Sekecil Apapun Kebahagiaan mari kita rayakan dengan ngopi!!!!!

Jumat, 10 Juni 2016

Jelang kematian

Kematian. Ia kawan paling setia setiap manusia, menemani kita setiap waktu, sejak manusia dilahirkan hingga tiba saat untuk raga berpisah dari jiwa. Kematian mendekat, semakin dekat, ketika semua menjauh, semakin jauh. Ia pasti datang, entah kita menyambut kehadirannya dalam keadaan sukarela atau terpaksa. Tak pernah terlambat, tak pernah lebih cepat, kematian selalu tepat dan indah pada waktuNya. Namun, apakah kau sangka kematian adalah akhir dari seluruh perjalanan?

Menghadapi kematian, kita tahu siapa sesungguhnya diri ini. Di hadapan ajal, apakah aku seorang penakut yang menangis, seorang jenaka yang tertawa, atau seorang khusyu yang tenang? Di hadapan kematian, kita tak lagi bisa menghitung apa yang telah kita capai sepanjang hidup. Segalanya buyar. Hanya hati terdalam yang tersisa. Rekam jejaklah yang akan berbicara tentang apakah aku seorang hamba yang rendah hati, atau seorang  durhaka yang menyimpan keangkuhan hingga akhir masa -- namun akhirnya takluk juga.

Seulas senyum saja yang bisa kita ambil dari sekujur tubuh insan yang terbujur kaku di keranda, sebagai bekal menelusuri perjalanan yang telah ia tempuh selama hayat. Jika yang tersisa justru roman takut atau cemberut, dari wajahnya bisa kita pelajari perjalanan macam apa yang telah ia lakoni dalam hidup. Kita tak berhak menilai kematian seseorang, sebagaimana tak berhak menghakimi kehidupannya. Raga ini saja tak suci sehingga wajib berwudhu sebelum shalat, apalagi jiwa ini, apa haknya sampai-sampai berani berhenti beristighfar?

Bagi seorang Kekasih, kematian adalah pintu untuk menjumpai Sang Maha Cinta, ketika kehidupan dimaknainya serupa jendela untuk menyatukan rasa rindu di antara sesama para pejalan ruhani. Jika cinta adalah raga-jiwa, maka kasih sayang adalah gerak-geriknya. Seorang Kekasih rela melakukan apa saja demi Yang Maha Dicintai, dan sangat jelas baginya betapa Allah berfirman dalam hadits Qudsi,''Kasih SayangKu melampaui KemurkaanKu.'' Sehingga, bagi Kekasih, hidup adalah tentang bagaimana mendaki setapak demi setapak anak-tangga kasih sayang, dengan menanggalkan kemurkaannya.

Ya, kematian adalah kekasih yang gelapmata. Ia brutal memeluk ragamu sampai-sampai kau tidak bisa bergerak. Membekapmu sampai habis napas. Kau takkan dilepas sampai akhirnya menyerah dan mengakui bahwa segala sesuatu berasal dari Allah dan kembali kepadaNya. Oleh karenanya, orang-orang yang disergap rasa cinta yang mendalam kepada Tuhannya samasekali tidak takut pada ajal dan justru mengharapkan kematian datang lebih awal. ''Mutu qabla antamutu,'' sabda Muhammad S.A.W,''matilah sebelum kematian,'' disambut bagai undangan perjamuan.

''Tolaklah kematian itu darimu, jika kau orang-orang yang benar,'' tutur Allah dalam Q.S. Ali Imran: 168. Merasa benar adalah kesalahan awal manusia dan merasa paling benar adalah awal kesalahan berikutnya. Seorang Kekasih takkan sibuk dengan versi-versi kebenaran, pun takkan menyibukkan diri dengan sikap saling menyalahkan. Kita sama menempuh seumur hidup untuk sekali ajal dan Allah berkata dalam Q.S. An Nisaa': 78 ,''di mana pun berada, kematian akan menemukan dirimu,'' lantas buat apa mengisi relung-relung hati dengan sombong seolah akan hidup abadi?

Ketika kematian datang, kepada siapa kau berlindung? Ketika kematian datang, kau dalam keadaan terbaik atau terburuk? Ketika kematian datang, kau di rumah atau dalam perantauan? Kau tenang atau panik? Kau ditangisi atau ditertawakan? Kau tersenyum atau tersedak? Ketika kematian datang, kau menatap lembut bagai melihat kekasihmu atau melotot takut laksana dihunus pedang oleh musuh? Kau berbisik atau menjerit? Ketika kematian datang, kau teringat dosa lama atau lupa segala? Kau dalam sikapmu yang paling sempurna atau belingsatan? Ketika kematian datang, bagaimana akal sehatmu menolongmu? Bagaimana keimanan menolongmu?

Ah, deret pertanyaan itu untukku sendiri. Kepada siapa pun, aku harus belajar tentang kehidupan dan kematian. Lahir, hidup, dan mati adalah siklus yang tak tertolak. Jika kelahiran disambut bahagia, maka kehidupan sepatutnya dijalani prosesnya dengan gembira, dan kematian selayaknya dirayakan dengan sukacita. Tak ada yang abadi di dunia ini, dan tak perlu khawatir: setelah mati pun kita takkan sendiri. Perjumpaan dan perpisahan menyimpan rahasia kehadiran. Kita akan dikumpulkan dalam kebaikan-kebaikan Allah yang tak terperi dan tak terduga. Allah Maha Baik dan AmpunanNya takkan habis meski dosa-dosa kita tak terhitung. Hanya kepadaNya segala sesuatu kembali. Mari kita jelang kematian sebaik kita mempersiapkan diri untuk pulang.

