Sekecil Apapun Kebahagiaan mari kita rayakan dengan ngopi!!!!!

Jumat, 22 April 2016

Diri

Segala makhluk dicipta berbeda. Hanya satu yang sama. Selaras. Yaitu rasa. Ia berumah pada hati. Pada rumah yang  tak pernah menutup pintu.

Rasa itu bernama penyesalan. Tak ada yang  tak memilikinya. Ia berbahasa sama: bahasa gelisah. Ia suka bicara sendiri. Tentang sedih dan takut.

Pada Cak Nun, saya belajar: puasa adalah menahan "Ya" dan mendaras "Tidak". Sebab, selama ini kita melulu mendaras "Ya" dan bukan "Tidak".

Tiap diri adalah ayat Ilahi. Ia tidak tak bermakna. Tiada yang  dicipta sebagai sia sia. Satu satunya yang  tiada adalah kesia siaan tersebut.

Tiap diri adalah pusaran Ilahi. Ia tidak tak bergerak. Segalanya berputar berporos. Tiada yang  menjauh dari urat lehernya sendiri.

Tiap diri adalah ayat Ilahi. Ia tidak tak bermakna. Tiada yang  dicipta sebagai sia sia. Satu satunya yang  tiada adalah kesia siaan tersebut.

Tiap diri adalah pusaran Ilahi. Ia tidak tak bergerak. Segalanya berputar berporos. Tiada yang  menjauh dari urat lehernya sendiri.

Tiap diri adalah citra Ilahi. Ia tidak tak berjiwa. Tiada yang  dicipta tanpa raga. Segalanya memiliki bentuk. Cerminan Yang Maha Wujud.

Tiap diri adalah cerminan Ilahi. Ia tidak tak melihat. Tiada yang  lebih ia rindukan dari melihat yang  Becermin. Temu pandang. Sawang-sinawang.

Tiap diri adalah masjid. Ia tidak tak bersujud. Tiada yang  dicipta tanpa sisi gelap, tanpa bayangan yang  tunduk. Segalanya takluk pada Cahaya.

Tiap diri adalah sisi Ilahi. Ia bukan arah bukan tujuan. Tidak di utara-selatan-timur-barat dirinya sendiri. Ia tepat di dirinya sendiri.  

Segala cerminan adalah pantulan perbuatan.

Tiap diri merindu Ilahi. Ia tidak tak kesepian. Tiada yang  dicipta sebagai dua. Ia menyatu tapi tidak menjadi satu. Tak pula menjadi Satu.

Tiap diri merindu Ilahi. Rindu-dendam yang  kekal. Seperti rindu dada pada punggung. Menyatu tapi tidak menjadi satu. Berjumpa tapi berpisah.

Apalah kaki jika tanpa bumi untuk berpijak?
Apalah sayap jika tanpa angkasa untuk terbang?
Apalah diri jika tanpa jati untuk bercermin?

#guscandra

Ziarah Batin

Allah dikenal melalui tajalli-Nya, dan/atau Asma-Nya. Dalam satu pengertian, tajalli-Nya adalah “segala nama” yang diajarkan kepada Adam. Dalam pengertian lain, tajalli-Nya adalah ciptaan-Nya yang beragam, dan tajalli-Nya yang paling sempurna adalah dalam bentuk manusia, dengan totalitas eksistensinya. Karena itu, dalam diri manusia “tersimpan” Nama-Nama Allah yang senantiasa “menggerakkan dan mengawasi ” manusia dengan seksama. Melalui Asma Ilahi inilah ditetapkan relasi manusia dengan Tuhannya. Karena itu, dalam konteks ini, dapat dikatakan ada “jejak” (atsar) Ilahi dalam diri manusia yang kelihatan (lahir) maupun yang tidak kelihatan oleh mata dan pikiran (ghaib).

Tetapi, dengan alasan yang sepenuhnya hanya diketahui Allah Subhanahu wa ta’la, atsarilahi itu bisa tidak terasa, tidak disadari atau pudar dalam kesadaran manusia; ini terjadi ketika manusia lebih memperturutkan hawa nafsunya ketimbang berusaha merenungi, memahami dan mempertahankan kecemerlangan jejak Tuhan dalam dirinya. Oleh karena itu Jejak Ilahi yang rahasia ini dari waktu ke waktu seharusnya dijaga hingga sampai pada titik di mana jejak itu terukir atau menetap dalam ingatan dan hati. Dalam ajaran tasawuf, caranya adalah dengan melanggengkan zikir.

