Sekecil Apapun Kebahagiaan mari kita rayakan dengan ngopi!!!!!

Rabu, 28 September 2011

Nikmati apa yang ada!!!

Inti dari keberadaan manusia di dunia adalah kesadaran (kalau sedang tidur atau pingsan, apapun yang dimiliki tidak ada bagi si jati diri) , dan inti dari kesadaran adalah rasa . Rasa terbentuk dari refleksi keadaan di sekeliling diri manusia yang diterima panca indera, dan lalu diformulasikan oleh sinyal-sinyal otak, dan kemudian menghasilkan getaran yang disalurkan melalui syaraf-syaraf tubuh dan mengendap/bermuara di daerah syaraf simpatik dibelakang perut (istilah psikologi : otak perut) , yang kemudian hasil getaran-getaran itu dikenal dalam bahasa umum sebagai perasaan hati atau rasa. Jadi perasaan manusia bukan berpusat di organ hati secara biologis.

Dari uraian di atas, maka maslah orang bisa bersyukur atau tidak, sedih atau senang , merasa menderita atau bahagia, sesungguhnya hanya masalah sinyal-sinyal syaraf . Maka jika ada manusia yang hanya karena masalah problema ekonomi, percintaan dan sejenisnya lalu menjadi lupa daratan, ada yang bunuh diri, menderita bathin, menyesali hidup... adalah sangat ironis dan tidak adil dalam memperlakukan tubuh yang sudah banyak memberikan manfaat selama hidupnya. Jika konteks ini dibawa kedalam Norma atau Agama, tentu mudah kita katakan dengan bahasa "hidup adalah anugerah, hidup adalah cobaan, hidup mesti disyukuri, ingat hari pembalasan...DLL" . Tapi berdasarkan pengalaman yang ada , nilai-nilai luhur yang di ajarkan Agama tak selalu berhasil membimbing jalan hidup manusia dalam mengendalikan perasaan hatinya dalam hal-hal negatif tersebut diatas, hal ini tentu disebabkan karena faktor getaran rasa pada tubuh yang cenderung lebih kuat dan nyata mempengaruhi pikiran untuk bertindak , makanya suka ada kasus pencabulan di dalam pesantren oleh para santri bahkan kyai, hal itu terjadi taklain karena masalah rasa yang tak terkendali itu.

Itulah kenapa dalam point ini saya membahas masalah esensi rasa secara lebih detil, karena biarpun ada yang menganggap sepele, tapi kenyataannya msalah rasa inilah kekuatan terbesar yang menempel dalam diri manusia dan mengendalikan kehidupan manusia didunia ini. Rasa menentukan kehancuran atau kebangkitan nasib manusia.

So, buat teh manis dan lalu duduk manis , dan tanyakan saat itu juga kepada diri sendiri : "apakah saat ini aku sedang mensyukuri apa yang kumiliki dalam hidup ini, atau sedang menyesali..? ", jika jawabannya , saya "bersyukur", maka cari terus apa-apa yang memang selayaknya anda syukuri. Jika jawabannya "menyesali" , maka cari terus alasan mengapa dan mengapa anda menyesali sesuatu itu.

Minggu, 07 Agustus 2011

Manfaat dan Keutamaan Puasa!!!

