giat mempersiapkan diri akan datangnya kematian yang sewaktu-waktu datang pada kita. Kematian yang akan mengantarkan kita untuk berjumpa dengan sang Khalik dan mempertanggungjawabkan setiap amal yang kita perbuat di dunia.
Wallahu a’lam bisshowab.

Hidup Tanpa Stress

“Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang
melainkan (sekadar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak
akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.”
 (QS. Ath-Thalaaq [65]: 7)


Kali ini saya ingin menceritakan kisah jenaka untuk Anda. Siapa tak kenal Nasrudin Hoja? Tokoh sufi khayalan yang satu ini sangat masyhur karena tingkahnya yang jenaka. Pernah suatu hari, ia terlihat duduk termenung. Pandangannya sesekali kosong. Dan jangankan lagi santai, sedang bekerja pun ia bisa terhanyut dalam kehampaan sesaat. Seseorang lalu menghampirinya. Ia heran, kenapa Nasrudin kelihatan tak bergairah. Ada apa gerangan? “Aku lagi stres. Pusing, tak jelas harus berbuat apa. Padahal, aku sudah serius bekerja,” katanya sembari menarik nafas panjang. Tarikan nafas itu cermin ketertekanan.
            Ternyata, Nasrudin stres karena di mata majikannya, tak ada pekerjaannya yang dianggap beres. Ini salah, itu juga salah. Begitu pula di rumah. Istrinya selalu menyalahkannya. Hingga pernah suatu saat ia mengeluh pada istrinya: “Dulu, waktu baru nikah, setiap kali aku pulang ke rumah, kau membawakan sandalku, dan anjing kita menyambut dengan gonggongan. Kini terbalik, anjing kita malah yang membawakan sandal, dan kau yang menggonggong.”
Mendengar kegusaran Nasrudin, istrinya tak kalah tangkas menangkis. Perang mulut pun tak terelakkan. Masalah bertambah runyam karena anaknya ikut-ikutan mengatur. Tak disangka, rumah pun bisa jadi sumber “malapetaka” baginya. Tiada hari tanpa masalah. Nasrudin pun jadi uring-uringan. Karena itu, ia lebih senang menyendiri. Mungkin saja Nasrudin memahami sebuah ungkapan, “Kebenaran itu bukan untuk dipelajari, melainkan ditemukan dalam diam.”
Tidak mau terus-menerus dibebani masalah, Nasrudin pun putar akal. Ketemu obatnya. Ia lalu membeli sepatu nomor 40, kendati kakinya berukuran 42. Anda bisa bayangkan, Nasrudin yang disiksa stres lalu menciptakan stres tandingan dengan memakai sepatu kekecilan. Hasilnya, ia merasa plong kala melepas sepatunya, setelah seharian dirongrong stres. “Uh, leganya,” ujar Nasrudin cerah.
Ada-ada saja kelakuan Nasrudin. Namun, dari cerita ini bisa ditarik garis apa saja. Misalnya, bahwa sebenarnya kehidupan itu intinya ada di hati. Jika “hati itu gelap”, sulit menemukan kebenaran. Jadi, butuh “cahaya” Ilahi. Cahaya inilah yang akan menuntun kita menemukan kebenaran. Akan tetapi, cahaya itu tak selalu menyala terang. Saat angin bertiup sangat kencang, cahaya itu bisa padam dan keadaan menjadi gulita. Saat seperti itu, kita takkan mampu memahami masalah sendiri dengan dalam. Maka yang muncul kemudian adalah stres.

Hidup Tanpa Stres
Tuhan menciptakan manusia dengan segenap keunikan. Sejak ia dilahirkan, manusia sudah mulai belajar mengenal sifat-sifat lingkungannya. Pun bagaimana cara menghadapinya. Proses ini berlangsung terus menerus dalam kehidupannya. Dalam proses itu, ada tuntutan terhadap masalah yang mewarnai kehidupan emosional seseorang. Entah itu emosi positif, seperti cinta, bahagia, dan senang; atau emosi negatif, seperti rasa takut, cemas, marah, tertekan, dan rasa bersalah. Situasi yang menekan tersebut merupakan pemicu timbulnya stres.
