Sekecil Apapun Kebahagiaan mari kita rayakan dengan ngopi!!!!!

religi

Makna Laa Ilaha Illallah

Sumber : Ustadz Luqman Jamal

Pertanyaan :
Banyak penafsiran yang muncul di tengah masyarakat tentang makna Laa Ilaaha Illallah. Ada yang mengatakan tidak ada Tuhan selain Allah dan inilah yang paling sering didapati dan dijumpai, tapi timbul pertanyaan dan kebingungan dalam benak banyak orang, kalau itu adalah makna Laa Ilaaha Illallah maka orang-orang Yahudi dan Nashoro serta orang kafir yang lainnya juga mengatakan seperti itu, dan ada juga yang mengatakan bahwa maknanya tidak ada yang ada kecuali Allah dan berbagai makna dan penafsiran yang lainnya. Mohon penjelasan disertai dengan dalil-dalil?

Jawab :

Tidak ada keraguan bahwa kalimat tauhid Laa Ilaha Illallah adalah kalimat yang paling agung, rukun pertama dalam Islam, penentu selamat atau meruginya seorang hamba di akhirat, dasar iman serta asas dakwah dari seluruh Nabi dan Rasul, sebagaimana dalam firman Allah :

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus pada setiap umat seorang Rasul (untuk menyerukan) : “Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah Thagut (segala yang disembah selain Allah)”. (QS. An-Nahl : 16/36).

Dan kalimat inilah yang membedakan antara seorang mukmin dengan orang kafir. Oleh karena itu seorang muslim wajib mengetahui makna yang benar dari kalimat ini agar tidak terjerumus ke dalam hal-hal yang bisa mengurangi nilai syahadatnya bahkan bisa membatalkannya.

Makna Laa Ilaaha Illallah

Secara bahasa bisa kita uraikan secara ringkas sebagai berikut :

Laa adalah nafiyah lil jins (Menafikan jenis secara nash) yaitu Laa yang meniadakan jenis kata benda yang datang setelahnya, misalnya : Laa rajula fil bait (tidak ada seorang lelaki pun di dalam rumah). Rajula adalah kata benda untuk jenis laki-laki, dalam contoh di atas kata rajula ini terletak setelah laa nafiyah lil jins maka maknanya adalah “tidak ada seorang pun dari jenis laki-laki berada di dalam rumah”.

Ilah adalah mashdar (kata dasar) yang bermakna maf’ul (obyek) yakni bermakna ma`luhartinya ma’bud (yang diibadahi) sebagaimana penafsiran Ibnu ‘Abbas terhadap ayat 127 dalam surah Al-A’raf :

وَقَالَ الْمَلأُ مِنْ قَوْمِ فِرْعَوْنَ أَ تَذَرُ مُوْسَى وَقَوْمَهُ لِيُفْسِدُوْا فِيْ الْأََرْضِ وَيَذَرَكَ وَءَالِهَتَكَ قَالَ سَنُقَتِلُ أَبْنَاءَهُمْ وَنَسْتَحْيِيْ نِسَآءَهُمْ وَإِنَّا فَوْقَهُمْ قَاهِرُوْن َ

"Berkatalah pembesar-pembesar dari kaum Fir’aun (kepada Fir’aun) : “Apakah kamu membiarkan Musa dan kaumnya untuk membut kerusakan di negeri ini (Mesir) dan meninggalkan kamu serta ilah-ilahmu?”, Fir’aun menjawab : ”Akan kita bunuh anak-anak lelaki mereka dan kita biarkan hidup anak-anak perempuan mereka dan sesungguhnya kita berkuasa penuh di atas mereka”. (QS. Al-A’raf : 7/127).

Alihataka (ilah-ilahmu) yaitu ibadah kepadamu karena Fir’aun itu disembah dan tidak mau menyembah.

Lihat : Tafsir Ibnu Jarir.

Dan dalam syair dari Ru`bah Ibnul ‘Ujaj

لِلَّهِ دَرُّ الغَانِيَاتِ الْمُدَّهِ سَبَّحْنَ وَاسْتَرْجَعْنَ مِنْ تَأَلُّهِي

“Betapa hebatnya para wanita kaya yang cerdik mereka bertasbih dan membaca istirja’ melihat Ta`alluhi (pengilahanku)”.

Sisi pendalilan dari syair ini adalah kata Ta`alluhi(pengil ahanku) yakni penyembahanku dan permintaanku kepada Allah dari amalanku.

Lihat : Fathul Majid hal.19.

Illa (kecuali). Pengecualian disini adalah mengeluarkan kata yang terletak setelah illa dari hukum kata yang dinafikan oleh laa. Artinya bahwa hanya lafadzjalalah “Allah” yang diperkecualikan dari seluruh jenis ilah yang telah dinafikan oleh kata laa.

Allah asalnya Al-Ilah dibuang hamzahnya kemudian lam yang pertama diidhgamkan pada lam yang kedua maka menjadilah satu lam yang ditasydid dan lam yang kedua diucapkan tebal sebagaimana pendapat Imam Al-Kisa`i dan Imam Al-Farra` dan juga pendapat Imam As-Sibawaih.

Allah (lafadz jalalah). Kata Al-Imam Ibnu Qoyyim dalam Madarij As-S alikin 1/18 : “Nama “Allah” menunjukkan bahwa Dialah yang merupakan ma’luh (yang disembah) ma’bud (yang diibadahi). Seluruh makhluk beribadah kepadanya dengan penuh kecintaan, pengagungan dan ketundukan…”.

Lafadz jalalah “Allah” adalah nama yang khusus untuk Allah saja, adapun seluruh nama-nama dan sifat-sifat Allah yang lainnya kembali kepada lafadz jalalah tersebut. Karena itulah tidak ada satupun dari makhluk-Nya yang dinamakan Allah.

Kemudian Laa ini masuk ke dalam mubtada dan khobar, yaitu masuk pada jumlah ismiah, mubtada menjadi isim laa dan khobar mubtada menjadi khobarnya, sedangkan pada kalimat Laa Ilaaha Illallah yang ada hanya mubtadanya saja yaitu ilah yang asalnya Al-Ilah kemudian dibuang Al-nya karena seringnya dipakai sementara khobarnya ternyata tidak ada, maka berarti khobarnya (dibuang) maka kita perlu mencari khobarnya untuk memahami maknanya dengan benar .

Maka para ulama salaf mentaqdirkan bahwa yang dibuang tersebut adalah haqqun dengan dalil firman Allah dalam surah Luqman ayat 30 :

ذَلِكَبِأَنَّاللهَهُوَالحَقُّوَأَنَّمَايَدْعُوْنَمِنْدُوْنِهِالبَاطِلُوَأَنََّاللهَهُوَالعَلِيُّالكَبِيْرُ

“Yang demikian itu karena Allahlah yang hak dan apa saja yang mereka sembah selain Allah adalah batil dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS. Luqman : 31/30).

Sedangkan lafadz jalalah ( الله ) hanya badal dari ilah bukan khobar laa

Maka dari penjelasan tadi maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa makna Laa ilaaha illallah adalah tidak ada sembahan yang benar kecuali Allah.

لا = Huruf nafi lil jins masuk pada mubtada’ dan khobar artinya Tidak ada

إله = Mubtada’ yang berubah menjadi isimnya Laa artinya yang disembah

إلا = Khobar mubtada’ yang dibuang yang berubah menjadi khobarnya Laa taqdirnya haqqun (yang benar)

الله = Yang di perkecualikan dari hukum sebelumnya yaitu penafian seluruh ilahi

Makna Laa Ilaaha Illallah menurut para ulama salaf

Berkata Al-Wazir Abul Muzhoffar dalam Al-Ifshoh : “Isim “Allah” sesudah “illa” menunjukkan bahwasanya penyembahan wajib (diperuntukkan) hanya kepada-Nya, maka tidak ada (seorangpun) selain dari-Nya yang berhak mendapatkannya (penyembahan itu)… hendaknya kamu tahu bahwa kalimat ini mencakup kufur kepada th agh ut dan beriman kepada Allah. Maka tatkala engkau menafikan penyembahan dan ditetapkan kewajiban penyembahan itu kepada Allah subhanahu maka berarti kamu telah kufur kepada thaghut dan beriman kepada Allah”.

Berkata Imam Az-Zamakhsyary : “Al-Ilah termasuk nama-nama jenis seperti Ar-Rajul (seorang lelaki) dan Al Faras (seekor kuda), penggunaan kata Al-Ilah pada segala yang disembah yang hak maupun yang batil. Kemudian kata Al-Ilah itu umum digunakan kepada yang disembah yang benar”.

Berkata Imam Ibnul Qayyim : “Al-Ilah adalah yang Dialah yang disembah oleh hati-hati (manusia) dengan penuh kecintaan, pengagungan, kembali padanya, pemuliaan, pengagungan, penghinaan diri, rasa tunduk, rasa takut, harapan dan tawakkal (pada-Nya).”

Berkata Imam Ibnu Rajab : “Al-Ilah adalah yang ditaati dan tidak didurhakai karena mengagungkan dan memuliakan-Nya, merasa cinta, takut, berharap dan bertawakkal kepada-Nya, meminta dan berdo’a pada-Nya. Dan semua ini tidak boleh kecuali kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Maka siapa yang mengikutsertakan makhluk-Nya pada salah satu dari perkara-perkara yang merupakan kekhususan penyembahan (ibadah) ini maka dia telah merusak keikhlasannya dalam kalimat Laa Ilaaha Illallah. Dan padanya terdapat peribadatan kepada makhluk (kesyirikan) yang kadarnya sesuai dengan banyak atau sedikitnya hal-hal tersebut terdapat padanya”.

Berkata Al-Imam Al-Baqo`i : “Laa Ilaaha Illallah yaitu peniadaan yang besar dari menjadikan yang diibadahi yang benar selain Raja yang paling mulia karena sesungguhnya ilmu ini, khususnya Laa Ilaahaa Illallah adalah peringatan yang paling besar yang menolong dari keadaan hari kiamat dan sesungguhnya menjadi ilmu jika bemanfaat dan menjadi bermanfaat jika disertai dengan ketundukan dan beramal dengan ketentuannya. Kalau tidak maka itu adalah kebodohan semata”.

Berkata Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh : “Dan ini banyak dijumpai pada perkataan kebanyakan ulama salaf dan merupakan ‘ijma (kesepakatan) dari mereka. Maka kalimat ini menunjukkan penafian penyembahan terhadap segala apa saja selain Allah bagaimanapun kedudukannya. Dan menetapkan penyembahan hanya kepada Allah saja semata. Dan ini adalah tauhid yang didakwahkan seluruh Rasul dan ditunjukkan oleh Al-Qur’an dari awal sampai akhirnya”. Wallahu A’lam .