niat puasa ramadhan untuk sebulan

niat puasa ramadhan untuk harian
Puasa wajib ramadhan adalah puasa dengan hukum wajib 'ain yang harus dilakukan oleh setiap orang islam beriman di bulan ramadan yang telah dewasa (akil balig), waras, mampu, merdeka dan tidak dalam safar sesuai dengan perintah langsung dari Allah SWT dalam firmanNya di dalam Kita Suci Al-Qur'an.
Puasa merupakan ibadah wajib yang ada dalam rukun islam dengan menahan lapar dan haus serta hal-hal lain yang dapat membatalkan puasa mulai dari terbit fajar di timur hingga terbenam matahari di barat. Orang yang melanggar aturan puasa akan batal puasanya dan wajib mengganti puasanya dengan hari lain di luar romadon.
-----
Firman Allah Mengenai Puasa Ramadhan :
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa"
(Q.S. Al-Baqarah: 183)
"(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui."
(Q.S. Al-Baqarah: 184).
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang didalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian. Dan hendaklah kalian mencukupkan bilangannya dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian, supaya kalian bersyukur.”
(Q.S. Al-Baqarah: 185)
-----
Fungsi / tujuan puasa selama satu bulan penuh di bulan suci ramadhan adalah sangat baik, yaitu untuk meningkatkan ketaqwaan kita kepada Tuhan yang menciptakan kita Allah SWT. Di samping itu juga terdapat banyak sekali guna dan manfaat dari melaksanakan puasa ramadhan yaitu baik untuk jasmani maupun rohani.
Berikut ini adalah beberapa Manfaat dan Hikmah Puasa Ramadhan :
1. Membuat kita lebih taqwa kepada Allah SWT.
2. Mendapatkan pahala yang melimpah ruah.
3. Memberikan efek yang menyehatkan tubuh kita dan dapat menyembuhkan berbagai penyakit.
4. Melatih kita untuk menahan nafsu bejat selama hidup di dunia fana.
5. Mendorong kita untuk selalu berbuat kebajikan.
6. Bisa memasukkan kita ke dalam surga jika kita telah mati.
7. Melatih sabar, pengendalian diri, disiplin, jujur, emosi, dll.
8. Mempersempit jalan aliran darah di mana setan berlalu-lalang.
9. Mempererat tali silaturahmi dengan sahur dan buka puasa bersama.
10. Menghilangkan dosa di antara manusia dengan saling maaf-memaafkan di hari lebaran idul fitri kembali ke fitrah manusia.
Berikut ini adalah beberapa Keutamaan Puasa Ramadhan :
1. Orang yang berpuasa ramadhan bisa masuk ke dalam surga ar-raiyan.
2. Puasa bisa menjadi penebus dosa.
3. Orang yang berpuasa akan mendapatkan kegembiraan.
4. Puasa adalah penangkal.
5. Mendapatkan ganjaran dari Allah tanpa hitungan.
6. Bau mulut orang yang melakukan puasa bagi Allah SWT wanginya lebih wangi dari bau kesturi.
7. Puasa dan Al-quran memberikan syafaat.
Puasa hanya wajib bagi orang islam yang beriman kepada Allah SWT. Jika anda tidak beriman, maka anda tidak wajib puasa. Selamat menunaikan ibadah Puasa bagi yang menjalankannya. Semoga pol puasanya dan jangan lupa niat puasa sebelum menjalankan ibadah puasanya :)

Sabtu, 14 Mei 2011

tasawuf is???

Islam merupakan agama yang menghendaki kebersihan lahiriah sekaligus batiniah. Hal ini tampak misalnya melalui keterkaitan erat antara niat (aspek esoterik) dengan beragam praktek peribadatan seperti wudhu, shalat dan ritual lainnya (aspek eksoterik). Tasawuf merupakan salah satu bidang kajian studi Islam yang memusatkan perhatiannya pada upaya pembersihan aspek batiniah manusia yang dapat menghidupkan kegairahan akhlak yang mulia. Jadi sebagai ilmu sejak awal tasawuf memang tidak bisa dilepaskan dari tazkiyah al-nafs (penjernihan jiwa). Upaya inilah yang kemudian diteorisasikan dalam tahapan-tahapan pengendalian diri dan disiplin-disiplin tertentu dari satu tahap ke tahap berikutnya sehingga sampai pada suatu tingkatan (maqam) spiritualitas yang diistilahkan oleh kalangan sufi sebagai syuhud (persaksian), wajd (perjumpaan), atau fana’ (peniadaan diri). Dengan hati yang jernih, menurut perspektif sufistik seseorang dipercaya akan dapat mengikhlaskan amal peribadatannya dan memelihara perilaku hidupnya karena mampu merasakan kedekatan dengan Allah yang senantiasa mengawasi setiap langkah perbuatannya. Jadi pada intinya, pengertian tasawuf merujuk pada dua hal: (1) penyucian jiwa (tazkiyatun-nafs) dan (2) pendekatan diri (muraqabah) kepada Allah.