Stres merupakan sesuatu yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Bahkan, stres sudah menjadi bagian dari kehidupan itu sendiri. Stres menyerang tidak pandang bulu. Ia datang akibat adanya situasi eksternal atau internal yang menimbulkan tekanan dan gangguan pada keseimbangan hidup seseorang. Stres biasanya menampilkan diri melalui berbagai gejala, seperti meningkatnya kegelisahan, ketegangan, dan kecemasan. Juga dapat tampil dalam perubahan pada perilaku: jadi tidak sabar, lebih cepat marah, atau menarik diri dari lingkungan sosial. Namun begitu, meski cukup sering mengganggu, stres tidak perlu selalu dilihat sebagai hal negatif. Dalam hal-hal tertentu, stres memiliki implikasi positif. Istilah psikologisnya, eustress atau stres dalam artian positif, yakni keadaan yang dapat memotivasi dan berdampak menguntungkan. Misalnya, karena merasa tertinggal, seseorang memotivasi diri sendiri sehingga dapat berprestasi gemilang.
Dalam kajian psikologi populer, stres terjadi jika seseorang dihadapkan pada peristiwa yang dirasakan sebagai ancaman terhadap kesehatan fisik maupun psikologisnya. Karena itu, sebagian orang mendefinisikan stres sebagai tekanan, desakan, atau respon emosional. Dengan kata lain, stres merupakan keadaan tertekan di mana beban yang dirasakan seseorang tidak sepadan dengan kemampuannya untuk mengatasi beban tersebut. Makanya, jika tidak ingin dirongrong stres terus menerus, kita perlu melakukan usaha-usaha untuk menguasai, mengurangi, menoleransi, dan meminimalkan tekanan-tekanan tersebut.
Lima belas abad silam, Allah ‘azza wa jalla telah memberi pencerahan. Dia yang Maha Pengasih menganjurkan manusia untuk bersabar ketika menghadapi berbagai kenyataan hidup. Kesabaran dapat diartikan sebagai kemampuan untuk menghayati realitas yang terjadi, menyadari bahwa realitas itu diciptakan oleh Allah, dan kesediaan untuk menerima kenyataan yang boleh jadi tidak menyenangkan secara fisik pun psikis. Istilah ini juga dikenal sebagai kelapangdadaan (al-basith). Ketahuilah, tidak ada anjuran dari Sang Khaliq kecuali secara potensial manusia mampu melakukannya. Tidak ada anjuran untuk bersabar atau berlapangdada tanpa ada potensi untuk memiliki kelapangdadaan atau kesabaran. Karena itu, tidak ada alasan untuk stres. Mahabenar Allah dalam firman-Nya:
 “Bukankah kami telah melapangkan untukmu dadamu? Dan kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu yang memberatkan punggungmu? Dan Kami tinggikan bagimu namamu (derajatmu)? Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah [94]: 1-5)

Tahajud sebagai Terapi
Telaah psikoneurologi menyebutkan bahwa masyarakat modern menjalankan aktivitas yang didominasi oleh keterlibatan otak kiri. Konsekuensinya adalah terbentuknya individu-individu yang mengedepankan rasionalitas seraya cenderung menihilkan keterlibatan emosionalitas dalam pelbagai aktivitas mereka. Daya analisisnya canggih, namun empatinya rendah. Retorikanya gegap-gempita, tapi penghayatannya akan masalah sunyi senyap. Sebuah fenomena yang umum sebagai hasil dari digunakannya satu sisi otak saja.
Untuk merekonstruksi masyarakat yang bertindak-tanduk demikian, dibutuhkan wahana yang mampu mengaktifkan kembali kebutuhan setiap individu untuk dapat menjadi lebih cerdas secara emosional dan spiritual. Tanda-tanda munculnya kembali rasa rindu khalayak luas akan kejernihan emosi dan kebeningan spiritual menunjukkan peningkatan belakangan ini. Hal tersebut tampak dari menjamurnya berpuluh-puluh pelatihan serta seminar tentang emosi dan spiritualitas. Juga ramai sekali diselenggarakan majelis dzikir dan doa secara massal.