Lihat : Fathul Majid hal.53-54 cet. Darul Fikr.

Dari penjelasan di atas diketahui bahwa kalimat Laa Ilaaha Illallah mengandung dua rukun asasi yang harus terpenuhi sebagai syarat diterimanya syahadat seorang muslim yang mengucapkan kalimat tersebut :

Pertama : An-Nafyu (penafian) yang terkandung dalam kalimat Laa Ilaaha. Yaitu menafikan seluruh yang disembah apapun jenisnya dan bentuknya dari makhluk, baik yang hidup apalagi yang mati walaupun malaikat yang dekat dengan Allah bahkan Rasul yang diutus sekalipun.

Kedua : Al-Itsbat (penetapan) yang terkandung dalam kalimat Illallah. Yaitu menetapkan seluruh ibadah baik yang lahir seperti sholat, zakat, haji, menyembelih dan lain-lain maupun yang batin seperti tawakkal, harapan, ketakutan, kecintaan dan lain-lain dari ucapan seperti dzikir, membaca Al-Qur’an berdoa dan sebagainya dan perbuatan seperti ruku dan sujud sewaktu sholat, tawaf dan sa`i ketika haji dan lain-lain hanya untuk Allah saja.

Maka syahadat seseorang belumlah benar jika salah satu dari dua rukun itu atau kedua-duanya tidak terlaksana seperti orang yang meyakini Allah itu berhak disembah tetapi juga menyambah yang lain atau tidak mengingkari penyembahan selain Allah. Dan dua rukun ini banyak dijumpai di dalam Al-Qur’an dan itulah inti dari semua dakwah Nabi dan Rasul yang diutus oleh Allah di antaranya :

وَ مَا أَرْسَلْنَاَ مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُوْلٍ إِلاَّ نُوْحِيْ إِلَيْهِ أَنَّهُ لآَ إِلهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدُوْنِ

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan kami mewahyukan kepadanya bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”. (QS. Al-Anbiya` : 21/25).

فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطاَّغُوْتِ وَيُؤْمِنْ باِاللهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ باِلْعُرْوَةِ الْوُثْقاَ لاَ انفِصاَمَ لَهـاَ

“Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thagut dan beriman kepada Allah maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus”. (QS. Al-Baqarah : 2/256).

Kalimat yang agung “Laa Ilaaha Illallah“ tidaklah bermanfaat untuk orang yang mengucapkannya, tidak bisa mengeluarkan dia dari lingkaran kesyirikan, kecuali jika ia mengerti artinya, mengamalkannya serta mempercayainya. Sungguh orang-orang munafiq mengucapkannya, tapi (meskipun demikian ) mereka berada dilapisan terbawah dari neraka karena mereka tidak beriman dengannya dan tidak pula mengamalkannya. Demikian pula yahudi mereka mengucapkannya tapi mereka adalah manusia yang kafir karena tidak mengimaninya . demikian pula para penyembah kuburan dan para wali dari orang-orang kafir ummat ini, mereka mengucapkannya akan tetapi mereka menyalahinya dengan ucapan-ucapan, perbuatan-perbuatan dan aqidah mereka yang menyimpang. Kalimat Laa Ilaaha Illallaah tidak bermanfaat buat mereka dan tidak menjadikan mereka orang-orang islam karena mereka menyalahinya dengan ucapan, perbuatan dan keyakinan mereka . sebagian ulama menyebutkan syarat-syarat Laa Ilaaha Illallaah ada 8, yaitu : Ilmu, keyakinan, ikhlash, jujur, cinta, taat terhadap kandungannya, menerima kandungannya, pengingkaran terhadap apa yang disembah selain Allah, yang tergabung dalam dua bait syair (berikut ini ) :

عِلْمٌ يَقِيْنٌ وَإِخْلاَصٌ وَصِدْقُكَ مَعْ مَحَبَّةِ وَاِنْقِيَادٍ وَالْقَبُوْلُ لَهَا
وَزِيْدَ ثَامِنُهَا الْكُفْرَانُ مِنْكَ بِمَا سِوَى الإِلهِ مِنَ الأَشْيَاءِ قَدْ أُلِهَا

Ilmu, keyakinan dan ikhlash serta kejujuranmu

bersama cinta dan ta’at serta menerimanya.

Ditambah (syarat) yang kedelapan (adalah)

pengingkaranmu terhadap sesuatu

selain dari Allah yang telah disembah



Makna-makna yang salah dari makna Laa Ilaaha Illallah

* Tidak ada yang ada kecuali Allah. (ARAB)

Makna ini kalau diperhatikan maka akan didapati kesalahan pada beberapa sisi. Di antaranya, mereka mengartikan ilah di sini sebagai “yang ada”, sementara yang benar adalah yang “diibadahi”, dan juga makna ini menunjukkan bahwa semua yang ada adalah Allah maka ini adalah kebatilan yang paling batil sebab lebih kafir dan lebih musyrik dari orang-orang Yahudi dan Nashoro karena Tuhan mereka hanya dua atau tiga sementara orang-orang yang menyatakan seperti ini Tuhannya sangat banyak dan tidak terbatas padahal masih menganggap dirinya orang Islam.

Dan yang lebih mengherankan lagi adalah ada di antara pemimpin pergerakan Islam yang mengartikan seperti ini, bagaimana nasibnya Islam dan kaum muslimin, kalau yang dianggap pemimpin dalam memahami makna kalimat Laa ilaaha illallah saja keliru padahal kalimat ini yang merupakan asas iman dan asas dakwah maka betapa banyak orang yang tersesat karenanya. Perlu diketahui bahwa makna sesat ini telah dinyatakan oleh para Ahlul bid’ah sejak ratusan tahun yang lalu dan alhamdulillah para ulama telah menjelaskan hal ini dalam kitab-kitab mereka. Lihat Kitabul Istighotsah yang dikarang oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah

* Tidak ada pencipta kecuali Allah. (ARAB)

Makna ini kalau kita perhatikan maka maknanya benar tetapi bukan makna Laa Ilaaha Illallah. Sebab ilah maknanya “yang diibadahi” bukan bermakna pencipta. Betapa banyak yang mengartikan seperti ini tetapi tidak mau beribadah kepada Allah sebab belum tentu orang yang meyakini hal ini beribadah kepada Allah saja seperti orang-orang musyrik, orang-orang kafir, Ahlul Kitab bahkan sebagian dari kaum muslimin sebagaimana firman Allah dalam surah Luqman : 25

وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ لَيَقُوْلُنَّ اللهُ قُلِ الْحَمْدُ لِلّ‍‍َهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لاَ يَعْلَمُوْنَ

“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka : “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” Tentu mereka akan menjawab : “Allah”. Katakanlah : “Segala puji bagi Allah” ; tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui”. (QS. Luqman : 31/25).

Demikianlah kaum musyrikin mengetahui hanya Allah yang menciptakan langit dan bumi. Tapi bersamaan dengan itu mereka belum dianggap sebagai seorang muslim bahkan terus menerus mereka diperangi oleh Rasulullah .

* Tidak ada hakim kecuali Allah. (ARAB)

Kalimat ini juga maknanya benar, tapi bukan makna Laa Ilaaha Illallah .Sebab ilah sebagaimana yang terdahulu bukan bermakna hakim tetapi maknanya yang diibadahi. Dan makna ini sering dilontarkan oleh orang-orang yang mau menegakkan syariat Islam (menurut mereka) dan mengkafirkan secara mutlak orang-orang yang menurut mereka tidak mau berhukum dengan hukum Allah .

Sedangkan hukum Allah yang paling agung adalah tauhid lalu bagaimana dengan orang-orang yang ingin menegakkan hukum Allah atau syariat Islam sementara perkara yang paling pokok tidak diperhatikan bahkan kadang disepelekan dan menganggap orang-orang yang mendakwahkan dakwah tauhid adalah pemecah belah umat, tidak tahu keadaan, kuno dan berbagai macam julukan yang lain. Wallahul Musta’an .

Lihat kitab Makna Laa Ilaaha Illallah yang dikarang oleh Syaikh Sholeh Al-Fauzan.

* Tidak ada yang disembah yang ada kecuali Allah. (ARAB)

Makna dan tafsiran ini umumnya dikemukakan oleh sebagian ahli bahasa (dalam kitab-kitab bahasa) yang tidak memahami secara benar makna Laa Ilaaha Illallah. Mereka mendahulukan sisi bahasa semata-mata tanpa memperdulikan sisi syariatnya. Makna ini muncul karena mereka mentakdirkan khobar yang dibuang maujudun atau kainun yang berarti ada, padahal takdir yang benar adalah haqqun sebagaimana penjelasan sebelumnya. Kemudian dari sisi yang lain, tafsiran ini salah karena kenyataannya ada orang-orang di dunia ini yang menyembah sesembahan lain selain Allah seperti sapi, jin, patung-patung dan lain-lain. Maka tidaklah benar kalau dikatakan yang disembah manusia hanyalah Allah saja. Karena banyak sesembahan yang lain bahkan tak terbatas. Tetapi kita mengatakan tidak ada sesembahan yang benar (haqqun) yang disembah oleh manusia kecuali Allah saja. Artinya penyembahan orang-orang kepada sesembahan-sesembahan yang lain selain Allah adalah tidak benar/batil.

* Tidak ada yang mampu untuk mengadakan sesuatu kecuali Allah. (ARAB)

Makna ini umumnya dimaknakan oleh orang-orang sufi, filsafat dan ahlul kalam, bahkan mereka menyangka itulah puncak tauhid. Makna ini benar dari sisi makna, tetapi kalau Laa Ilaaha Illallah dimaknakan seperti itu tidaklah benar karena ilah bukan maknanya yang mampu untuk menciptakan yang baru tapi yang diibadahi sebagaimana penjelasan pada point nomor 2.

* Mengeluarkan keyakinan yang pasti dari dzatnya segala sesuatu dan memasukkannya pada dzatnya Allah. (ARAB)

Maka tafsiran ini batil, tidak dikenal oleh para Salafus Sholeh dan bukan pula yang dimaksud dengannya untuk meyakini ‘ Azza Wa Jalla dan mengeluarkan keyakinan dari selainNya karena sesungguhnya ini tidak mungkin karena sesungguhnya keyakinan itu tsabit (tetap) pada selain Allah, sebagaimana firman Allah dalam surah At-Takatsur ayat 6-7 :

* لَتَرَوُنَّ الْجَحِيْمَ ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِيْنِ

“Niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahim dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan ‘ainul yaqin (melihat dengan mata kepala sendiri sehingga menimbulkan keyakinan yang kuat)”. (QS. At-Takatsur : 102/6-7).