Secara harfiah terdapat beberapa penafsiran tentang arti istilah sufi. Di antara penafsiran itu antara lain menyebutkan bahwa kata sufi bermula dari kata safa (suci hati dan perbuatan), saff (barisan terdepan di hadapan Tuhan), suffah (menyamai sifat para sahabat yang menghuni serambi masjid nabawi di masa kenabian), saufanah (sejenis buah/buahan yang tumbuh di padang pasir), safwah (yang terpilih atau terbaik), dan bani sufah (kabilah badui yang tinggal dekat Ka’bah di masa jahiliyah). Menurut Imam Qushaeri, keenam pendapat tersebut di atas jauh dari analogi bahasa kata sufi. Sedangkan yang lebih sesuai adalah berasal dari kata suf (bulu domba). Hal ini dinisbahkan kepada kebiasaan para sufi klasik yang memakai pakaian dari bulu domba kasar sebagai simbol kerendahan hati. Dalam kaidah ilmu sharaf, tasawwafa berarti memakai baju wol, sejajar dengan taqammasa yang berarti memakai kemeja.

Tasawuf secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha untuk menyucikan jiwa sesuci mungkin dalam usaha mendekatkan diri kepada Tuhan sehingga kehadiran-Nya senantiasa dirasakan secara sadar dalam kehidupan. Ibn al-Khaldun pernah menyatakan bahwa tasawuf para sahabat bukanlah pola ketasawufan yang menghendaki kasyf al-hijab (penyingkapan tabir antara Tuhan dengan makhluk) atau hal-hal sejenisnya yang diburu oleh para sufi di masa belakangan. Corak sufisme yang mereka tunjukkan adalah ittiba’ dan iqtida’ (kesetiaan meneladani) perilaku hidup Nabi. Islam sekalipun mengajarkan tentang ketakwaan, qana’ah, keutamaan akhlak dan juga keadilan, tetapi sama sekali tidak pernah mengajarkan hidup kerahiban, pertapaan atau uzlah sebagaimana akrab dalam tradisi mistisisme agama-agama lainnya. Abdul Qadir Mahmud menyatakan bahwa pola hidup sufistik yang diteladankan oleh sirah hidup Nabi dan para sahabatnya masih dalam kerangka zuhud. Kata Ahmad Sirhindi, tujuan tasawuf bukanlah untuk mendapat pengetahuan intuitif, melainkan untuk menjadi hamba Allah. Menurutnya, tidak ada tingkatan yang lebih tinggi dibanding tingkat ‘abdiyyat (kehambaan) dan tidak ada kebenaran yang lebih tinggi di luar syariat. Jadi, orientasi fundamental dalam perilaku sufistik generasi salaf adalah istiqamah menunaikan petunjuk agama dalam bingkai ittiba’, dan bukannya mencari karomah atau kelebihan-kelebihan supranatural.

Adapun tasawuf yang berkembang pada masa berikutnya sebagai suatu aliran (mazhab), maka sejauh hal itu tidak bertentangan dengan Islam dapat dikatakan positif (ijabi). Tetapi apabila telah keluar dari prinsip-prinsip keislaman maka tasawuf tersebut menjadi mazhab yang negatif (salbi). Tasawuf ijabi mempunyai dua corak: (1) tasawuf salafi, yakni yang membatasi diri pada dalil-dalil naqli atau atsar dengan menekankan pendekatan interpretasi tekstual; (2) tasawuf sunni, yakni yang sudah memasukkan penalaran-penalaran rasional ke dalam konstruk pemahaman dan pengamalannya. Perbedaan mendasar antara tasawuf salafi dengan tasawuf sunni terletak pada takwil. Salafi menolak adanya takwil, sementara sunni menerima takwil rasional sejauh masih berada dalam kerangka syari’ah. Sedangkan tasawuf salbi atau disebut juga tasawuf falsafi adalah tasawuf yang telah terpengaruh secara jauh oleh faham gnostisisme Timur maupun Barat. Terdapat beberapa pendapat tentang pengaruh luar yang membentuk tasawuf Islam, ada yang menyebutkannya dari kebiasaan rahib Kristen yang menjauhi dunia dan kehidupan materiil. Ada pula yang menyebutkannya dari pengaruh ajaran Hindu dan juga filsafat neoplatonisme. Dalam Hindu misalnya terdapat ajaran asketisme dengan meninggalkan kehidupan duniawi guna mendekatkan diri kepada Tuhan dan menggapai penyatuan antara Atman dan Brahman. Pythagoras juga mengajarkan ajakan untuk meninggalkan kehidupan materi dengan memasuki dunia kontemplasi. Demikian juga teori emanasi dari Plotinus yang dikembangkan untuk menjelaskan konsep roh yang memancar dari dzat Tuhan dan kemudian akan kembali kepada-Nya. Pada konteks ini, tujuan mistisisme baik dalam maupun di luar Islam ialah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog langsung antara roh manusia dan Tuhan, kemudian mengasingkan diri dan berkontemplasi.