Zikir adalah membangkitkan sekaligus mengukir atsar Ilahi dalam diri, dari tingkatan hukum ilahi hingga ke Zat-Nya. Sebagian sufi mengajarkan paling tidak ada empat tingkatan zikir: lisan, hati, sirr dan ruh. Pemula pada awalnya berzikir dengan lisan tanpa kehadiran hati; jika ia istiqomah, maka ia akan berzikir dengan lisan dan hati tanpa kehadiran sirr; jika istiqomah, akan meningkat pada zikir lisan hati dan sirr tanpa kehadiran ruh. Dan bila ia sampai ke zikir ruh, maka tiga organ spiritual lainnya diam, dan pezikir akan tenggelam dalam zikir hingga tak ada sesuatupun yang diingatnya, dan bahkan tak ingat dirinya sendiri, hingga yang tersisa adalah  ingatan tentang Tuhannya. Dan ketika ia tak bisa mengingat lagi tentang ingatan pada Tuhannya, maka siapa yang bertahta? Tak ada lagi ruang untuk mengingat zikir itu sendiri. Maka pezikir tak lagi menjadi “yang mengingat” atau tidak lagi pihak yang berzikir, tetapi ia menjadi “yang diingat” atau yang “dizikiri” oleh Allah. Pada maqam inilah atsar Ilahi terukir dengan kuat dan cemerlang, tak lagi terhijab. Pada tingkatan selanjutnya, atas perkenan dan izin Allah, ketika pezikir kembali sadar, ia seolah-olah telah “menyegel” jejak itu dalam dirinya, sehingga dalam setiap tarikan nafasnya dia selalu sadar dan ingat kepada Allah.

Dalam ajaran sebagian tarekat, misalnya Naqsybandiyyah,  penyempurnaan dan penyegelan ini dicapai dengan zikir diam (dzikir khafi) — sebab zikir dengan diam itulah seseorang bisa terus berzikir meski dalam kesibukan dunia. Ini adalah salah satu dari 11 prinsip Tarekat Naqsybandiyyah: khalwa dar anjuman (menyendiri [berzikir diam] dalam keramaian). Karena pada hakikatnya akar dari atsar itu adalah Zat-Nya, dan Zat-Nya juga “hadir” dalamatsar itu, maka sebagian Sufi memilih berzikir diam dengan menyebut Ism al-Dzat, yakni “Allah.” Mereka mengulangulang asma ini dalam hati, dengan diam, tanpa diketahui orang (sebab hakikat Zat itu tetap rahasia), terus-menerus tanpa henti sehingga Nama itu “tercetak” atau “terukir” dalam hati dan kemudian, seperti disinggung di atas, sampai pada titik ia bisa menyegelnya dalam hati — mencapai kondisi diri yang tak pernah pisah dari zikir. Inilah makna dari Naqsyabandi —Naqs adalah ukiran, efek, yang tercetak pada hati; dan band adalah segel, mengikat. Pengikut Naqsybandiyyah yang sejati, karena itu, dikatakan adalah orang-orang yang menyempurnakan atsar ilahi dalam dirinya. Mereka adalahahlullah, atau rijalullah — “orang-orang Tuhan.” Merekalah yang disebut ALlah:ana jalis man dzakarani, “aku bersama orang-orang yang selalu mengingat-Ku.”