Maka meyakini sesuatu yang terjadi dan menjadi kenyataan yang diketahui tidaklah menafikan tauhid.

Dan masih banyak makna yang salah tetapi yang banyak dan menyebar adalah makna-makna yang di atas dan umumnya makna-makna tersebut kembali kepada enam makna di atas. Wallahu A’lam .



 Makna Syahadat Muhammad Rasulullah

Sumber :Al-Ustadz Luqman Jamal, Lc.

PERTANYAAN

Syahadat ini sangat dihafal oleh kaum muslimin. Kalimatnya begitu pendek dan sederhana tetapi terwariskan secara turun temurun. Namun, tidak sedikit yang tidak tahu-menahu tentang kedalaman makna hakiki yang dikandungnya dan konsekuensi yang mesti tertanam dalam lubuk hati pengucapnya. Olehnya itu, bagaimana agama menjelaskannya?

JAWABAN

Syahadat La Ilaha Illallah dan syahadat Muhammad Rasulullah adalah satu rukun yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lain, dan keduanya menjadi satu rukun walaupun terdiri dari dua bahagian. Sebab seluruh ibadah dibangun di atas keduanya, maka tidaklah diterima ibadah itu kecuali ikhlas untuk Allah ‘Azza Wa Jalla, dan ini adalah kandungan dari syahadat La Ilaha Illallah, dan ittiba’ ‘mengikuti’ Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam , dan ini adalah kandungan dari syahadat Muhammad Rasulullah. Karena itu, mengetahui makna, kandungan dan konsekuensi (keharusan) syahadat Muhammad Rasulullah sangatlah penting sebagaimana syahadat La Ilaha Illallah. Seseorang, kalau mau masuk Islam, harus mengucapkan dua kalimat syahadat tersebut, kemudian wajib memahami dan mengamalkan kedua syahadat tersebut lahir dan batin, dan wajib mengulangi kedua syahadat tersebut minimal sembilan kali dalam sehari semalam.

Syahadat Muhammad Rasulullah,atau dengan redaksi yang lebih lengkap Muhammad ‘Abdullahi wa Rasuluhu ‘Muhammad adalah hamba Allah dan rasul-Nya’, mempunyai dua dasar pokok yang satu dengan yang lainnya tidak bisa dipisahkan karena merupakan satu kesatuan.

Pokok pertama , menyamakan kedudukan Muhammad sama dengan semua makhluk di hadapan Allah walaupun derajatnya berbeda.

Pokok kedua , membedakan kedudukan Muhammad dengan mahluk yang lain karena beliau adalah seorang rasul.

Hal ini dapat kita lihat dalam firman Allah Jalla Jalaluhu dalam akhir surah Al-Kahfi,

“Katakan (wahai Muhammad), ‘Sesungguhnya saya hanyalah manusia biasa sepeti kalian yang diberikan wahyu kepadaku bahwasanya sesembahan kalian hanyalah sesembahan yang Esa.’.” [ Al-Kahfi: 110 ]

Kemudian dalam hadits ‘Ubadah bin Shamit yang diriwayatkan oleh Bukhary dan Muslim, Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam bersabda,

مَنْ شَهِدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ…

“Siapa yang bersyahadat bahwasanya tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah semata, tidak ada serikat bagi-Nya dan Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya ….”

Juga dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam , ketika mengajarkan tasyahud kepada para shahabatnya, seperti ‘Abdullah bin Mas’ud dalam Shahih Al-Bukhary dan Shahih Muslim , Ibnu ‘Abbas dalam Shahih Muslim , dan Abu Musa Al-Asy’ary dalam Shahih Muslim , terdapat kalimat syahadatain yaitu,

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

“Tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah dan Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya.”

Kedudukan Muhammad Sebagai Hamba

Berkata Syaikh Sulaiman bin ‘Abdullah Alu Syaikh, “Hamba maknanya adalah yang dimiliki, yang menyembah, yaitu dimiliki oleh Allah Ta’ala dan tidak mempunyai sedikit pun sifat-sifat Rububiyah dan Uluhiyah. Sesungguhnya dia (Muhammad) hanyalah seorang hamba yang dekat di sisi Allah ‘Azza wa Jalla.” Lihat Taisir Al-’Aziz Al-Hamid hal. 81-82.

Jadi, kalau dia seorang hamba (budak), tidak boleh disembah (diibadahi) melainkan harus menyembah, dan kalau dia dimiliki, tidak boleh dimintai sebab syarat untuk dimintai adalah harus memiliki (Al-Malik). Karena itu, dia tidak mampu memberi manfaat atau mudharat, bahkan dia hanya meminta manfaat kepada Allah berupa hidayah, harta, ilmu, dan sebagainya, serta berlindung pada-Nya dari segala kejelekan (mudharat) makhluk-Nya.

Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, “Dan keharusan dari syahadat ini adalah tidak boleh diyakini bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam punya hak dalam Rububiyah dan mengatur alam semesta atau punya hak dalam ibadah (hak untuk disembah). Bahkan dia (Rasulullah) seorang hamba, tidak disembah, dan Rasul tidak didustakan dan tidak memiliki sedikit pun kemampuan untuk memberi manfaat ataupun mudharat, baik kepada dirinya ataupun selain dirinya, kecuali apa yang Allah kehendaki sebagaimana firman Allah,

“Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Saya tidak mengatakan kepada kalian, bahwa di sisi saya perbendaharaan Allah, dan tidak (pula) saya mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) saya mengatakan kepada kalian bahwa saya seorang malaikat. Saya tidaklah mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.’.” [ Al-An’am: 50 ]

Maka dia selaku hamba diperintahkan untuk mengikuti apa-apa yang diperintahkan dengannya. Kemudian firman Allah Ta’ala,

“Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Sesungguhnya saya tidak memiliki bagi kalian mudharat dan tidak pula petunjuk.’.” [Al-Jin: 21]

Juga firman Allah Ta’ala,

قُلْ لاَ أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلاَ ضَرًّا إِلاَّ مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلاَّ نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

“Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Saya tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya saya mengetahui yang ghaib, tentulah saya membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan saya tidak akan ditimpa kemudharatan. Saya tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.’.” .”

Lihat Syarh Tsalatsah Al-Ushul hal. 71.

Akan tetapi Allah menjadikan ‘ubudiyah ‘penghambaan’ sebagai sifat kesempurnaan makhluk-Nya dan menjadikan makhluk-Nya sebagai makhluk yang paling dekat kepada-Nya sebagaimana firman-Nya,

“Al-Masih sekali-sekali tidak enggan menjadi hamba bagi Allah dan tidak pula malaikat-malaikat terdekat-Nya. Barangsiapa yang enggan dari menyembah - Nya dan menyombongkan diri, maka Allah akan mengumpulkan mereka semua kepada - Nya.” [ An-Nisa: 172 ]

Juga firman-Nya,

“Dan ingatlah hamba Kami Daud.” [ Shad: 17 ]

Juga firman-Nya,

“Dan ingatlah hamba Kami Ayyub.” [ Shad: 41 ]

Juga firman-Nya,

“Dan ingatlah hamba-hamba Kami Ibrahim, Ishaq, dan Ya’qub.” [ Shad: 45 ]

Juga firman-Nya,

“Dan Kami telah berikan kepada Daud, Sulaiman sebaik-baik hamba.” [ Shad: 30 ]

Allah menyifatkan makhluk-makhluk-Nya yang paling mulia dan yang paling tinggi kedudukannya di antara makhluk-makhluk-Nya dengan ‘Ubudiyah pada kedudukannya yang paling mulia.

Allah juga menyebutkan sifat ‘Ubudiyah pada kedudukan diturunkannya Al-Kitab kepada hamba-Nya dan menantang untuk mendatangkan sepertinya sebagaimana firman-Nya,

“Dan jika kalian ragu terhadap apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami maka datangkanlah satu surah semisalnya.” [ Al-Baqarah: 25 ]

Juga firman-Nya,

“Maha berkah Allah yang telah menurunkan Al-Furqan kepada hamba-Nya.” [ Al-Furqan: 1 ]

Juga ayat-ayat lain yang semakna.

Allah menyebutkan sifat ‘Ubudiyah dalam kedudukan beribadah pada-Nya sebagaimana firman-Nya,

“Dan sesungguhnya tatkala hamba Allah berdiri, berdoa kepada-Nya ….” [ Al-Jin: 19 ]

Kemudian Allah menyebutkan hamba-Nya dengan ‘ubudiyah pada kedudukan Isra`,

“Maha suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada satu malam.” [ Al-Isra`: 1 ]

Selain itu, Allah menjadikan kabar gembira secara mutlak kepada hamba-hamba-Nya sebagaimana firman-Nya,

“Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” [ Az-Zumar: 17-18 ]

Allah juga menjadikan rasa aman secara mutlak bagi hamba-hamba-Nya sebagaimana firman-Nya,

“Wahai hamba-hamba-Ku, tiada kekhawatiran terhadap kalian pada hari ini dan tidak pula bersedih hati, (yaitu) orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami dan mereka dahulu adalah orang-orang yang berserah diri.” [ Az-Zukhruf: 68-69 ]

Allah tidak memberi keleluasaan kepada syaithan untuk menguasai mereka (hamba-hamba-Nya) secara khusus kecuali yang mengikuti syaithan dan berbuat syirik kepada-Nya sebagaimana firman-Nya,

“Sesungguhnya hamba-hamba-Ku, tidak ada kekuasaan bagi kamu untuk mereka kecuali siapa yang mengikuti kamu dari orang-orang yang sesat.” [ Al-Hijr: 42 ]

Juga firman-Nya,

“Sesungguhnya tidak ada kekuasaan baginya (syaithan) atas orang-orang yang beriman dan mereka bertawakkal kepada Rabb mereka. Sesungguhnya kekuasaannya (syaithan) hanyalah atas orang-orang yang menjadikannya pemimpin dan orang-orang yang mempersekutukan Allah dengannya.” [ An-Nahl: 99-100 ]

Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam menjadikan ihsan ‘ubudiyah sebagai tingkatan paling tinggi dalam beragama, sebagaimana dalam hadits ‘Umar bin Al-Khattab, yang terkenal dengan “hadits Jibril”, yang diriwayatkan oleh Muslim, bahwa tatkala Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam ditanya oleh Jibril tentang ihsan, beliau menjawab, “Kamu menyembah kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, dan jika kamu tidak bisa melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihat kamu.”