Lahirnya tasawuf didorong oleh beberapa faktor: (1) reaksi atas kecenderungan hidup hedonis yang mengumbar syahwat, (2) perkembangan teologi yang cenderung mengedepankan rasio dan kering dari aspek moral-spiritual, (3) katalisator yang sejuk dari realitas umat yang secara politis maupun teologis didominasi oleh nalar kekerasan. Karena itu sebagian ulama memilih menarik diri dari pergulatan kepentingan yang mengatasnamakan agama dengan praktek-praktek yang berlumuran darah. Menurut Hamka, kehidupan sufistik sebenarnya lahir bersama dengan lahirnya Islam itu sendiri. Sebab, ia tumbuh dan berkembang dari pribadi Nabi saw. Tasawuf Islam sebagaimana terlihat melalui praktek kehidupan Nabi dan para sahabatnya itu sebenarnya sangatlah dinamis. Hanya saja sebagian ulama belakangan justru membawa praktek kehidupan sufistik ini menjauh dari kehidupan dunia dan masyarakat. Tasawuf kemudian tak jarang dijadikan sebagai pelarian dari tanggung jawab sosial dengan alasan tidak ingin terlibat dalam fitnah yang terjadi di tengah-tengah umat. Mereka yang memilih sikap uzlah ini sering mencari-cari pembenaran (apologi) atas tindakannya pada firman Allah yang antara lain berbunyi:
الله يحكم بينهم يوم القيامة فيما كنتم فيه تختلفون
Padahal dapat diketahui bersama bahwa nabi dan para sahabatnya sama sekali tidak melakukan praktek kehidupan kerahiban, pertapaan atau uzlah. Mereka tidak lari dari kehidupan aktual umat, tetapi justru terlibat aktif mereformasi kehidupan yang tengah dekaden agar menjadi lebih baik dan sesuai dengan cita-cita ideal Islam.
وعباد الرحمان الذين يمشون على الأرض هون وإذا خاطبهم الجاهلون قالوا سلاما والذين يبيتون لربهم سجدا وقياما والذين إذا أنفقوا لم يسرفوا ولم يقتروا وكان بين ذلك قواما

Sebagaimana halnya fikih dan kalam, tasawuf memang sering dipandang sebagai fenomena baru yang muncul setelah masa kenabian. Tetapi tasawuf dapat berfungsi memberi wawasan dan kesadaran spiritual atau dimensi ruhaniah dalam pemahaman dan pembahasan ilmu-ilmu keislaman. Seperti diungkap R.A. Nicholson, bahwa tanpa memahami gagasan dan bentuk-bentuk mistisisme yang dikembangkan dalam Islam, maka hal tersebut serupa dengan mereduksi keindahan Islam dan hanya menjadi kerangka formalitasnya saja. Dimensi mistis dalam tiap tradisi keagamaan cenderung mendeskripsikan langkah-langkah menuju Tuhan dengan imaji jalan (the path). Misalnya, di Kristen dikenal 3 (tiga) jalan: the via purgativa, the via contemplativa, dan the via illuminativa. Hal serupa ada pula dalam Islam, dengan mempergunakan istilah shari’a, tariqa, dan haqiqa. Praktik kesufian sebagaimana dipahami secara umum dewasa ini memang menuntut disiplin laku-laku atau amalan-amalan yang merupakan proses bagi para salik menemukan kesucian jiwanya. Salik adalah istilah yang diberikan kepada para pencari Tuhan, yaitu orang-orang yang berusaha mengadakan pendekatan (taqarrub) untuk mengenal Allah dengan sebenar-benarnya.