Tetapi karena jalan menuju Allah itu beragam, maka teknik zikir khafi tidak selalu sama dalam setiap tarekat. Misalnya, sebagian guru sufi lebih menganjurkan menyebut ism al-dzat “Allah” dengan melafalkannya, atau dengan bersuara, sebelum kemudian diam mengawasi pergerakan zikir lain yang “mengalit dalam hati dan pikiran,” semisal zikirHu atau yang lainnya. Tarekat Qadariyyah, misalnya, lebih mengutamakan zikir membaca kalimat thayyibah (la ilaha illa Allah) dengan bersuara. Semua itu tujuannya sama, yakni membersihkan jiwa (tazkiyatun nafs) melalui kekuatan doa dan dzikir. Riyadhah dan mujahadah dengan berzikir akan membawa salik (pejalan ruhani) untuk menelusuri relung-relung batin yang selama ini diabaikan. Dengan berzikir, salik akan menempuh jalan yang sulit dan lembut, di mana ia akan terus berusaha agar hatinya selalu mengingat apa-apa yang dilupakan oleh pikirannya. Melalui zikir salik akan berjalan ke dalam, menelisik diri sendiri, agar mampu mengenali apa, bagaimana, dan siapa sesungguhnya dirinya sendiri, sebab dengan cara itulah salik baru bisa mengenali Tuhan –man arafa nafsahu fa qad arafa rabbahu. Perjalanan ke dalam adalah perjalanan dari lahir ke batin ke rahasia (sir). Mengenali diri berarti mengenali semua aspek dari yang lahir dan tak rahasia hingga ke rahasia, sebab Allah berfirman dalam hadis Qudsi,al-insaanu sirri wa ana sirruhu(insan adalah rahasia-Ku, dan Aku adalah rahasia insan). Manusia “mengandung” rahasia Allah, dan karenanya ia mendapatkan “amanah” untuk berusaha mengenali dan menjaga rahasia Allah. Dengan mengenali rahasia dirinya itu maka manusia atau insan akan dapat mengenal Rabb-nya.

Oleh karena itu, zikir, dalam satu pengertian, adalah juga doa, karena melalui zikir kita mengaku bahwa kita tidak akan bisa membersihkan jiwa hingga ke unsur-unsur rahasia dalam diri insan tanpa pertolongan Allah melalui jalan-jalan dan petunjuk yang telah ditentukan-Nya melalui risalah yang diajarkan kepada Kanjeng Nabi Muhammad dan diwariskan kepada para penerusnya yang alim lagi berakhlak mulia.

Kamis, 21 April 2016

menjadi manusia penjilat tuhan

Bukanlah Tuhan bila masih membutuhkan sesuatu.

Apa pun tak akan dibutuhkan oleh Tuhan,

Maka jangan lakukan apa pun terhadap Tuhan.

Kalau pun manusia melakukan sesuatu,

itu bukan untuk Tuhan

tapi untuk diri manusia sendiri.

(Wong Dzolim: Begini Tuhan!; 2003)

Dalam berbagai kesempatan kamu selalu memberikan peringatan bahwa kamu hanya akan menerima manusia yang murni. Manusia murni adalah manusia ikhlas. Ikhlas adalah peleburan antara ada dan ketiadaan. Peleburan antara adanya suatu kerja dan tiadanya harap dalam kerja. Peleburan antara kamu dan manusia. Ikhlas merupakan perbendaharaanmu. Ikhlas adalah kosa kata yang tak bisa diterjemahkan secara definitif. Ihklas hanya bisa dirasa. Sementara yang tahu persis tentang rasa hanyalah kamu.

Bagaimana mungkin seorang manusia akan memiliki ikhlas bila di dalam hatinya masih ada rasa “aku manusia.” Rasa “aku manusia” bukan berarti kesadaran akan dirinya sebagai manusia, tetapi terbuangnya rasa “aku” demi meleburnya rasa kamu.

Hampir apa yang dilakukan manusia adalah kesia-siaan. Sia-sia rasanya aku yang mengaku manusia melakukan segala apa yang kamu perintah dalam segala syari’atmu. Kebaikan yang aku lakukan hanya sekedar suatu kebaikan menurutku, bukan kebaikan yang kamu kehendaki. Kamu tak memberikan gambaran secara jelas dan nyata apa yang dimaksud dengan kebaikan. Karena apa pun kebaikan yang aku lakukan bila tidak ada rasa kamu dalam hatiku maka semuanya adalah dusta.

Aku yang manusia terlalu lama menjilatmu dengan segala perbuatan yang sebenarnya adalah perbuatan dirimu. Tak ada perbuatan tanpa kehendakmu. Termasuk persembahan-persembahan yang aku lakukan secara sadar atau tidak juga dalam kendalimu. Namun percuma rasanya persembahan yang menggunung dihaturkan bila kenyataannya adalah kehendakmu jua. Aku ingin itu muncul karena keharusanku untuk tahu diri terhadap kamu. Kamu yang melakukan aku hanya dilakukan. Kulakukan untukmu sehingga kelakuanku adalah titahmu.

Percuma bila kamu serukan kepadaku balasan ini dan balasan itu sementara itu adalah darimu untukku. Aku tak cukup daya untuk meneguhkan bahwa sebenarnya aku tak mampu melakukan apa pun. Masih ada rasa harap yang tak terkira pada saat kulakukan segala titahmu.