Baca Madarij As-Salikin jilid 1 hal. 115-117.

Akan tetapi, ada satu hal yang sangat penting untuk diketahui, yaitu ‘ubudiyah kepada Allah tidak akan lepas (berhenti) dari seorang hamba selama hamba hidup di dunia, bahkan di alam barzakh dan di hari kemudian, walaupun ‘ubudiyah di dunia tentunya berbeda dengan ubudiyah di alam barzakh apalagi di hari kemudian. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala kepada Rasul-Nya,

“Dan sembahlah Rabb-mu sampai datang kepadamu keyakinan.” [ Al-Hijr: 99 ]

Juga firman-Nya kepada penduduk neraka,

“Dan dahulu kami mendustakan hari kemudian sampai datang kepada kami keyakinan.” [ Al-Muddatstsir: 46-47 ]

Keyakinan yang dimaksud adalah kematian menurut kesepakatan para ulama Ahli Tafsir.

Juga di dalam Shahih Al-Bukhary tentang kisah kematian ‘Utsman bin Mazh’un, Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam bersabda, “Adapun ‘Utsman maka sesungguhnya telah datang kepadanya keyakinan dari Rabb-nya, yaitu kematian.”

Barangsiapa yang menyangka bahwasanya dia telah sampai pada kedudukan, yakni telah gugur pada dirinya kewajiban untuk menyembah, maka dia zindiq, kafir kepada Allah dan Rasul-Nya, sebab sesungguhnya dia telah sampai pada kedudukan kafir kepada Allah dan berlepas diri dari agama ini. Bahkan, seorang hamba, jika kedudukan dia semakin kuat dan kokoh dalam penghambaan, maka ‘ubudiyah-nya juga semakin besar dan kewajiban dari ‘ubudiyah-nya juga semakin banyak dan lebih besar daripada orang yang berada dibawahnya. Oleh karena itu, kewajiban Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam , bahkan semua rasul, lebih besar dan lebih banyak daripada umat-umat mereka, kewajiban rasul-rasul Ulul ‘Azmi lebih banyak daripada rasul-rasul selain Ulul ‘Azmi, kewajiban Ahlul ‘Ilmi lebih besar daripada selain Ahlul ‘Ilmi. Hal ini menunjukkan bahwa setiap hamba tergantung pada kedudukannya (martabatnya).

Lihat Madarij As-Salikin jilid 1 hal. 118.

Kedudukan Muhammad Sebagai Rasul (Nabi)

Ahlus Sunnah Wal Jamaah menetapkan bahwasanya kenabian adalah pilihan dari Allah. Allah memilih nabi untuk hamba-hamba-Nya dari kalangan manusia. Allah menghususkan nabi-Nya dengan rahmat-Nya, memilih nabi-Nya dengan keutamaan dan nikmat-Nya, dan bukan sekedar sifat-sifat tambahan, karena rahmat, keutamaan, dan nikmat-Nya terhadap nabi-Nya tidak bisa diperoleh dengan ilmu, latihan, banyaknya ibadah dan ketaatan, dan sebagainya, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

“Orang-orang kafir dari kalangan Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya suatu kebaikan kepada kalian dari Rabb kalian. Dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat (kenabian)-Nya; dan Allah mempunyai karunia yang besar.” [ Al-Baqarah: 105 ]

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengabarkan bahwasanya Dia memilih utusan-utusan dari para malaikat-Nya dan juga dari manusia. Dan إصطفاء ber-wazan إفتعال dari kata تصفية ‘pensucian’ sebagaimana إختيار ber-wazan افتعال dari kata الخيرة ‘pemilihan’, maka Dia mensucikan dan memilih siapa yang Dia inginkan sebagaimana firman-Nya dalam surah Al-An’am ayat 124,

“Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan.”

Maka Dia lebih tahu siapa yang pantas dijadikan utusan (rasul) dari (kalangan manusia) yang tidak dijadikan-Nya utusan.” Lihat Minhaj As-Sunnah 5/437.

Di tempat yang lain, beliau berkata, “Allah membersihkan/memilih dari malaikat-malaikat sebagai utusan-utusan dan dari manusia. Allah lebih mengetahui kepada siapa Dia memberikan risalah-Nya, maka Allah menghususkan nabi-Nya dengan sifat-sifat yang membedakan nabi-Nya dengan makhluk lain dalam hal akal dan agama, dan nabi-Nya dipersiapkan untuk dikhususkan dengan keutamaan dan rahmat-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam surah Az-Zukhruf ayat 31-32,

“Dan mereka berkata, ‘Mengapa Al-Qur`an ini tidak diturunkan kepada seorang pembesar (pada salah satu) dari dua negeri (Makkah dan Thaif) ini?’ Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Rabb-mu? Kami telah menentukan di antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain beberapa derajat, agar sebahagian mereka dapat mempergunakan sebahagian yang lain. Dan rahmat Rabb-mu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” . ”

Lihat Minhaj As-Sunnah 2/416. Perhatikan pula firman Allah dalam surah Al-Jin ayat 20-25.

Kedudukan Muhammad sebagai seorang rasul tidak boleh disamakan dengan kedudukan hamba Allah yang lain. Karena itu, sebagian ulama mengatakan bahwa didahulukannya kata عبده ‘hamba-Nya’ daripada kata رسوله ‘rasul-Nya’ dalam kalimat syahadat Muhammad Rasulullah adalah sebagai tanjakan dari bawah ke atas, dan dikumpulkannya kedua kata tersebut (hamba dan Rasul-Nya) adalah untuk menghindari dua kutub yang berbeda: kutub ifrath (ekstrim/berlebih-lebihan) dan kutub tafrith (menyepelekan), sebagaimana yang telah terjadi pada Isa ‘ alaihis salam , dan Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam menguatkan makna ini dengan sabdanya dalam hadits ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary dan Muslim,

لاَ تُطْرُوْنِي كَمَا أَطْرَتِ النَصَارَى عِيْسَى بْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُوْلُوْا عَبْدُ الله وَرَسُوْلُهُ

“Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku sebagaimana orang Nashara berlebih-lebihan dalam memuji Isa bin Maryam, karena sesungguhnya saya hanyalah hamba-Nya, maka katakanlah hamba Allah dan Rasul-Nya.” (Lihat Taisir Al-‘Aziz Al-Hamid hal. 82)

Orang-orang Nashara melakukan ifrath, berlebih-lebihan dalam memuliakan dan memuji Nabi Isa, dan berbanding terbalik dengan cara orang-orang Yahudi yang melakukan tafrith dalam bentuk pelecehan dan penghinaan terhadap Nabi Isa.

Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah, “Makna syahadat Muhammad Rasulullah adalah menetapkan, (dengan perbuatan) melalui lisan dan (dengan) iman melalui hati, bahwasanya Muhammad bin ‘Abdullah Al-Qurasy Al-Hasyimy adalah utusan Allah ‘Azza wa Jalla kepada seluruh makhluk dari kalangan jin dan manusia, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” [ Adz-Dzariyat: 56 ]

Tidak ada ibadah kepada Allah kecuali dengan perantara wahyu yang Muhammad shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam telah datang dengan wahyu tersebut, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

“Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqan (Al-Qur`an) kepada hamba-Nya agar menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.” [ Al-Furqan: 1 ]. ”

Konsekuensi Syahadat Muhammad Rasulullah

Syaikhul Islam Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahullah, dalam Al-Ushul Ats-Tsalatsah , menetapkan empat perkara yang merupakan konsekuensi (keharusan dan tuntutan) dari makna syahadat Muhammad Rasulullah:

Pertama, menaati Rasulullah pada apa yang beliau perintahkan.

Allah ‘Azza wa Jalla telah menetapkan wajibnya taat kepada Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam di dalam Al-Qur`an dan sunnah, serta menggandengkan antara ketaatan pada-Nya dengan ketaatan kepada Rasul-Nya di dalam banyak ayat, di antaranya,

“Taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kalian benar-benar orang-orang yang beriman.” [ Al-Anfal: 1 ]

Juga di dalam firman-Nya,

“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kalian berpaling dari-Nya sedang kalian mendengar (perintah-perintah-Nya).” [ Al-Anfal: 20 ]

Siapa yang durhaka kepada Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam maka sesungguhnya dia telah durhaka kepada Allah, dan siapa yang durhaka kepada Allah maka tempatnya adalah neraka, sebagaimana firman-Nya,

“Siapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya, dan yang demikian itu adalah keberuntungan yang sangat besar.” [ An-Nisa`: 13 ]

Kemudian dalam ayat berikutnya,

“Siapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya dan melampaui batasan-batasan-Nya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka, dia kekal di dalamnya dan baginya adzab yang menghinakan.” [ An-Nisa`: 14 ]

Selain itu, dalam hadits Abu Hurairah riwayat Bukhary-Muslim,Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam bersabda,

كُلُّ أُمَّتِيْ يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ إِلاَّ مَنْ أَبَى قَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ مَنْ يَأْبَى ؟ قَالَ : مَنْ أَطَاعَنِيْ دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِيْ فَقَدَ أَبَى

“Semua ummatku akan masuk surga kecuali yang enggan. Para shahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah siapakah yang enggan?’ Rasulullah menjawab, ‘Siapa yang menaatiku maka dia masuk surga, dan siapa yang mendurhakaiku maka sesungguhnya dia enggan.’.”

Lalu, dalam hadits Jabir bin Abdillah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary, disebutkan,

فَمَنْ أَطَاعَ مُحَمَّداً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ وَمَنْ عَصَى مُحَمَّداً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَقَدْ عَصَى اللهَ

“Siapa yang menaati Muhammad shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam maka sesungguhnya dia telah menaati Allah, dan siapa yang mendurhakai Muhammad shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam maka sesungguhnya dia telah mendurhakai Allah.”

Kedua, membenarkan apa yang Rasulullah kabarkan/beritakan.

Sesungguhnya apa yang Rasulullah bawa semuanya adalah benar, karena merupakan wahyu dari Allah ‘Azza wa Jalla sebagaimana firman-Nya,

“Dan dia ( Rasulullah) tidak berbicara dari hawa nafsunya, kecuali itu adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” [ An-Najm: 3-4 ]

Juga Firman Allah ‘Azza wa Jalla,

“Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” [ Az-Zumar: 33 ]

Kemudian dalam surah lain,

“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi, ‘Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepada kalian berupa kitab dan hikmah, kemudian datang kepada kalian seorang rasul yang membenarkan apa yang ada pada kalian, niscaya kalian akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya.’ Allah berfirman, ‘Apakah kalian mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?’ Mereka menjawab, ‘Kami mengakui.’ Allah berfirman, ‘Kalau begitu, saksikanlah, (wahai para nabi), dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kalian.’.” [ Âli ‘Imran: 81 ]

Juga ijma’ para ulama bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam itu ma’shum ‘terjaga’ dari dusta.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-‘Aqidah Al-Wasithiyah -nya, “Kemudian rasul-rasul yang benar dan dibenarkan.”