Jalan spiritual yang ditempuh para sufi tidaklah mudah. Dalam tradisi kesufian, tingkatan-tingkatan spiritual digambarkan dalam analogi titik pemberhentian (station atau maqam) yang antara sufi satu dengan lainnya sering terdapat perbedaan pendapat. Station ini antara lain: (1) taubat, (2) zuhud, (3) sabar, (4) tawakkal, (5) ridha, (6) mahabbah, (7) ma’rifah, (8) fana’, (9) ittihad, (10) hulul. Selain maqam, tradisi sufi mengenal apa yang disebut dengan hal (jamaknya ahwal, state). Yakni situasi kejiwaan yang diperoleh seorang sufi sebagai karunia dari Allah atas riyadhah atau disiplin spiritual yang dijalaninya. Suatu situasi kejiwaan tertentu terkadang terjadi hanya sesaat saja (lawaih), adakalanya juga relatif cukup lama (bawadih), bahkan jika hal tersebut sudah terkondisi dan menjadi kepribadian, maka hal inilah yang disebut sebagai ahwal. Beberapa ahwal yang banyak dianut oleh kalangan sufi rumusannya sebagai berikut: (1) muraqabah, (2) khauf, dan (3) raja’, (4) Syauq, (5) Uns, (6) tuma’ninah, (7) musyahadah, (8) yakin. Allah dalam surat al-Nisa ayat 77 menyatakan, “Katakanlah, kesenangan di dunia ini hanya sementara dan akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa.”

Dalam wacana kesufian, takhalli ‘an al-radzail atau membersihkan diri dari perbuatan tercela merupakan langkah awal untuk membersihkan hati seseorang. Sedangkan tahalli bi al-fadail atau menghiasi diri dengan sifat-sifat luhur adalah tangga berikutnya untuk mencapai tingkat spiritualitas yang lebih tinggi yaitu tajalli. Jadi disini, tarekat (dari kata tariq = anak jalan) digambarkan sebagai jalan yang berpangkal pada syariat (dari kata syari’ = jalan utama). Ini sebuah pengandaian olah kalangan sufi bahwa sesungguhnya sekolah tasawuf adalah cabang dari dogma agama.

Purgativa > Contemplativa > Illuminativa

Syari’ah > Thariqah > Haqiqah

Takhalli > Tahalli > Tajalli

(Tingkat Metodologis Pemahaman Keagamaan dan Pendakian Spiritual)

zuhud ke tasawuf

A. PENDAHULUAN

Tasawuf merupakan salah satu aspek (esoteris) Islam, sebagai perwujudan dari ihsan yang berarti kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung seorang hamba dengan tuhan-Nya. Esensi tasawuf sebenarnya telah ada sejak masa kehidupan rasulullah saw, namun tasawuf sebagai ilmu keislaman adalah hasil kebudayaan islam sebagaimana ilmu –ilmu keislaman lainnya seperti fiqih dan ilmu tauhid. Pada masa rasulullah belum dikenal istilah tasawuf, yang dikenal pada waktu itu hanyalah sebutan sahabat nabi.

Munculnya istilah tasawuf baru dimulai pada pertengahan abad III Hijriyyah oleh abu Hasyimal-Kufi (w. 250 H.) dengan meletakkan al-Sufi dibelakang namanya. Dalam sejarah islam sebelum timbulnya aliran tasawuf, terlebih dahulu muncul aliran zuhud. Aliran zuhud timbul pada akhir abad I dan permulaan abad II Hijriyyah.

Tulisan ini akan berusaha memberikan paparan tentang zuhud dilihat dari sisi sejarah mulai dari pertumbuhannya sampai dengan peralihannya ke tasawuf.

B. ZUHUD

Zuhud menurut para ahli sejarah tasawuf adalah fase yang mendahului tasawuf. Menurut Harun Nasution, station yang terpenting bagi seorang calon sufi ialah zuhd yaitu keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian. Sebelum menjadi sufi, seorang calon harus terlebih dahulu menjadi zahid. Sesudah menjadi zahid, barulah ia meningkat menjadi sufi. Dengan demikian tiap sufi ialah zahid, tetapi sebaliknya tidak setiap zahid merupakan sufi.

