Sekecil Apapun Kebahagiaan mari kita rayakan dengan ngopi!!!!!

Sabtu, 01 Februari 2014

Sayap Sayap Bertasbih...

 Bismillaahirrahmaanirrahiim

1. Apakah engkau sangka burung terbang karena sayapnya?  Tidak. Sesungguhnya, Allah yang menahannya di udara.

2. Apakah engkau sangka manusia berdiri karena kakinya?  Tidak. Sesungguhnya Allah yang menahannya di permukaan bumi.

3. Apakah engkau sangka ikan berenang karena siripnya?  Tidak. Sesungguhnya Allah yang menahannya di dalam air.

4. Allah Maha Pengasih dan Penyayang. Dia Memberi bahkan sebelum diminta. Dia Maha Pemelihara, tak tidur tak pula mengantuk.

5. Apakah engkau sangka bumi itu datar? Tidak. Sesungguhnya bumi digelar pada awalnya dan bumi akan digulung lagi pada akhirnya.

6. Apakah engkau sangka bumi datar? Tidak. Sesungguhnya bumi itu bulat.  Betapa terbatas penglihatan, betapa mudah mata teperdaya.

7. Apakah engkau sangka bumi itu diam? Tidak. Sesungguhnya Allah memutarnya sehingga tampak bagimu silih berganti siang dan malam.

8. Apakah engkau sangka bumi itu diam? Tidak. Sesungguhnya Allah memutarnya teratur dan cepat -- di luar batas kesadaran makhluk.

9. Apakah engkau sangka bumi itu lunglai? Tidak. Sesungguhnya Allah memberinya daya menarik segala hal di atasnya agar melekat.

10. Apakah burung terbang karena sayapnya, manusia berdiri karena kakinya,  ikan berenang karena siripnya?  Tidak! Allah menopang makhlukNya.

11. ... burung-burung yang mengembangkan dan mengatupkan sayapnya di atas mereka? Tidak ada yang menahannya di udara selain Yg Maha Pemurah. (Q.S 67:19)

12. Qiyamuhu binafsihi. Allah Maha Hidup Maha Kuat, Dia Berdiri Sendiri tanpa penopang tanpa penolong. Makhluk sebaliknya: dhaif.

13. Kemudian Allah menetapkan kepada makhlukNya kemuliaan supaya mereka dapat mensucikan Diri dan memuji Kesucian Tuhannya.

14. Sebaik-baik memuji Allah adalah bertasbih, " Subhanallaah,"  dan sebaikbaik memohon kemuliaan adalah memuji," Alhamdulillah."

15. "Tidakkah kau tahu bahwa bertasbih kepadaNya apa yg di langit dan bumi, juga burung dengan mengembangkan sayapnya." [Q.S 24:41]

16. Di hadapan Allah, kemuliaan makhluk ditentukan oleh kadar ketakwaannya. Kau kira kau lebih berhak surga daripada burung?

17. "Masing-masing telah mengetahui cara sembahyang dan tasbihnya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan." [Q.S 24:41]

18. "Tiada makhluk yg merayap di bumi, tiada burung yg terbang dengan sayapnya, melainkan mereka adalah umat yang serupa dengan kamu." [Q.S 6:38]

19. Masihkah kau sangka kau lebih mulia dibanding burung-burung yang memuji Tuhannya dengan kepakan sayap? Bagaimana kau memuji Tuhanmu?

20. Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat serendah-rendahnya. [Q.S 95:3-4]

21. Tak terhitung betapa Allah telah memuliakanmu, memberi nafas tanpa kau memintanya, lalu nikmat apa lagi yang kau dustakan?

22. Tak terhitung betapa Allah telah memuliakanmu, memberi nafas tanpa kau memintanya, lalu mengapa kau berkeras menyekutukanNya?

23. Siapa yg mempersekutukan Allah, ia seolah jatuh dari langit lalu disambar burung, atau diterbangkan angin jauh. [Q.S. 22:31]

24. Masihkah kau akan menganggap dirimu lebih mulia daripada burung, setelah kau kekal mempersekutukan Allah dalam hidupmu?

25. "Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, melainkan yang buta adalah hati yang di dalam dada." [Q.S. 22:46]

26. Alangkah mulia burung-burung yang kicaunya saja menentramkan jiwa. Alangkah hina manusia yang suka mencaci di antara mereka.

27. "Engkau memuliakan dan menghinakan siapapun yang Engkau Kehendaki. Di tanganMu segala kebaikan." [Q.S. 3:26]. Siapalah aku ini?

28. Maka seorang Fariduddin Attar pun belajar dari musyawarah burung-burung, dan ia merendahkan suara ketika memuji Tuhannya.