Ketiga, menjauhi apa yang Rasulullah larang dan peringatkan, sebagaimana firman Allah Ta’ala ,

“Dan apa yang Rasululah datangkan kepada kalian maka ambillah, dan apa yang dilarang atas kalian darinya maka jauhilah, dan bertakwalah kepada Allah karena sesungguhnya Allah sangat keras siksa-Nya.” [ Al-Hasyr: 7 ]

Juga sabda Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah riwayat Bukhary-Muslim,

فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْىءٍ فَاجْتَنَبُوْهُ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Dan jika saya melarang kalian dari sesuatu maka jauhilah, dan jika saya memerintah kalian kepada sesuatu maka datangkanlah (lakukanlah) sesuai kemampuan kalian.”

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam bersabda dalam hadits Abu Musa Al-Asy’ary yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary dan Muslim,

إِنَّمَا مَثَلِيْ وَمَثَلُ مَا بَعَثَنِيَ اللهُ بِهِ كَمَثَلِ رَجُلٍ أَتَى قَوْمًا فَقَالَ يَا قَوْمِ إِنِّيْ رَأَيْتُ الْجَيْشَ بِعَيْنَيَّ وَإِنَّيْ أَنَا النَّذِيْرُ الْعُرْيَانُ فَالنَّجَاءَ فَأَطَاعَهُ طَائِفَةٌ مِنْ قَوْمِهِ فَأَدْلَجُوْا فَانْطَلَقُوْا عَلىَ مَهْلِهِمْ فَنَجَوْا وَكَذِبَتْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ فَأَصْبَحُوْا مَكَانَهُمْ فَصَبَّحَهُمُ الْجَيْشُ فَأَهْلَكَهُمْ وَاجْتَاحَهُمْ فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ أَطَاعَنِيْ فَاتَّبَعَ مَا جِئْتُ بِهِ وَمَثَلُ مَنْ عَصَانِيْ وَكَذَبَ بِمَا جِئْتُ بِهِ مِنَ الْحَقِّ

“Sesungguhnya perumpamaan aku dan perumpumaan apa yang Allah mengutus aku dengannya, seperti seseorang yang mendatangi suatu kaum kemudian berkata, ‘Wahai kaumku, sesungguhnya saya melihat pasukan dengan kedua mataku dan sesungguhnya saya adalah An-Nadzir Al-‘Uryan ‘pemberi peringatan yang telanjang’,’ maka sekelompok dari kaumnya menaatinya dan bergegas berjalan di malam hari dengan kehati-hatian dan mereka selamat, sementara sekelompok dari mereka mendustakannya, sehingga mereka tetap di tempatnya, maka pasukan itu menyerangnya di waktu Shubuh, lalu menghancurkan dan membinasakannya. Yang demikian itu perumpamaan orang yang menaatiku dan mengikuti apa yang aku didatangkan dengannya, dan perumpamaan orang yang bermaksiat kepadaku dan mendustakan apa yang aku didatangkan dengannya dari kebenaran.”

An-Nadzir Al-‘Uryan adalah perumpamaan yang dipakai oleh orang-orang untuk menunjukkan kebenaran apa yang ia sampaikan.

Keempat, tidak menyembah Allah ‘Azza wa Jalla kecuali dengan apa yang Dia syariatkan, bukan dengan bid’ah, bukan pula dengan hawa nafsu, adat istiadat, kebiasaan, perasaan, atau anggapan-anggapan yang seseorang pandang baik, karena sesungguhnya asal dari ibadah itu adalah syariat. Nanti dikatakan ibadah kalau disyariatkan. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

“Maka siapa yang mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia beramal shalih dan tidak menyekutukan Rabb-nya dengan siapa pun dalam peribadahan.” [ Al-Kahfi: 110 ]

Para ulama menafsirkan bahwa amal shalih adalah amal yang sesuai dengan syariat Allah. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian, dan Aku cukupkan atas kalian nikmat-Ku dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama kalian.” [ Al-Maidah: 3 ]

Ayat ini menunjukkan bahwasanya agama ini telah sempurna dengan tauhid, syariat, akhlak, dan seluruh apa yang dibutuhkan oleh makhluk di muka bumi ini. Itulah nikmat yang paling besar. Al-Qur`an dan petunjuk Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam itulah yang diridhai di sisi Allah. Barangsiapa yang membuat perkara baru dalam agama ini, dan mensyariatkan suatu syariat yang tidak disyariatkan oleh Allah dan menjadikan syariat tersebut sebagai jalan selain jalan Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam , maka sesungguhnya dia telah melecehkan Allah atau kitab-Nya, baik dalam keadaan sadar maupun tidak, karena sesungguhnya Allah telah mengabarkan bahwa Dia telah menyempurnakan agama-Nya. Kebaikan dan nikmat terdapat dalam Kitabullah dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam serta sikap berpegang teguh terhadap Kitabullah dan sunnah tersebut.

Sebagai kesimpulan, berkata Syaikh Muhammad Al-‘Utsaimin rahimahullah, “Maka, dengan ini, kamu mengetahui bahwasanya tidak berhak ibadah itu diperuntukkan. Tidak kepada Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam , tidak pula kepada selainnya dari seluruh makhluk. Ibadah itu tidak boleh diperuntukkan kecuali hanya kepada Allah semata.

Dan bahwasanya hak Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam adalah, kamu memberikan kedudukan kepadanya sesuai dengan kedudukan yang Allah berikan/tetapkan padanya, yaitu sebagai hamba-Nya dan Rasul-Nya.” Lihat Syarh Tsalatsah Al-Ushul hal. 72.

Wallahu waliyyut taufik.


 Pijakan Seorang Muslim di tengah Gelombang Fitnah

Sumber : Ustadz Dzulqarnain bin Muhammad Sunusi

PERTANYAAN

Derasnya gelombang fitnah yang melanda kaum muslimin saat ini membuat sekian banyak kebingungan di tengah umat dan bahkan terbawa oleh arus fitnah tersebut. Sehingga wajarlah kalau timbul berbagai macam kerusakan dan menambah volume fitnah. Mohon terangkan bagaimana sikap seorang muslim dalam menghadapi fitnah menurut syariat Islam!

JAWABAN

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al-Qur`an Al-Karim,

“Takutlah kalian kepada fitnah yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zhalim diantara kalian secara khusus.” [ Al-Anfal: 25 ]

Ayat ini merupakan pokok penjelasan dalam fitnah. Karena itu Imam Al-Bukhary dalam Shahih -nya memulai Kitabul Fitan (kitab penjelasan tentang fitnah-fitnah) dengan penyebutan ayat ini.

Firman Allah Ta’ala, “Takutlah kalian kepada fitnah …,” menunjukkan kewajiban seorang muslim untuk berhati-hati menghadapi fitnah dan menjauhinya dan tentunya seseorang tidak bisa menjauhi fitnah itu kecuali dengan mengetahui dua perkara:

1. Apa-apa saja yang dianggap fitnah di dalam syariat Islam.
2. Pijakan, cara atau langkah dalam meredam atau menjauhi fitnah tersebut.

Kemudian Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam menafsirkan ayat ini, “Ayat ini, walaupun merupakan pembicaraan yang ditujukan kepada para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, akan tetapi ayat ini berlaku umum pada setiap muslim karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam men-tahdzir (memperingatkan) dari fitnah.”

Kata fitnah dalam konteks ayat datang dalam bentuk nakirah (umum), sehingga mempunyai makna yang umum, menyangkut segala sesuatu yang merupakan fitnah bagi manusia.

Imam Al-Alusy, ketika menafsirkan kata fitnah dalam ayat ini, berkata, “Fitnah ditafsirkan (oleh para ulama salaf) dengan beberapa perkara, di antaranya Mudahanah dalam amar ma’ruf dan nahi mungkar, dan diantaranya perselisihan dan perpecahan, dan diantaranya meninggalkan pengingkaran terhadap bid’ah-bid’ah yang muncul dan lain-lainnya.” Kemudian beliau berkata, “Setiap makna tergantung dari konsekuensi keadaannya.”

Dan dikatakan di dalam ayat, “takutlah kalian …,” menunjukkan bahwa fitnah itu buta dan tuli, tidak pandang bulu, serta dapat menimpa siapa saja. Berkata Imam Asy-Syaukany dalam Tafsir -nya, “Yaitu takutlah kalian kepada fitnah yang melampaui orang-orang yang zhalim sehingga menimpa orang shalih dan orang thalih ‘tidak shalih’ dan timpahan fitnah itu tidak khusus bagi orang yang langsung berbuat kezhaliman tersebut di antara kalian.”

Definisi Fitnah

Fitnah dalam syariat Islam mempunyai beberapa makna:

Pertama, Bermakna syirik, seperti dalam firman Allah Ta’ala,

“Dan perangilah mereka sehingga tidak ada fitnah dan sampai agama semuanya untuk Allah.” [ Al-Baqarah: 193 ]

Yaitu hingga tidak ada lagi kesyirikan.

Juga Allah berfirman,

“Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh.” [ Al-Baqarah: 217 ]

Kedua, Bermakna siksaan dan adzab, seperti dalam firman Allah Ta’ala,

“ (Dikatakan kepada mereka), ‘ Rasakanlah fitnahmu itu. Inilah fitnah yang dahulu kamu minta supaya disegerakan. ’.” [ Adz-Dzariyat: 14 ]

Dan Allah Jalla Jalaluhu berfirman,

“Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan fitnah kepada orang-orang yang mu k min laki-laki dan perempuan kemudian mereka tidak bertaubat, maka bagi mereka adzab Jahannam dan bagi mereka adzab (neraka) yang membakar.” [ Al-Buruj: 10 ]

Makna fitnah dalam dua ayat ini adalah siksaan dan adzab.

Ketiga , Bermakna ujian dan cobaan, seperti dalam firman Allah Ta’ala,

“Dan kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai fitnah (yang sebenar-benarnya).” [ Al-Anbiya`: 35 ]

Allah Jalla Wa ’ Ala menyatakan pula dalam firman-Nya,

“Sesungguhnya harta-harta kalian dan anak-anak kalian itu hanyalah merupakan fitnah.” [ Al-Anfal: 28 ]

Keempat , Bermakna musibah dan balasan, sebagaimana tafsiran para ulama dalam surah Al-Anfal ayat 25 di atas,

“Takutlah kalian kepada fitnah yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zhalim diantara kalian secara khusus.”

