Kematian. Ia kawan paling setia setiap manusia, menemani kita setiap waktu, sejak manusia dilahirkan hingga tiba saat untuk raga berpisah dari jiwa. Kematian mendekat, semakin dekat, ketika semua menjauh, semakin jauh. Ia pasti datang, entah kita menyambut kehadirannya dalam keadaan sukarela atau terpaksa. Tak pernah terlambat, tak pernah lebih cepat, kematian selalu tepat dan indah pada waktuNya. Namun, apakah kau sangka kematian adalah akhir dari seluruh perjalanan?
Menghadapi kematian, kita tahu siapa sesungguhnya diri ini. Di hadapan ajal, apakah aku seorang penakut yang menangis, seorang jenaka yang tertawa, atau seorang khusyu yang tenang? Di hadapan kematian, kita tak lagi bisa menghitung apa yang telah kita capai sepanjang hidup. Segalanya buyar. Hanya hati terdalam yang tersisa. Rekam jejaklah yang akan berbicara tentang apakah aku seorang hamba yang rendah hati, atau seorang durhaka yang menyimpan keangkuhan hingga akhir masa -- namun akhirnya takluk juga.
Seulas senyum saja yang bisa kita ambil dari sekujur tubuh insan yang terbujur kaku di keranda, sebagai bekal menelusuri perjalanan yang telah ia tempuh selama hayat. Jika yang tersisa justru roman takut atau cemberut, dari wajahnya bisa kita pelajari perjalanan macam apa yang telah ia lakoni dalam hidup. Kita tak berhak menilai kematian seseorang, sebagaimana tak berhak menghakimi kehidupannya. Raga ini saja tak suci sehingga wajib berwudhu sebelum shalat, apalagi jiwa ini, apa haknya sampai-sampai berani berhenti beristighfar?
Bagi seorang Kekasih, kematian adalah pintu untuk menjumpai Sang Maha Cinta, ketika kehidupan dimaknainya serupa jendela untuk menyatukan rasa rindu di antara sesama para pejalan ruhani. Jika cinta adalah raga-jiwa, maka kasih sayang adalah gerak-geriknya. Seorang Kekasih rela melakukan apa saja demi Yang Maha Dicintai, dan sangat jelas baginya betapa Allah berfirman dalam hadits Qudsi,''Kasih SayangKu melampaui KemurkaanKu.'' Sehingga, bagi Kekasih, hidup adalah tentang bagaimana mendaki setapak demi setapak anak-tangga kasih sayang, dengan menanggalkan kemurkaannya.
Ya, kematian adalah kekasih yang gelapmata. Ia brutal memeluk ragamu sampai-sampai kau tidak bisa bergerak. Membekapmu sampai habis napas. Kau takkan dilepas sampai akhirnya menyerah dan mengakui bahwa segala sesuatu berasal dari Allah dan kembali kepadaNya. Oleh karenanya, orang-orang yang disergap rasa cinta yang mendalam kepada Tuhannya samasekali tidak takut pada ajal dan justru mengharapkan kematian datang lebih awal. ''Mutu qabla antamutu,'' sabda Muhammad S.A.W,''matilah sebelum kematian,'' disambut bagai undangan perjamuan.
''Tolaklah kematian itu darimu, jika kau orang-orang yang benar,'' tutur Allah dalam Q.S. Ali Imran: 168. Merasa benar adalah kesalahan awal manusia dan merasa paling benar adalah awal kesalahan berikutnya. Seorang Kekasih takkan sibuk dengan versi-versi kebenaran, pun takkan menyibukkan diri dengan sikap saling menyalahkan. Kita sama menempuh seumur hidup untuk sekali ajal dan Allah berkata dalam Q.S. An Nisaa': 78 ,''di mana pun berada, kematian akan menemukan dirimu,'' lantas buat apa mengisi relung-relung hati dengan sombong seolah akan hidup abadi?
Ketika kematian datang, kepada siapa kau berlindung? Ketika kematian datang, kau dalam keadaan terbaik atau terburuk? Ketika kematian datang, kau di rumah atau dalam perantauan? Kau tenang atau panik? Kau ditangisi atau ditertawakan? Kau tersenyum atau tersedak? Ketika kematian datang, kau menatap lembut bagai melihat kekasihmu atau melotot takut laksana dihunus pedang oleh musuh? Kau berbisik atau menjerit? Ketika kematian datang, kau teringat dosa lama atau lupa segala? Kau dalam sikapmu yang paling sempurna atau belingsatan? Ketika kematian datang, bagaimana akal sehatmu menolongmu? Bagaimana keimanan menolongmu?
Ah, deret pertanyaan itu untukku sendiri. Kepada siapa pun, aku harus belajar tentang kehidupan dan kematian. Lahir, hidup, dan mati adalah siklus yang tak tertolak. Jika kelahiran disambut bahagia, maka kehidupan sepatutnya dijalani prosesnya dengan gembira, dan kematian selayaknya dirayakan dengan sukacita. Tak ada yang abadi di dunia ini, dan tak perlu khawatir: setelah mati pun kita takkan sendiri. Perjumpaan dan perpisahan menyimpan rahasia kehadiran. Kita akan dikumpulkan dalam kebaikan-kebaikan Allah yang tak terperi dan tak terduga. Allah Maha Baik dan AmpunanNya takkan habis meski dosa-dosa kita tak terhitung. Hanya kepadaNya segala sesuatu kembali. Mari kita jelang kematian sebaik kita mempersiapkan diri untuk pulang.
By: Gus candra