Lucu rasanya aku mengerahkan segala energi dan dayaku demi dapatkan senyum bahagia darimu. Kamu yang menentukan kriteria amal yang akan kamu terima, kamu pula yang menentukan hatiku yang tidak memenuhi kriteria. Bila ini masalahnya, aku yakin bahwa manusia yang tidak tahu persis tentang diri dan kamu adalah penjilat. Pembohong besar.

Bila aku membuat mainan dari tanah liat, hanya aku yang paling tahu seluk beluk mainanku. Begitupun kamu. Hanya kamu saja yang bisa tahu siapa aku, sehingga hanya kamu pula yang paling mampu membimbing agar aku tahu persis siapa diriku. Aku ingin bisa lebih jujur terhadap diriku sendiri yang muaranya jujur kepada kamu.

Aku ingin ketika aku persembahkan sajian-sajian indah kepadamu kamu memberikan sinyal atau tanda untukku. Nyalakkan petir yang menggelegar bila persembahanku tak memenuhi hatimu. Tapi taburkanlah pelangi di cakrawala tatkala aku tulus melakukan sesembahan kepada kamu. Atau aku harus mempersembahkan diriku dengan tak peduli tanda apa pun yang kamu berikan.

Bismilah dalam pandangan 3G jowo

Jadilah orang yang bisa mengalah. Orang yang suka mengalah, akan selalu menang dan merdeka. Sebelum mengalahkan orang lain, dimulai dengan mengalahkan diri sendiri.

Dalam ilmu 3G (dibaca Tri-Ji) Ngalah di sini sesungguhnya memiliki makna nga-Allah. Maka kata mengalah sebenarnya bermakna meng-ALLAH….inilah salah satu model 3G.

Orang Jawa, konon punya karakter yang unik. Tradisi Jawa mengakar kuat di berbagai ranah hidup dan kehidupan. Mulai dari budaya, falsafah, hingga mitologi dan kosmologi. Salah satu konsep falsafah yang seringkali digunakan sebagai model pemahaman dalam tradisi Jawa adalah metode Gatak Gatik Gatuk.

Metode ini juga bukan metode ilmiah, apalagi modern. Karena percuma mengamini tradisi modern. Sudah usang dan tak bisa dipertanggungjawabkan. Tradisi modern berikut perangkat sains dan metodologinya telah memberangus dan membunuh nilai-nilai tradisi dan ortodoksi. Ilmu modern, adalah mesin-mesin pembunuh Tuhan! Tak ada lagi DIVINE atau pun Tradisi. Jadilah pengetahuan modern yang sangat kering dan garing.

Secara teoritis, modernisme itu sudah keliru, apalagi dalam praktik, demikian kata Fritchof Capra. Ngomong apa sih???? Kalau kagak sempat baca Seyyed Hossen Nasr, kayaknya agak bingung juga. Yo wis kita lupakan modern dan segala anteknya.

Kita lihat lagi ke Jawa. Jawa, punya konsep Gatak Gatik Gatuk (3G, dibaca Three G). Bagi yang pernah belajar grammar bahasa Arab, konsep 3G ini mirip Tashrif (derivasi) dalam Ilmu Shorof. Setidaknya, dapat disebutkan beberapa keuntungan model 3G ini, yaitu:
1. 3G dapat digunakan untuk mengapresiasi (menafsir) bahasa asing manapun. Asalkan bisa dianggap sreg bagi lidah orang Jawa, maka sangat punya peluang untuk diThree-G-kan;
2. 3G adalah model kuno yang masih relevan, karena bisa terus di-update lagi bila upaya 3G sebelumnya kurang pas;
3. 3G hanya bisa dilakukan bila kita memiliki keluasan dan kelapangan hati. Artinya punya daya imajinasi yang luas untuk mencari banyak kemungkinan dan kemungkinan dari setiap teks, naskah, huruf, kata atau bahasa yang didekati dengan 3G.
4. Seakan, 3G itu sejenis Hermeneutika Jawa. Modar!

Sekarang mari kita coba menggunakan metode 3G ini terhadap kalimat Bismillah. Nanti dalam penelitian dan proyek selanjutnya kita bisa membaca kalimat-kalimat yang lain. Semoga saja ada donaturnya. Kalimat BISMILLAH, punya banyak cara dan banyak kemungkinan untuk dibaca. Yaitu BISOMILAH; BISOMILIH, BISO MOLAHMALIH; dan BISAMULIH.