Sebuah penelitian bertajuk “Religion and Spirituality in Coping with Stress” yang dipublikasikan oleh Journal of Counseling and Values (2001) menunjukkan bahwa semakin penting spiritualitas bagi seseorang, maka semakin besar kemampuannya mengatasi masalah yang dihadapi. Penelitian ini menyarankan bahwa spiritualitas bisa memiliki peran yang penting dalam mengatasi stres. Spiritualitas bisa melibatkan sesuatu di luar sumber-sumber yang nyata atau mencari terapi untuk mengatasi situasi-situasi yang penuh tekanan di dalam hidup. Kesehatan spiritual mencakup penemuan makna dan tujuan dalam hidup seseorang, mengandalkan Tuhan atau suatu kekuatan yang lebih tinggi (The Higher Power), merasakan kedamaian, atau merasakan hubungan dengan alam semesta.
Satu anjuran yang kerap digemakan sebagai sarana pendekatan diri kepada Tuhan adalah shalat tahajud. Hal yang menggembirakan, shalat malam ternyata bermanfaat untuk kesehatan. Khasiat ini dibuktikan melalui sebuah riset. Adalah Dr. Mohammad Soleh dalam bukunya Terapi Shalat Tahajud mengungkapkan bahwa tahajud bisa mencegah stres dan meningkatkan daya tahan tubuh manusia. Tentu bila itu semua dikerjakan secara teratur dan ikhlas. Saking utamanya shalat di sepertiga malam terakhir ini, Rasulullah SAW bersabda:
“Setan mengikat pada tengkuk tiap orang di antara kamu, ketika ia tidur, dengan tiga ikatan (simpul). Setiap simpulnya ditiupkan ucapannya, ‘Bagimu malam yang panjang, tidurlah dengan nyenyak.’ Maka apabila ia bangun dan menyebut nama Allah, terurailah satu simpul. Bila ia berwudhu, terurailah satu simpul lagi. Dan ketika ia shalat, maka terurailah simpul terakhir; lalu di pagi hari, dirinya menjadi segar, bersemangat dan hatinya pun terang. Jika tidak, maka di pagi hari jiwanya dililit kekalutan dan malas untuk beraktivitas.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)
Agaknya, benar kata orang bijak, “Take time to pray. It is the greatest power on earth.” Jadi, shalatlah tahajud dengan ikhlas jika ingin hidup tenang dan sehat. Ibnu Mubarrak berkata dalam bait syairnya, “Saat malam tiba berselimut gulita// Kala manusia lain lelap dalam tidurnya// Mereka lawan beratnya malam dengan ibadah// untuk merebak cahaya Yang Kuasa// Rasa takut kepada-Nya menerbangkan kantuk mereka// Sedang orang yang merasa aman dari murka-Nya// terbuai dalam mimpi-mimpinya.” Wallaahu a’lam bisshawab.

menyikapi hidup dengan zuhud


Siapakah yang lebih baik dalam hal agama daripada orang yang memasrahkan dirinya kepada Allah dan dia adalah orang yang berbuat baik lagi pula ia sepenuh hati mengikuti agama Ibrahim yang lurus (hanif)
(Q.S. An-Nisaa [4]: 125).



Allah menjadikan hidup ini  sebagai ujian. Hal ini dapat dilihat dari firman-Nya dalam surat Yunus [10] ayat 7 dan surat al-Mulk [67] ayat 2. Berdasarkan dua ayat ini, kita bisa mengetahui bahwa Allah menjadikan hidup ini sebagai ujian dengan tujuan apakah manusia dapat mengisi hidupnya dengan amalan-amalan yang baik. Manusia yang berhasil menjadi manusia yang paling baik adalah mereka paling paling taat kepada-Nya.
Hidup memang sebuah ujian, hanya orang-orang yang benar-benar teguh iman saja yang dapat melewati ujian ini dengan baik. Mereka adalah orang-orang yang tidak tertipu oleh kilauan nikmat dunia yang begitu menggoda, orang-orang yang memahami hakikat kehidupan dunia ini sesuai dengan apa yang telah Allah dan Rasul-Nya ajarkan. Mereka memndang dunia dan seisinya ini tak lebih dari sebuah permainan yang seringkali melalaikan, mereka tidak berbangga hati dan sombong dengan harta kekayaan dan anak yang di miliki. Jika dalam diri mereka telah tertanam sifat-sifat tersebut, maka mereka adalah orang-orang yang zuhud.