(Lihat Mauqiful Mu’min Minal Fitan Karya Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz dan Mufradat Al-Qur`an karya Ar-Raghib Al-Ashbahany)

Demikianlah def i nisi fitnah, tetapi harus diketahui oleh setiap muslim bahwa fitnah yang ditimpakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala itu mempunyai hikmah di belakangnya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

“ Alif Lam Mim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, ‘Kami telah beriman,’ sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” [ Al-‘Ankabut: 1-3 ]

Berikut ini kami akan menyebutkan beberapa kaidah-kaidah pokok yang harus dipegang oleh setiap muslim dalam menghadapi fitnah.

Kaidah Pertama, Pada setiap perselisihan merujuk pada Al-Qur`an dan Sunnah sesuai dengan pemahaman para ulama salaf.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kalian. Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur`an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” [ An-Nisa`: 59 ]

Dan Allah Jalla Tsana`uhu berfirman,

“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (darinya).” [ Al-A’raf: 3 ]

Kemudian di dalam hadits Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,

تَرَكْتُ فِيْكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدَهُمَا كِتَابُ اللهِ وَسُنَّتِيْ

“Saya tinggalkan pada kalian dua perkara, yang kalian tidak akan sesat di belakang keduanya, (yaitu) kitab Allah dan Sunnahku.” (HR. Malik dan Al-Hakim dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albany dalam Al-Misykah )

Kemudian Allah Ta’ala menyatakan,

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. [ An-Nisa`: 65 ]

Ingatlah bahwa menentang Allah dan Rasul-Nya adalah sebab kehinaan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, mereka termasuk orang-orang yang sangat hina.” [ Al-Mujadilah: 20 ]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam juga mengingatkan dalam hadits Ibnu ‘Umar,

إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِيْنَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيْتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوْا إِلَى دِيْنِكُمْ

“Apabila kalian telah berjual beli dengan cara `inah ‘menjual barang dengan cara kredit kepada seseorang kemudian ia kembali membelinya dari orang itu dengan harga kontan lebih murah dari harga kredit tadi-pent’ dan kalian telah ridha dengan perkebunan dan kalian telah mengambil ekor-ekor (sibuk beternak?) sapi dan kalian meninggalkan jihad, maka Allah akan menimpakan kepada kalian suatu kehinaan yang tidak akan diangkat sampai kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Dawuddan lain-lainnya dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shahihah no. 11)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam juga mengingatkan dalam hadits beliau,

وَجُعِلَ الذُّلُّ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِيْ

“Dan telah dijadikan kehinaan dan kerendahan bagi orang yang menyelisihi perintahku.” (Hadits hasan dari seluruh jalan-jalannya. Dihasankan oleh Syaikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 1269)

Ketahuilah bahwa menyelisihi Allah dan Rasul-Nya adalah sebab turunnya musibah dan siksaan dan sebab kehancuran dan kesesatan. Allah Al-Wahid Al-Qahhar menegaskan dalam firman-Nya,

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” [ An-Nur: 63 ]

Juga dalam hadits Abu Hurairah riwayat Bukhary-Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menyatakan,

مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مَنْ قَبْلَكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ

“Apapun yang saya melarang kalian darinya maka jauhilah hal tersebut dan apapun yang saya perintahkan kepada kalian maka laksanakanlah semampu kalian. Sesungguhnya yang menghancurkan orang-orang sebelum kalian hanyalah banyaknya pertanyaan mereka dan penyelisihan mereka terhadap para Nabinya.”

Kemudian Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu berkata,

لَسْتُ تَارِكًا شَيْئًا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْمَلُ بِهِ إِلاَّ عَمِلْتُ بِهِ إِنِّيْ أَخْشَى إِنْ تَرَكْتُ شَيْئًا مِنْ أَمْرِهِ أَنْ أَزِيْغَ

“Tidaklah saya meninggalkan sesuatu apapun yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘alihi wa sallam mengerjakannya kecuali saya kerjakan karena saya takut kalau saya meninggalkan sesuatu dari perintah beliau saya akan menyimpang.” (HSR. Bukhary-Muslim)

Memahami Al-Qur`an dan As-Sunnah harus dengan pemahaman para ulama Salaf. Allah Jalla Fi ‘Ulahu berfirman,

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. [ An-Nisa`: 115 ]

Juga dalam hadits yang mutawatir, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ

“Sebaik-baik manusia adalah zamanku, kemudian zaman setelahnya kemudian zaman setelahnya.”

Beliau menyatakan pula,

افْتَرَقَتِ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَإِنَّ أُمَّتِيْ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً وَهِيَ الْجَمَاعَةُ

“Telah terpecah orang–orang Yahudi menjadi tujuh puluh satu firqah ‘ golongan ’ dan telah terpecah orang-orang Nashara menjadi tujuh puluh dua firqah dan sesungguhnya umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga firqah. Semuanya dalam neraka kecuali satu dan ia adalah Al-Jama’ah.” (Hadits shahih, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Zhilalul Jannah dan Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahih Al-Musnad Mimma Laisa Fi Ash-Shahihain -rahimahumallahu-)

Karena itulah, Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Pokok sunnah di sisi kami adalah berpegang teguh di atas apa yang para shahabat berada di atasnya dan mengikuti mereka.” Lihat Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah 1/176.

Allahu Akbar …! Betapa kuatnya pijakan seorang muslim bila ia berpegang teguh dengan Al Qur`an dan Sunnah sesuai dengan pemahaman para ulama salaf. Ini merupakan senjata yang paling ampuh dan tameng yang paling kuat dalam menghadapi dan menangkis setiap fitnah yang datang. Sejarah telah membuktikan bagaimana orang-orang yang berpegang teguh kepada Al Qur`an dan Sunnah selamat dari fitnah dan mereka tetap kokoh di atas jalan yang lurus.

Lihatlah kisah Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu , ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam mengirim Usamah bin Zaid untuk memimpin 700 orang dalam menggempur kerajaan Rum. Ketika pasukan tersebut tiba di suatu tempat yang bernama Dzu Khasyab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam meninggal. Maka mulailah orang-orang Arab di sekitar Madinah murtad dari agama sehingga para shahabat mengkhawatirkan keadaan kota Madinah. Lalu para shahabat berkata kepada Abu Bakar, “Wahai Abu Bakar, kembalikan pasukan yang dikirim ke kerajaan Rum itu, apakah mereka diarahkan ke Rum sedang orang-orang Arab di sekitar Madinah telah murtad?” Maka Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Demi yang tidak ada sesembahan yang berhak selain-Nya, andaikata anjing-anjing telah berlari di kaki-kaki para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam , saya tidak akan menarik suatu pasukan pun yang dikirim oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dan saya tidak akan melepaskan bendera yang diikat oleh Rasulullah.”

Lihat bagaimana gigihnya Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu berpegang dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dalam kondisi yang sangat genting seperti ini dan betapa kuatnya keyakinan beliau akan kemenangan orang yang menjalankan perintah-Nya.

Maka yang terjadi setelah itu, setiap kali pasukan Usamah bin Zaid melewati suatu suku yang murtad, suku yang murtad itu berkata, “Andaikata mereka itu tidak mempunyai kekuatan, tentu tidak akan keluar pasukan sekuat ini dari mereka. Tetapi kita tunggu sampai mereka bertempur melawan kerajaan Rum.” Lalu bertempurlah pasukan Usamah bin Zaid menghadapi kerajaan Rum dan pasukan Usamah berhasil mengalahkan dan membunuh mereka. Kemudian kembalilah pasukan Usamah dengan selamat dan orang-orang yang akan murtad itu tadi tetap di atas Islam.

(Baca kisah ini dalam Madarik An-Nazhar hal. 51-52 cet. kedua)

Maka lihatlah, wahai orang-orang yang menghendaki keselamatan! Peganglah kaidah pertama ini dengan baik, niscaya engkau akan selamat dari fitnah di dunia dan di akhirat.

Kaidah Kedua, merujuk kepada para ulama.

Allah Al-Hakim Al-‘Alim mengisahkan tentang Qarun dalam firman-Nya,

“Maka keluarlah Qarun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia, ‘Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar.’ Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu, ‘Celakalah kalian, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal shalih, dan tidak diperoleh pahala itu kecuali oleh orang-orang yang sabar.’ Maka Kami benamkanlah Qarun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golongan pun yang menolongnya terhadap adzab Allah. dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya).” [ Al-Qashash: 79-81 ]

Karena itulah Imam Hasan Al-Bashry berkata, “Sesungguhnya bila fitnah itu datang, diketahui oleh setiap ‘alim (ulama), dan apabila telah terjadi (lewat), maka baru diketahui oleh orang-orang yang jahil.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda pula dalam hadits ‘Ubadah bin Shamit riwayat Imam Ahmad dan lain-lain,

لَيْسَ مِنْ أُمَّتِيْ مَنْ لَمْ يُجِلَّ كَبِيْرَنَا وَيَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيَعْرِفُ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ

“Bukan dari ummatku siapa yang tidak menghormati orang yang besar dari kami dan tidak merahmati orang yang kecil dari kami dan tidak mengetahui hak orang yang alim dari kami.” (Dihasankan oleh Syaikh Al Albany dalam Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir )

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam juga bersabda dalam hadits Ibnu ‘Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Al Hakim, Ibnu Hibban dan lain-lain,

الْبَرَكَةُ مَعَ أَكَابِرِكُمْ

“Berkah itu bersama orang-orang besarnya kalian.” (Dishahihkan oleh Syaikh Al Albany dalam Silsilah Ahadits Ash Shahihah no. 1778)

Fitnah akan bermunculan apabila para ulama sudah tidak lagi dijadikan sebagai rujukan, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah riwayat Ibnu Majah dan lain-lainnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,

سَيَأْتِيْ عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتٌ يُصَدَّقُ فِيْهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيْهَا الصَّادِقُ وَيُؤْتَمَنُ فِيْهَا الْخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيْهَا الْأَمِيْنُ وَيَنْطِقُ فِيْهَا الرُّوَيْبِضَةُ قِيْلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ قَالَ الرَّجُلُ التَّافِهُ يَتَكَلَّمُ فِيْ أَمْرِ الْعَامَّةِ

“Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang menipu, akan dipercaya/dibenarkan padanya orang yang berdusta dan dianggap berdusta orang yang jujur, orang yang berkhianat dianggap amanah dan orang yang amanah dianggap berkhianat dan akan berbicara Ar-Ruwaibidhah. Ditanyakan, ‘ Siapakah Ar-Ruwaibidhah itu? ’ Beliau berkata, ‘ Orang yang bodoh berbicara dalam perkara umum.” (Dishahihkan oleh Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahih Al-Musnad Mimma Laisa Fi Ash-Shahihain )

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam juga bersabda dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash riwayat Bukhary-Muslim,

إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ اِنْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقَ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوْسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوْا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوْا وَأَضَلُّوْا

“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari para hamba akan tetapi Allah mencabutnya dengan mencabut (mewafatkan) para ulama sampai bila tidak tersisa lagi seorang alim maka manusia pun mengambil para pemimpin yang bodoh maka mereka pun ditanya lalu mereka memberi fatwa tanpa ilmu maka sesatlah mereka lagi menyesatkan.”