BISO MILAH
Bisa Milah artinya pribadi yang membaca BISMILLAH diharapkan punya kemampuan untuk memilah. Memilah merupakan sikap dan kesadaran untuk membedakan, memetakan, memosisikan, hingga melakukan skala prioritas dengan tetap menyadari akan kelebihan dan kekurangan pada setiap hal yang akan dikerjakan. Di sini diperlukan data dan informasi yang komplit ketika akan melakukan suatu hal. Pada wilayah milah ini juga dibutuhkan kecermatan dalam mendengar dan memeroleh berita atau informasi, kalau dalam bahasa Al-Quran disebut dengan In ja’akum fasiqun binabain fatabayyanu, artinya kalau ada berita dari orang yang kagak jelas, mohon diklarifikasi. Jangan asal jeplak aja. Hanya karena yang member informasi itu istrinya kita sendiri, suami kita sendiri, bapak kita sendiri, kalau berita itu belum nyata, jangan langsung ambil kesimpulan. Terlalu pagi, bro!

Bisa milah juga bermakna mampu membedakan mana-mana hal yang baik dan mana-mana hal yang buruk. Semacam sikap pembeda yang kalau dalam al-Quran disebut Al-Furqan.

BISO MILIH
Setelah Bisamilah (bisa melakukan sekala prioritas), maka langkah berikutnya bagi si pembaca Bismillah adalah memiliki kesadaran Bisamilih. Bisa milih secara sederhana bermakna bisa menentukan. Memilih atau menentukan ternyata bukan hal sederhana. Banyak orang yang tidak bisa menentukan sikap atau memilih dengan tegas dalam kehidupan ini. Kita akan bertemu dengan kenyataan untuk misalnya: memilih sekolah, memilih pasangan, memilih profesi, memilih rumah, memilih mobil, hingga memilih agama. Dan ingat, tidak memilih juga termasuk pilihan juga. Misal, orang yang tidak memilih agama, adalah pilihan bagi dia untuk tidak beragama. Ketika ada orang yang memilih menggunakan (membeli) mobil, maka ada juga orang yang memilih tidak membeli mobil. Meskipun mungkin dia (orang yang memilih tak membeli mobil ini) sesungguhnya punya uang yang lebih dari cukup untuk membeli puluhan mobil. Ini hanya soal pilihan! Saya juga jadi ingat pepatah China, “Bila kita miskin, lalu hidup sederhana, maka hal itu adalah kewajaran. Sudah sepatutnya orang miskin itu hidup sewajarnya. Tapi kalau orang miskin, berlagak kaya, maka hal itu adalah kehinaan. Ia akan tersiksa oleh dirinya sendiri. Kemudian, apabila ada orang kaya, yang hidup penuh dengan menampakkan kekayaannya, juga suatu hal yang wajar. Sudah lazim kiranya bila ada orang kaya tentu akan berperilaku layaknya orang kaya. Dan memang kaya! Tapi, alangkah indahnya bila ada orang kaya, tapi MEMILIH hidup sederhana. Dirinya tidak memperlihatkan kekayaan yang menjadikan orang lain segan dan berdecak kagum. Justru ia lebih dekat dengan orang miskin dan tak mampu. Tapi ia punya kelebihan: gemar berbagi. Kaya gitu lhoh!

Semua itu, hanya soal pilihan. Pemilihan Umum!

BISO MOLAHMALIH
Biso molah-malih artinya fleksibel, luwes, atau juga mampu membaca situasi. Molah-malih di sini tentu dalam artian positif, artinya dalam membaca bismilllah mesti memiliki semangat untuk dapat berevolusi dan selalu bersinergi dengan segala entitas semesta. Bukankah setiap saat kita menjadi pribadi yang selalu berubah? Di rumah kita adalah warga rumah, mungkin sebagai suami, istri, anak, atau orangtua. Tapi ketika keluar rumah kita manglih menjadi tetangga, ketika naik angkot kita menjadi pengguna angkot, ketika mengendarai motor, kita menjadi pengguna jalan yang mesti ngerti hak dan kewajiban pengguna lain, sampai ke kantor atau ke sawah kita menjadi pribadi yang lain lagi, dan seterusnya. Itu semua adalah perubahan identitas yang tak pernah usai. Di situlah peran penting semangat dan prisnip bismillah mesti ada di dalamnya. Maka, jadilah warga tetangga yang bismillah, jadi suami yang bismillah, dan seterusnya.