Zuhud merupakan sifat yang seharusnya dimiliki oleh setiap orang yang mengaku mukmin. Zuhud juga hendaknya menjadi gaya hidup umat muslim kapan dan di manapun ia berada. Zuhud bukanlah meninggalkan kenikmatan dunia, bukan berarti mengenakan pakaian yang lusuh, dan bukan berarti miskin. Zuhud juga bukan berarti hanya duduk di masjid, beribadah dan beribadah saja tanpa melakukan kegiatan-kegaitan lainnya. Zuhud adalah kemampuan kita dalam menjaga hati dari godaan serta tipu daya kemewahan dunia tanpa meninggalkannya. Dengan pengertian yang lebih luas, zuhud merupakan hikmah pemahaman yang membuat seseorang memiliki pandangan khusus terhadap kehidupan duniawi; mereka tetap bekerja dan berusaha, namun kehidupan duniawi itu tidak menguasai kecenderungan hatinya dan tidak membuatnya meninggalkan Allah sedetik-pun. Kita beramal shalih, memakmurkan bumi dan bermuamalah, namun di saat yang sama hati kita tidak tertipu. Kita meyakini sepenuhnya bahwa kehidupan akhiratlah yang menjadi tujuan utama.
Melalui sebuah hadits singkat Rasulullah SAW telah memberikan panduan bagi orang-orang yang beriman dalam menghadapi kehidupan dunia: “Jadilah kamu di dunia seperti orang asing atau musafir.’ (H.R. Bukhari). Rasul tidak hanya memberi perintah, melainkan Beliau juga mencontohkan langsung kepada umatnya bagaimana cara hidup di  dunia, yakni setiap gerak langkah selalu bermuara pada harapan akan keridhaan Allah. Semua orang sepakat bahwa Beliau SAW adalah sosok yang paling rajin bekerja dan beramal shalih. Tak ada seorangpun yang mampu menandingi semangat beliau dalam menjalankan ibadah, padahal Alah sudah menjamin Beliau masuk surga. Di medan perang, beliau adalah orang yang gigih berjihad, senantiasa mendampingi pasukan, dan bahkan berada di garis depan. Tidak hanya duduk di belakang meja memberi perintah. Yang paling mengagumkan adalah kehidupan beliau yang begitu sederhana dan bersahaja.
Suatu ketika Ibnu Mas’ud r.a. melihat Rasulullah tidur di atas tikar yang lusuh sampai-sampai pola anyaman tikar membekas di pipinya. Lalu Ibnu Mas’ud menawarkan kepada beliau sebuah kasur. Apa jawaban rasul? “Untuk apa dunia itu! Hubungan saya dengan dunia seperti pengendara yang mampir sejenak di bawah pohon, lalu pergi dan meninggalkannya.” (HR Tirmidzi).
Kesederhanaan hidup Rasul ini benar-benar dicontoh oleh para sahabatnya. Abu Bakar ash-Shiddiq, Usman bin Affan dan Abdurrahman Bin Auf hanya segelintir contoh sahabat Rasul yang memiliki kekayaan melimpah, namun hanya sedikit dari kekayaan itu yang mereka nikmati sendiri. Sebagian besarnya mereka gunakan bagi kepentingan dakwah, jihad fii sabilillah dan menolong kaum muslimin. Bahkan Abu Bakar pernah memanjatkan do’a kepada Allah: “Ya Allah, jadikanlah dunia di tangan kami, bukan di hati kami.” Selain itu, sembilan dari sepuluh sahabat Nabi yang telah dijamin masuk surga adalah termasuk orang-orang yang kaya raya. Tapi di saat yang sama mereka pun zuhud, tidak membangga-banggakan harta kekayaannya. Mereka rajin bersedekah baik untuk orang-orang miskin maupun untuk kepentingan dakwah.