Berkata pula ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,

لاَ يَزَالُ النَّاسُ صَالِحِيْنَ مُتَمَاسِكِيْنَ مَا أَتَاهُمُ الْعِلْمُ مِنْ أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَمِنْ أَكَابِرِهِمْ فَإِذَا أَتَاهُمْ مِنْ أَصَاغِرِهِمْ هَلَكُوْا

“Manusia masih akan senantiasa sebagai orang yang shalih lagi berpegang teguh sepanjang ilmu datang kepada mereka dari para shahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dan orang-orang besar mereka. Maka apabila (ilmu) datang kepada mereka dari orang-orang kecil, binasalah mereka.” (Lihat takhrijnya dalam kitab Madarik An-Nazhar hal. 161)

Kaidah Ketiga , tidak boleh berkomentar dalam perkara-perkara nawazil kecuali para ulama besar ahli ijtihad.

Nawazil adalah kata jamak dari nazilah, maksudnya yaitu kejadian-kejadian atau masalah-masalah kontemporer yang terjadi pada kaum muslimin. Nawazil ini dikenal juga dengan istilah hawadits.

Ukuran Ulama Besar Ahli Ijtihad

Berkata Ibnul Qayyim dalam I’l­am Al-Muwaqqi’in 4/212, “Orang yang alim terhadap Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya dan perkataan para shahabat, maka dialah mujtahid (ahli ijtihad) pada perkara-perkara nawazil.”

Berkata imam Asy-Syatiby dalam Al I’tisham , “Bahkan apabila dihadapkan kepadanya perkara-perkara nawazil kemudian dia mengembalikan pada ushul-nya, ia mendapatkan (penyelesaiannya) di dalamnya, dan hal tersebut tidak didapatkan oleh orang yang bukan mujtahid, tetapi hanyalah didapatkan oleh para mujtahid yang disifatkan dalam ilmu ushul fiqih.”

Ibnu Rajab mencontohkannya seperti Imam Ahmad, kemudian beliau menjelaskan sisi kepantasan Imam Ahmad untuk berfatwa dalam nawazil. Di antara kriteria Imam Ahmad yang disebutkan oleh Ibnu Rajab yaitu beliau telah mencapai puncak pengetahuan tentang Al-Qur`an, As-Sunnah dan Al-Atsar. Ilmu Al-Qur`an di antaranya tentang An-Nasikh Wal Mansukh, Al-Mutaqaddim Wal Muta`akhkhir serta tafsir para shahabat dan tabi’in. Ilmu As-Sunnah di antaranya hafalan beliau terhadap hadits, pengetahuan tentang shahih dan dhaif suatu hadits, pengetahuan tentang rawi-rawi yang tsiqah dan majruh, serta pengetahuan tentang jalan-jalan hadits dan cacat-cacatnya. Kemudian Ibnu Rajab berkata, “Telah dimaklumi, siapa pun yang memahami semua ilmu ini dan sangat menguasainya, adalah suatu hal yang sangat mudah baginya untuk mengetahui Hawadits dan memberikan jawabannya.”

Dalil kaidah ketiga ini adalah firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala,

“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah akan diketahui hal tersebut oleh orang-orang yang ber- istinbath di antara mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalaulah bukan karena karunia dan rahmat Allah kepada kalian, tentulah kalian mengikuti syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antara kalian).” [ An-Nisa`: 83 ]

Berkata Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’dy menafsirkan ayat ini, “Ini adalah pelajaran adab dari Allah kepada para hamba-Nya tentang perbuatan mereka ini yang tidak layak. Dan yang pantas bagi mereka apabila datang kepada mereka suatu perkara dari perkara-perkara yang penting dan maslahat-maslahat umum yang berkaitan dengan keamanan dan kebahagiaan kaum mukminin atau (berkaitan) dengan ketakutan yang di dalamnya terdapat musibah, maka wajib atas mereka untuk ber-tatsabbut (mencari kejelasan) dan jangan tergesa-gesa menyebarkan berita tersebut bahkan hendaknya mereka mengembalikannya kepada Rasul dan kepada Ulil Amri di antara mereka, yaitu Ahli ra’yi wal ilmi wan nushhi wal aqli war razanah (para ahli dalam menilai/menimbang, mengilmui, menasihati, berfikir, dan mereka memiliki ketenangan) yang mengetahui berbagai perkara dan apapun yang merupakan maslahat dan kebalikannya. Kalau mereka melihat penyebaran berita tersebut sebagai maslahat, menambah semangat kaum mukminin, kegembiraan bagi mereka dan benteng dari musuh-musuh mereka maka mereka mengerjakannya (menyebarkannya). Dan kalau mereka melihat tidak ada maslahat padanya atau ada maslahat tapi bahayanya melebihi maslahatnya maka tidaklah mereka sebarkan, karena itulah (Allah Subhanahu Wa Ta ’ala) berfirman, ‘ Maka akan diketahui hal tersebut oleh orang-orang yang ber- istinbath dari mereka, ’ yaitu mereka akan mengeluarkan hal tersebut dengan pemikiran mereka dan pendapat-pendapat mereka yang lurus dan ilmu mereka yang berada di atas petunjuk.”

Allahu Akbar! Betapa sempurnanya tuntunan Islam. Andaikata kaum muslimin beramal dengan kaidah ini, niscaya mereka akan terjaga dari fitnah. Sungguh berbagai macam fitnah yang melanda kaum muslimin disebabkan oleh kekurangajaran sebagian orang yang tidak tahu kadar dirinya dan merasa bangga dengan kemampuannya, atau dengan segala titel yang mereka sandang, sehingga dengan sangat lancangnya berani berkomentar dalam perkara-perkara nawazil yang terjadi pada kaum muslimin. Maka wajarlah jika muncul berbagai macam kerusakan dan fitnah yang lebih besar karena ulah segelintir orang yang tidak tahu diri ini. Cukuplah hal tersebut sebagai dosa yang sangat besar bagi orang yang menyelisihi perintah dalam surah An-Nisa` di atas dan juga dia tergolong orang-orang yang tidak menempatkan amanah pada tempatnya, yang amanah itu harusnya diserahkan kepada ahlinya, yaitu para ulul amri: para ulama besar dan penguasa. Tidak menempatkan amanah pada tempatnya adalah pelanggaran terhadap perintah Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan merupakan salah satu tanda hari kiamat.

Allah Subhanahu Wa Ta ’ala berfirman,

“Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kalian) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kalian menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” [ An-Nisa`: 58 ]

Selain itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, ketika ditanya tentang kapan terjadinya hari kiamat, bersabda,

فَإِذَا ضُيِّعَتِ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا قَالَ إِذَا وُسِدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ

“Apabila amanah telah ditelantarkan maka tunggulah hari kiamat.” Maka orang itu kembali bertanya, “Kapan ditelantarkannya?” Beliau menjawab, “Apabila perkara telah diserahkan kepada selain ahlinya maka tunggulah hari kiamat.” (HSR. Bukhary dari shahabat Abu Hurairah)

Menyerahkan perkara nawazil kepada ulil amri merupakan ushul ‘ pokok ’ syariat Islam yang dipegang oleh para imam Ahlus Sunnah Wal Jamaah dari zaman ke zaman.

Berkata Abu Hatim Ar-Razy, “Madzhab dan pilihan kami adalah mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam dan para shahabat beliau, para tabi’in dan orang-orang setelah mereka (yang mengikuti mereka) dengan baik … . Dan komitmen terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah dan membela para imam yang mengikuti jejak para ulama salaf. Dan pilihan kami (adalah) apa yang dipilih oleh Ahlus Sunnah dari para imam di berbagai negeri, seperti Malik bin Anas di Madinah dan Al-Auza’iy di Syam dan Al-Laits bin Sa’ad di Mesir dan Sufyan Ats-Tsaury serta Hammad bin Zaid di Iraq pada hawadits yang tidak diketemukan tentangnya riwayat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam, para shahabat dan tabi’in. Dan meninggalkan pendapat-pendapat Al-Mulabbisin ‘ orang-orang yang menyamar-nyamarkan perkara ’ , Al-Mumawwihin ‘ orang-orang yang mengaburkan perkara ’ , Al-Muzakhrifin ‘ orang-orang yang menghias-hiasi/memperindah perkara dari yang sebenarnya ’ , Al-Mumakhriqin ‘ para pembohong ’ lagi Al-Kadzdzabin ‘ para pendusta ’ .” Lihat Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah jilid 1 hal. 202 karya Al-Lalika`i.

Berkata pula Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dalam Minhajus Sunnah jilid 4 hal. 404, di tengah pembicaraan beliau terhadap masalah jihad, “Secara global, pembahasan tentang perkara-perkara sedetil ini merupakan pekerjaan orang khusus dari para ulama.”