29. Dan oleh burung bahkan aku telah dikalahkan. "Aku orang yang dikalahkan, tolonglah aku. [Q.S. 54:10]." Apa yg bisa kubanggakan?

30. Ya Allah. Demi burung-burung yang terbang, dan sayap-sayap yang dikepakkan, aku memujiMu. Aku menyesal dan memohon ampunanMu.

Alhamdulillaahirabbil 'aalamiin.

By: Gus Candra

Senin, 27 Januari 2014

Belajar dari Secangkir Kopi

Iman dibangun atas empat pilar keyakinan. Yaitu ilmal yaqin atau percaya berdasarkan pengetahuan, 'ainul yaqin atau percaya berdasarkan pandangan langsung, haqqul yaqin atau percaya berdasarkan pengalaman pribadi, dan ikmal yaqin atau percaya berdasarkan keterlibatan mendalam.

Ilmal yaqin dapat diibaratkan sebagai mula-awal belajar. Seorang Sufi menimba ilmu dari siapa pun, terutama dari gurunya, tentang sesuatu hal. Sebagaimana seorang pehobi masak mencatat resep masakan dari seorang Chef. Jika berhenti hanya pada menimba ilmu, apalagi jika sebanyak-banyaknya, maka semakin banyak ilmu justru semakin berat beban hidupnya.

Para Sufi memiliki analogi yang satir, yaitu betapa pun seekor keledai menarik segerobak ilmu, toh ia tetaplah seekor keledai. Semakin banyak ilmu, jika tak diwujudkan menjadi amal, maka alih-alih membawa manfaat, ia justru menimbulkan madharat bagi penghimpun ilmu itu sendiri. Oleh karenanya, ilmal yaqin harus dilanjutkan dengan 'ainul yaqin.

Kita bisa belajar dari kopi. Setelah mencatat bahwa secangkir kopi dibuat dari setuang air mendidih, setakar bubuk kopi, dan gula sebutuhnya, seorang Sufi harus melihat sendiri apa itu air, kopi, dan gula. Tak cukup baginya hanya mendapati air, kopi, dan gula sebagai susunan aksara. Hanya teks, dan bukan konteks.

Sesuai fitrahnya, kopi diseduh atau disajikan dengan ampasnya, dengan cangkir, bukan gelas. Tapi, mengapa harus demikian? Seorang Guru Tasawuf saya mengatakan," supaya kau seolah memegang kuping sendiri saat memegang kuping cangkir."

"Setelah kuping terpegang dan kopi mendekat, kau aktifkan lidah sebagai indera penyesap dan hidung sebagai indera pencium," lanjutnya. Mata sebagai indera penglihat akan menatap ke arah suwung tertentu, ketika kopi kita sesap dan seketika aromanya kita hirup. Segera panasnya secangkir kopi itu membuka pori-pori kulit, sehingga pendek kata: hiduplah seluruh lima indera dalam diri.

Inilah mengapa tatkala mengaji Tasawuf, seorang murid disuguhi secangkir kopi oleh sang mursyid. Lebih pahit lebih baik bagi indera. Seolah belum Sufi jika belum ngopi. Dan, memang demikianlah tradisi ngopi bermula: dari para Sufi yang melek semalam suntuk.

"Tahu dari mana itu kopi?" tanya Guru Tasawuf saya, suatu malam. Ia berseru,"siapa tahu aspal? Toh sama hitamnya sama pekatnya. Minumlah!"

Segera saya sesap secangkir kopi itu, saya rasakan dengan tamat, lalu saya jawab,"Ini benar kopi, Kiai. Yakin seyakin-yakinnya."

Guru saya itu berwasiat, iman dibangun setidaknya dengan empat keyakinan: 'ilmal yaqin, 'ainul yaqin, haqqul yaqin, ikmal yaqin. "Ilmal yaqin adalah yakin berdasar pengetahuan. Tahu secangkir kopi diracik dari air mendidih, kopi, dan gula dalam takaran tertentu. Namun, cita-rasa tak cukup hanya dari resep di atas kertas. 'Ainul yaqin adalah yakin berdasarkan kesaksian. Melihat kasunyatan," katanya.

Melihat sendiri,"O, ini yang disebut air mendidih. O, ini bubuk kopi. O, ini butiran gula." Nyata. Bukan lagi teori, bukan ilusi. Tapi, melihat saja pun tak cukup. Haqqul yaqin adalah yakin karena mengalami sendiri. Memasak air, meracik kopi. Terlibat prosesnya. Puncaknya keyakinan adalah ikmal yaqin, yaitu yakin karena merasakan sendiri. Menyesap kopi dan merasakan sensasinya.

Ini kopiku, mana kopimu?

#SulukSufi  By: Gus Candra