BISO MULIH
Yang terakhir ini adalah kesadaran teleologis. Artinya bahwa semua yang kita lakukan juga mestinya memiliki nilai sangkan paraning dumadi. Artinya kesadaran bahwa semua akan kembali kepadaNya. Jadi, dalam bismillah pun sudah ada nilai inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Bila setiap pekerjaan kita lakukan dengan kesadaran bahwa kita pasti kembali maka tentu kita akan melakukan hal-hal yang positif. Dan jangan lupa, nilai penting dalam agama yang kemudian dimasukkan dalam rukun Iman adalah soal kepercayaan pada hari akhir (eskatologis). Ini mengindikasikan bahwa setiap gerak dan langkah kita, mau tidak mau, pasti akan pulang pada-Nya. Dalam makna lain, kesadaran mulih (pulang) juga diartikan apa yang kita lakukan itu mestinya dikembalikan kepada-Nya (tawakkal) setelah sebelumnya pada saat milih kita telah menentukan sikap (ikhtiar). Maka, tak ada ruang bagi kita untuk blagu atau merasa mampu. Inilah kemudian berujung pada prinsip la haula wala quwwata itu.

#wongdzolim

sujud sekali

Gusti,
ajari aku sujud dari segenap angkuh yang menggunung
ajari aku sujud dari searak murka yang mengapi
ajari aku sujud dari segumpal dusta yang mengepung
ajari aku sujud dari sekepung janji yang memaki

Gusti,
Sujudkan saja aku
meski sujudku tak punya bumi
meski takbirku tak punya rasa
meski tasbihku tak punya suci
meski tahlilku tak punya esa

Gusti,
Sekali lagi, Gusti
ajari hamba setia.

#wongdzolim

jangan menangis, kopi

angin lirih menyapa lembut tubuh.
membawa serta luka lalu.
menggigil bagai dingin.
walau pelukan hanya sebatas ingin.

pernah kau menangis, kawan.
menangisi semua tentang kehilangan.
tentang nyawa, rasa, harta, juga cinta.

air mata seakan tak henti kau deraikan.
rengekkan tanpa ujung kau teriakkan.
mengais yang tersisa,
mencari yang masih ada,
dan menemukan yang sudah tiada.

seorang anak berteriak,
menemukan potongan tangan ayahnya yang telah kaku membiru di bawah serpih reruntuhan.
seorang wanita dengan sesenggukannya yang jarang,
masih berusaha mencari balitanya yang tersapu ombak lepas dari pelukan.
seorang lelaki kebingungan mencari kesana-kemari keluarganya yang telah hilang saat dia membuka mata.

Tuhan tunjukkan kuasanya,
bumi diperintahkan tunjukkan kedigdayaannya.
seakan airpun bisa bernyawa.
dan manusia hanya bisa diam saja memandang yang tak pernah terpikirkan olehnya.

mereka sebut bencana.
mereka sebut musibah.
tapi Tuhan selalu punya cara untuk mengingatkan.

kini waktu telah berganti, kawan.
tangis yang dulu,
kini menyisakan kenangan.
luka kehilangan, membekas begitu dalam.
tapi percayalah, Tuhan tak akan tinggal diam.

dari ujung sana, percayalah.
percayalah cinta akan tiba pada saatnya.
lalu tegaplah lagi.
berdiri dan memandang terangnya mentari.
berdiri dan kembali menantang mentari esok pagi.

dari sini,
barisan doa kuaamiini di tiap tegukan kopi.

#piko

Energi untuk Kehidupan

Perjalanan adalah ibu kandung pengalaman. Jika pengalaman adalah guru terbaik, maka tahulah kita dari mana guru itu memeroleh ilmu. Ya, dari perjalanan. Pelajaran tentang baik dan buruk, serta benar dan salah, diolah menjadi kearifan dan kebijaksanaan dengan cara mengalami sendiri. Bukan sekadar dari membaca teks pengetahuan atau mengutip pengalaman orang lain. Dengan mengerjakan sendiri sesuatu, kita mencetuskan daya cipta, mengolah daya karsa, dan akhirnya mendapatkan daya rasa.