(Lihat rincian kaidah ketiga secara lengkap dalam kitab Madarik An-Nazhar Baina At-Tathbiqat Asy-Syar’iyah wa Al-Infi’alat Al-Hamasiyah. Kitab ini telah direkomendasikan oleh dua ulama besar di zaman ini yaitu Syaikh Al-‘Allamah Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albany rahimahullah dan Syaikh Al-‘Allamah Al-Muhaddits ‘Abdul Muhsin Al-‘Abbad hafizhahullah)

Kaidah Keempat, dalam setiap sesuatu hendaknya bersikap lemah lembut, berhati-hati dan tidak tergesa-gesa dalam menarik kesimpulan atau memberikan hukum.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman pada Nabi-Nya,

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” [ Ali ‘ Imran: 159 ]

Juga dalam hadits ‘Aisyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُوْنُ فِيْ شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلاَّ شَانَهُ

“Sesungguhnya tidaklah lemah lembut itu berada pada sesuatu apapun kecuali akan menghiasinya dan tidaklah dicabut dari sesuatu kecuali akan membuatnya jelek.” (HSR. Muslim)

Dalam hadits Jarir bin ‘Abdillah, beliau juga menegaskan,

مَنْ يُحْرَمُ الرِّفْقُ يُحْرَمُ الْخَيْرُ

“Siapa yang diharamkan dari sifat lemah lembut maka diharamkan (untuknya) kebaikan.” (HSR. Muslim)

Kemudian dalam hadits ‘Aisyah riwayat Bukhary-Muslim, beliau menyatakan,

إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي الْأَمْرِ كُلِّهِ

“Sesungguhnya Allah mencintai kelemahlembutan dalam segala perkara.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda pula kepada Al-Asyajj ‘Abdul Qais,

إِنَّ فِيْكَ خَصْلَتَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللهُ الْحِلْمُ وَالْأَنَاةُ

“Sesungguhnya pada engkau ada dua sifat yang dicintai oleh Allah, (yaitu) Al-Hilm (kebijaksanaan) dan Al Anah (tidak tergesa-gesa).” (HSR. Muslim dari Ibnu ‘Abbas dan Abu Sa ’id Al Khudry)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam juga bersabda,

التَّأَنِّيْ مِنَ اللهِ وَالْعَجَلَةُ مِنَ الشَّيْطَانِ

“(Sikap) pelan-pelan (tidak tergesa-gesa) itu dari Allah dan (sikap) tergesa-gesa itu dari syaithan.” (Dihasankan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shahihah no. 1795).

Kaidah Kelima, bersikap adil dalam setiap sesuatu.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepada kalian agar kalian dapat mengambil pelajaran.” [ An-Nahl: 90 ]

Allah Subhanahu wa Ta ’ala juga memerintahkan hamba-Nya dalam firman-Nya,

“Dan apabila kalian berkata, maka hendaklah kalian berlaku adil kendatipun dia adalah kerabat (kalian) .” [ Al An’am: 152 ]

Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan pula dalam firman-Nya,

“Dan janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap suatu kaum, mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” [ Al-Maidah: 8 ]

Ayat-ayat di atas sangat jelas menunjukkan keharusan berlaku adil pada segala sesuatu, dan tentunya hal tersebut lebih ditekankan pada kondisi fitnah. Hendaknya setiap orang berlaku adil dalam berucap, berbuat, bersikap dan memberikan hukum. Ukuran suatu keadilan tentunya ditimbang menurut tuntunan Al-Qur`an dan Sunnah.

Kaidah Keenam, tidak boleh menghukumi suatu permasalahan kecuali setelah mengetahui gambaran yang jelas tentang permasalahan tersebut.

Lafazh arab kaidah ini berbunyi,

الْحُكْمُ عَلَى الشَّيْئِ فَرْعٌ عَنْ تَصَوُّرِهِ

“Hukum atas sesuatu cabang dari penggambarannya.”

Kaidah ini mempunyai dasar yang sangat banyak dari Al Qur`an dan Sunnah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya.” [ Al-Isra`: 36 ]

Allah Jalla wa ’ Ala juga berfirman,

“Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kalian tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kalian menyesal atas perbuatan kalian itu.” [ Al-Hujurat: 6 ]

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ مَا فِيْهَا يُهْوَى بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغُرِبِ

“Sesungguhnya seorang hamba berbicara dengan suatu kalimat yang ia tidak mencari kepastian apa yang ada di dalamnya, maka disebabkan hal itu ia dilemparkan ke dalam neraka sejauh antara timur dan barat.” (Diriwayatkan oleh Bukhary-Muslim dari Abu Hurairah)

Ini adalah kaidah yang sangat bermanfaat dan membantu dalam segala bentuk fitnah yang terjadi. Camkanlah baik-baik kaidah ini dan warnailah gerak-gerikmu dengannya, niscaya engkau akan selamat. Wallahul Muwaffiq.

Kaidah Ketujuh, pada kondisi fitnah, segala sesuatu yang diketahui tidak harus diucapkan.

Perkataan dan perbuatan, dalam kondisi fitnah, mempunyai ketentuan dan aturan. Tidak semua perkara yang dipandang baik harus dinampakkan dan dikerjakan, karena perkataan dan perbuatan dalam kondisi fitnah akan melahirkan suatu akibat di belakangnya.

Dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,

يَا عَائِشَةُ لَوْلاَ قَوْمُكِ حَدِيْثٌ عَهْدُهُمْ بِكُفْرٍ لَنَقَضْتُ الْكَعْبَةَ فَجَعَلْتُ لَهَا بَابَيْنَ بَابٌ يَدْخُلُ النَّاسُ وَبَابٌ يَخْرُجُوْنَ

“Wahai ‘Aisyah, andaikata kaummu (penduduk Makkah) bukan orang yang baru (meninggalkan) kekufuran, niscaya saya merobohkan Ka’bah kemudian saya akan menjadikannya dua pintu: pintu tempat manusia masuk dan pintu mereka keluar .” (Diriwayatkan oleh Bukhary-Muslim)

Lihatlah, wahai orang-orang yang berfikir! Mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam tidak melakukan apa yang beliau kehendaki? Bukankah itu sunnahnya dan syariat yang beliau bawa? Jawabannya jelas, karena orang-orang Makkah baru masuk islam dan mereka sangat mengagungkan Ka’bah, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam takut, kalau merubah bangunan Ka’bah, beliau dianggap orang sombong terhadap mereka, sehingga hal tersebut bisa menyebabkan mereka lari dari Islam dan kembali kepada kekufuran. Karena itulah, ketika menyebutkan hadits ini, Imam Bukhary menyebutkannya dengan judul bab “Orang yang meninggalkan sebagian pilihan karena takut sebagian orang kurang memahaminya lalu terjatuhlah mereka ke dalam perkara yang lebih besar.”

‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu juga berkata,

حَدِّثُوْا النَّاسَ بِمَا يَعْرِفُوْنَ أَتُحِبُّوْنَ أَنْ يُكَذَّبَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ

“Berceritalah kepada manusia dengan apa yang mereka ketahui. Apakah kalian ingin Allah dan Rasul-Nya didustakan?” (Diriwayatkan oleh Bukhary)

‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata pula,

مَا أَنْتَ بِمُحَدِّثٍ قَوْمًا حَدِيْثًا لاَ تَبْلُغُهُ عُقُوْلُهُمْ إِلاَّ كَانَ لِبَعْضِهِمْ فِتْنَةٌ

“Tidaklah engkau berbicara kepada suatu kaum dengan suatu pembicaraan yang tidak bisa dicerna oleh akal mereka kecuali akan menjadikan fitnah pada sebagian dari mereka.” (Diriwayatkan oleh Muslim dalam Muqaddimah Shahih -nya dengan sanad yang terputus)

Kemudian dalam hadits riwayat Bukhary, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata,

حَفِظْتُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وِعَاءَيْنِ فَأَمَّا أَحَدُهُمَا فَبَثَثْتُهُ وَأَمَّا الْآخَرُ فَلَوْ بَثَثْتُهُ قُطِعَ هَذَا الْبُلْعُوْمُ

“Saya menghafal (hadits) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam (sebanyak) dua kantong. Adapun salah satu (kantong)nya telah saya sebarkan, dan adapun (kantong) yang lainnya, kalau saya sebarkan, maka akan diputus leher ini.”

Berkata Imam Adz-Dzahaby, dalam Siyar A’lam An-Nubala` jilid 2 hal. 597-598, “Ini menunjukkan bolehnya menyembunyikan sebagian hadits-hadits yang bisa menggerakkan fitnah, (baik hadits-hadits) dalam Al-Ushul (masalah-masalah pokok) maupun Al-Furu’ (masalah-masalah cabang), atau dalam (hadits-hadits tentang) pujian dan celaan. Adapun hadits yang berkaitan dengan halal dan haram, maka tidak halal untuk disembunyikan dalam bentuk bagaimanapun, karena itu dari kejelasan dan petunjuk.” Kemudian beliau menyebutkan perkataan ‘Ali bin Abi Thalib di atas lalu berkata, “Dan demikian pula Abu Hurairah. Andaikata beliau menyebarkan kantong itu, niscaya dia akan disakiti, bahkan akan dibunuh. Akan tetapi, ijtihad seorang alim kadang-kadang mendorongnya untuk menyebarkan suatu hadits dalam rangka menghidupkan sunnah, maka baginya apa yang ia niatkan, dan ia mendapatkan pahala walaupun ia salah dalam ijtihadnya.”

Selain itu, Al-Hafizh Ibnu Hajar, di dalam Fathul Bary jilid 1 hal. 225, ketika menjelaskan perkataan ‘Ali bin Abi Thalib, berkata, “Didalamnya ada dalil bahwa perkara yang mutasyabih ‘yang mengandung beberapa pengertian’ tidak pantas disebutkan pada khalayak umum.” Kemudian beliau menyebutkan perkataan Ibnu Mas’ud lalu berkata, “Di antara orang-orang yang tidak senang memberikan hadits pada sebagian orang adalah Imam Ahmad dalam hadits-hadits yang zhahirnya membolehkan khuruj ‘kudeta’ terhadap pemerintah, dan Imam Malik dalam hadits-hadits tentang sifat-sifat (Allah), dan Abu Yusuf tentang hadits-hadits yang gharib (aneh dari sisi makna maupun lafazh-pen.) … . Dan Dari Al-Hasan (Al-Bashry-pen.), ia mengingkari Anas (radhiyallahu ‘anhu) yang bercerita kepada Hajjaj tentang kisah Al-Uraniyyin karena Hajjaj akan menjadikannya sebagai wasilah, yang selama ini dipegang oleh Hajjaj dalam menumpahkan darah secara berlebihan, dengan ta`wil yang lemah.

Dan ukuran hal tersebut (tentang bolehnya menyembunyikan sebagian hadits) yaitu hendaknya zhahir suatu hadits menguatkan suatu bid’ah dan yang zhahir tersebut pada asalnya bukan zhahir yang diinginkan. Maka menahannya (menyembunyikannya), dari orang yang ditakutkan ia akan mengambil zhahirnya, adalah perkara yang mathlub (dicari dan diinginkan).”

Demikian tujuh kaidah ini secara ringkas kami sarikan dari beberapa sumber, utamanya kitab Adh-Dhawabith Asy-Syar’iyah Li Mauqif Al-Muslim Fil Fitan karya Syaikh Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Asy-Syakh dan Madarik An-Nazhar karya Syaikh ‘Abdul Malik Ramadhany. Selain itu, banyak lagi kaidah-kaidah lainnya. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat. Wallahu Ta ’ala A’lam. Wa Fauqa Kulli Dzi ‘Ilmin ‘Alim.