By: Gus candra

Manusia dan jati diri

Manusia terpisah dari dirinya sendiri ketika berhasrat untuk menjadi orang lain, apalagi jika ia berusaha keras untuk meniru. Pelan namun pasti, ia semakin tidak mengenal diri sendiri dan pada akhirnya kehilangan jatidiri. Pergerakan alam bawah sadar ini tak dapat ditahan lajunya hingga tiba di ujung usia, jika pangkalnya tak dicari dari mana bermula. Jika ditemukan, tak bisa diselesaikan pula jika tak lantas disadari sebagai kesalahan arah hidup. Manusia harus memiliki pegangan, belajar dari kompas dalam wujud apa pun, dan menerima bimbingan.

Pohon tumbuh beserta akarnya. Jika tumbuh, tapi tercerabut akarnya, maka tumbang hanya soal waktu. Semakin kokoh akar, semakin kuat pohon itu menghadapi angin, semakin leluasa cabang dan ranting membawa dedaunan ke arah cahaya matahari. Demikian pula manusia. Hati adalah akar bagi kehidupannya. Jika cinta adalah pohonnya, maka kasih sayang merupakan batang dan ranting yang menjelma tangan-tangan bagi daun-daun kebaikan. Tatkala berguguran dan kembali ke tanah, tumbuh daun-daun baru untuk kebaikan berikutnya.

Kehidupan dimulai, dijalani, dan diakhiri. Sebaik-baik manusia adalah yang memulai babak hayatnya dengan mengenal diri sendiri, menjalani pendakian usia dengan mengalami diri sendiri, dan mencapai puncaknya dengan menjadi diri sendiri, atau kembali menjadi diri sendiri jika peran menghendakinya mengalami karakter yang berbeda. Tak ada yang salah dengan meniru orang lain jika masa-masa itu adalah kurun untuk kemudian menemukan kesejatian diri. Muhammad S.A.W. sebagai teladan terbaik pun hanya menjadikan pelaku sunnah seperti Sang Rasul. Hanya seperti. Kita takkan pernah bisa menjadi Muhammad.

Dalam Al Qur'an, Allah mengisyaratkan betapa penting kehadiran Waliyan Mursyidan atau sang pembimbing. Kedudukannya bukan sebagai simbol dari segala kebenaran. Pembimbing berperan besar untuk membantu siapa pun yang dibimbing untuk belajar dari kesalahan-kesalahan dan keburukan-keburukan demi menemukan kebenaran-kebenaran dan kebaikan-kebaikan. Waliyan Mursyidan bagai serangga yang tabah dan setia merawat siklus kehidupan pohon dalam penyerbukan. Lebah, kumbang, tawon, semut, kupu-kupu, dan lalat, berperan penting memastikan serbuk sari jatuh ke kepala putik.

Selain para pembimbing itu, dua kekuatan besar lainnya adalah angin dan air. Semesta mendukung peristiwa-peristiwa kehidupan dari bibit sampai kembali menjadi bibit. Disebabkan oleh penyerbukan, pohon memasuki bab baru pertumbuhannya, yaitu pembuahan. Di dalam buah itulah terkandung biji-biji yang kelak mewujud sebagai benih kehidupan selanjutnya. Mengutip Jalaluddin Rumi, inilah yang disebut sebagai teori ''fihi ma fihi'' atau di dalamnya-lah apa yang di dalamnya. Di dalam bibit terkandung pohon, di dalam pohon terkandung bibit.

Dalam diri manusia, bibit inilah yang disebut sebagai karakter. Usaha seumur hidup untuk tumbuh dan berkembang adalah pembentukan karakter. Pembuahan menjadi fase terakhirnya. Buah dari karakter menunjukkan jatidiri sesuai dengan rasa yang sejati. Semisal, karakter kopi adalah menyerap anasir lain dari karakter di sekitarnya. Jika dalam tahap pembentukan karakter didekatkan dengan pohon duren, maka rusaklah rasa sejati kopi. Jatidiri kopi yang seharusnya khas pun berubah dan bahkan menghilang, begitu pula rasa sejatinya: tak lagi sepahit semestinya.

Semasa hidup, setiap makhluk termasuk manusia menghadapi tiga hal utama yang mempengaruhinya dalam berproses. Ketiganya adalah ruang, waktu, dan keadaan. Tiga-tiganya menyebabkan makhluk berubah. Dan, perubahan merupakan keniscayaan yang tiada makhluk yang kuasa menolaknya. Lahir, hidup, dan mati adalah segitiga rotasi kejadian; sebagaimana adanya sebelum, ketika, dan sesudah. Seperti mempersiapkan kelahiran dan kehidupan, sebaik-baik manusia adalah yang mempersiapkan kematian. Sebaik-baik kematian adalah yang ternyata masih bermanfaat bagi kehidupan. Yang amalnya tidak terputus. Pohon pun, setelah tidak lagi menjadi batang, ia masih bisa menjadi kayu. 

By: guscandra