Teladan-teladan kehidupan sederhana dan bersahaja seperti yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat itu sudah sangat jarang kita temukan di zaman sekarang ini. Sebagian besar umat Islam kini telah terjebak dan terlena oleh manisnya tipu daya dunia, rakus terhadap kehidupan dunia bahkan terkadang rela menghalalkan segala cara untuk mendapatkan harta kekayaan yang sebenarnya hanya bersifat sementara. Hal semacam itu sama seperti apa yang dilakukan oleh orang-orang kafir sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah SWT dalam surat Muhammad ayat 12: Dan oran-orang yang kafir itu bersenang-senang(di dunia) dan mereka makan seperti binatang-binatang. Dan neraka adalah tempat tinggal mereka. (Q.S. Muhammad [47]: 12).
Orang-orang yang memiliki harta lebih, terkadang enggan untuk mengeluarkan hak-hak saudaranya yang terdapat dalam harta kekayaannya tersebut. Kalaupun bersedekah itu hanya sedikit sekali dan itu pun masih disertai dengan perkataan yang mengindikasikan ketidakikhlasan hatinya. Mereka dengan bangga mengatakan semua itu adalah hasil jerih payahnya sendiri.
Lain lagi dengan fenomena yang terjadi di kalangan remaja, gaya hidup hedonis dan glamour sudah melekat kuat dalam diri mereka. Walupun harta kekayaan yang mereka gunakan bukan dari hasil jerih payah sendiri, mereka berbangga dan sombong. Kuliah rasanya tidak keren kalau tidak menggunakan mobil mewah, pakaian dan aksesoris lain yang dikenakan pun tidak mau atau malu jika harganya murah. Kebanyakan dari remaja sekarang lebih bangga hidup dengan gaya kebarat-baratan dimana batasan halal dan haram tidak jadi acuan.
Beberapa contoh tadi setidaknya memberikan gambaran pada kita bahwa kerusakan moral umat Islam saat ini sudah mencapai tahap yang sangat memprihatinkan. Pandangan materi mendominasi pada hampir semua lapangan kehidupan. Gaya hidup kaum muslimin khususnya para remaja nyaris tak sedikitpun mencerminkan sikap Islam apalagi zuhud, bahkan sikap mereka sudah tidak ada bedanya dengan bagaimana orang-orang kafir bersikap. Apabila dikumpulkan antara remaja muslim dan non-muslim di suatu tempat akan sangat sulit bagi kita untuk membedakannya. Masyarakat kita manganggap tolok ukur kesuksesan hanya didasarkan pada sebanyak apa kekayaan yang dimiliki dan semewah apa aksesoris yang digunakan. Maka tidak heran jika masyarakat kita berlomba-lomba menjadi selebriti, menjual diri dan harga diri demi keuntungan materi semata.
Mencintai dunia dan rakus harta adalah penyakit paling berbahaya. Tidak berlebihan jika dikatakan, segala bentuk kejahatan bermuara dari kerakusan terhadap dunia dan gaya hidup materialisme. Seks bebas, penjualan bayi, narkoba, perjudian, riba, KKN, korupsi dan lainnya dan segala bentuk tindakan kriminal selalu bertalian erat dengan kerakusan terhadap harta dan materi. Rasulullah SAW mengingatkan tentang bahayanya: “Dua serigala lapar yang dikirim kepada kambing tidak begitu berbahaya dibanding kerakusan seseorang tehadap harta dan kedudukan.” (H.R. Tirmidzi).
Oleh karena itu, merupakan hal yang sangat penting bagi kita untuk sadar dan menyadarkan kembali diri sendiri beserta saudara-saudara kita tentang hakikat dunia dan akhirat. Iman terhadap hari akhir merupakan prinsip yang harus terus-menerus diingatkan dan ditanamkan dalam hati kita, sehingga motivasi dan tujuan hidup kita sesuai dengan nilai-nilai Islam dan dapat memupuk sikap zuhud kita terhadap kehidupan dunia. Sebab dari sinilah ujung pangkal segala kebaikan dan keburukan. Semakin kuat keimanan seseorang kepada hari akhir, maka semakin tenanglah ia memandang kehidupan. Sebaliknya, semakin lemah keimanan seseorang terhadap hari pembalasan, otomatis akan menjadikan ia manusia yang rakus dan mudah tertipu oleh gemerlap keindahan yang ditawarkan oleh dunia.
“ya Allah jadikanlah dunia di tangan kami bukan di hati kami”