Allah membenci seseorang yang mengatakan sesuatu yang tidak ia kerjakan. Sebab, sesuatu yang ia katakan itu dekat dengan dusta dan dzalim. Dusta karena ia berkata tanpa benar-benar tahu apa yang diucapkannya. Dzalim karena ia kemudian merasa tahu, bahkan lebih tahu, padahal sesungguhnya ada yang tahu dan lebih tahu darinya. Dusta dan dzalim mencegah kita belajar dari kesalahan. Jika dari kesalahan saya kita sudah terhalang untuk belajar, apalagi dari kebenaran. Hanya satu momen yang disediakan oleh semesta untuk orang yang suka berdusta dan berbuat dzalim itu.

Momen itu adalah momen ketika kena batunya. Siapa pun tak bisa menghindar. Segala sesuatu yang kita lemparkan ke semesta selalu akan terpental dan berbalik ke arah kita sendiri. Jika darma memantulkan kebaikan, maka karma memantulkan keburukan. Falsafah Jawa tentang “Sawang Sinawang” atau melihat-dilihat mengajarkan betapa jika kita berharap menerima kebajikan maka kita harus memberi kebajikan pula. Jika tak ingin dicubit, janganlah mencubit. Orang yang berbuat dusta dan dzalim pada akhirnya akan termakan oleh perbuatannya sendiri.

Padahal, sesungguhnya semesta bersedia tunduk pada manusia sejak Allah menetapkan manusia sebagai makhluk paling mulia di antara seluruh makhluk; yang dimuliakan dengan akal budi; dan pemimpin di muka bumi, khalifah fil ardli. Jadi, apa pun yang terjadi pada diri kita sesungguhnya terjadi berdasarkan perintah kita sendiri. Bahasa tubuh dan bahasa ruh seorang pemimpinlah yang menggerakkan dan mendiamkan mereka yang dipimpinnya. Jika seseorang mengirimkan sinyal positif kepada semesta, maka serta-merta semesta pun akan bergerak positif. Pun sebaliknya. Sesuai instruksi.

Cahaya memang menerangi, tapi bukan berarti ia tidak menggelapkan. Jika terlampau terang-benderang, cahaya menghasilkan dampak yang sama belaka bagi penglihatan, yakni gelap mata. Silau bahkan lebih berbahaya bagi mata karena bisa menyebabkan kebutaan. Demikian pula cahaya seorang pemimpin. Jika tak menakar dengan baik seberapa besar penerangan yang dibutuhkan, adanya seorang pemimpin justru mengacaukan konsentrasi karena melumpuhkan indera. Pemimpin yang baik pun bisa belajar dari cahaya betapa ia berguna ketika gelap ada. Tanpa gelap, ia bukan siapa-siapa.

Demikianlah pengalaman sangat sabar mengantarkan kita menuju kedewasaan berpikir dan merasakan. Perjalanan kita takkan pernah lebih cepat atau lebih lambat dari waktu. Dan, pengalaman tidak memberikan kelulusan kepada para pejalan. Pengalaman selalu berubah dan bersifat sangat pribadi. Terhadap satu peristiwa yang sama-sama kita alami, setiap diri akan mengambil pelajaran yang spesifik dan berbeda. Dan, belajar adalah energi untuk kehidupan. Energi ini tergolong energi terbarukan. Pengetahuan dan pengalaman selalu memperbarui dirinya sendiri. Dan kewajiban untuk belajar adalah seumur diri, sejak lahir hingga mati. Tanpa berhenti.

Pada akhirnya, kita bisa memetik buah dari pengalaman. Buah itulah yang disebut pengertian. Dengan terus belajar, kita menjadi mengerti mengapa dan bagaimana sesuatu itu terjadi. Segala hal memang bisa ditanyakan, namun tidak setiap hal bisa dipertanyakan. Ada hal-hal yang sesuai nalar, namun lebih banyak lagi hal yang hanya bisa kita rasakan tanpa pernah, atau tanpa perlu melihatnya langsung. Selalu ada rahasia di dalam setiap hal. Dan rahasia memiliki sistemnya sendiri untuk bersembunyi. Seorang pemberani memiliki peluang yang lebih besar untuk melakukan perjalanan dan memeroleh pengalaman. Tapi, tetap saja, kita pun bisa belajar dari rasa takut.

#guscandra