Secara etimologis, zuhud berarti raghaba ‘ansyai’in wa tarakahu, artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zahada fi al-dunya, berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah.

Berbicara tentang arti zuhud secara terminologis menurut Prof. Dr. Amin Syukur, tidak bisa dilepaskan dari dua hal. Pertama, zuhud sebagai bagian yang tak terpisahkan dari tasawuf. Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) Islam dan gerakan protes. Apabila tasawuf diartikan adanya kesadaran dan komunikasi langsung antara manusia dengan Tuhan sebagai perwujudan ihsan, maka zuhud merupakan suatu station (maqam) menuju tercapainya “perjumpaan” atau ma’rifat kepada-Nya. Dalam posisi ini menurut A. Mukti Ali, zuhud berarti menghindar dari berkehendak terhadap hal – hal yang bersifat duniawi atau ma siwa Allah. Berkaitan dengan ini al-Hakim Hasan menjelaskan bahwa zuhud adalah “berpaling dari dunia dan menghadapkan diri untuk beribadah melatih dan mendidik jiwa, dan memerangi kesenangannya dengan semedi (khalwat), berkelana, puasa, mengurangi makan dan memperbanyak dzikir”. Zuhud disini berupaya menjauhkan diri dari kelezatan dunia dan mengingkari kelezatan itu meskipun halal, dengan jalan berpuasa yang kadang – kadang pelaksanaannya melebihi apa yang ditentukan oleh agama. Semuanya itu dimaksudkan demi meraih keuntungan akhirat dan tercapainya tujuan tasawuf, yakni ridla, bertemu dan ma’rifat Allah swt.

Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) Islam, dan gerakan protes yaitu sikap hidup yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim dalam menatap dunia fana ini. Dunia dipandang sebagai sarana ibadah dan untuk meraih keridlaan Allah swt., bukan tujuan tujuan hidup, dan di sadari bahwa mencintai dunia akan membawa sifat – sifat mazmumah (tercela). Keadaan seperti ini telah dicontohkan oleh Nabi dan para sahabatnya.

Zuhud disini berarti tidak merasa bangga atas kemewahan dunia yang telah ada ditangan, dan tidak merasa bersedih karena hilangnya kemewahan itu dari tangannya. Bagi Abu Wafa al-Taftazani, zuhud itu bukanlah kependetaan atau terputusnya kehidupan duniawi, akan tetapi merupakan hikmah pemahaman yang membuat seseorang memiliki pandangan khusus terhadap kehidupan duniawi itu. Mereka tetap bekerja dan berusaha, akan tetapi kehidupan duniawi itu tidak menguasai kecenderungan kalbunya dan tidak membuat mereka mengingkari Tuhannya. Lebih lanjut at-Taftazani menjelaskan bahwa zuhud adalah tidak bersyaratkan kemiskinan. Bahkan terkadang seorang itu kaya, tapi disaat yang sama diapun zahid. Ustman bin Affan dan Abdurrahman ibn Auf adalah para hartawan, tapi keduanya adalah para zahid dengan harta yang mereka miliki.

Zuhud menurut Nabi serta para sahabatnya, tidak berarti berpaling secara penuh dari hal-hal duniawi. Tetapi berarti sikap moderat atau jalan tengah dalam menghadapi segala sesuatu, sebagaimana diisyaratkan firman – firman Allah yang berikut : ”Dan begitulah Kami jadikan kamu (umat Islam) umat yang adil serta pilihan. “Dan carilah apa yang dianugerahkan Allah kepadamu dari (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi. Sementara dalam hadits disabdakan : “Bekerjalah untuk duniamu seakan kamu akan hidup selamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan kamu akan mati esok hari”

C. FAKTOR – FAKTOR ZUHUD

Zuhud merupakan salah satu maqam yang sangat penting dalamtasawuf. Hal ini dapat dilihat dari pendapat ulama tasawuf yang senantiasa mencantumkan zuhud dalam pembahasan tentang maqamat,meskipun dengan sistematika yang berbeda – beda. Al-Ghazali menempatkan zuhud dalam sistematika : al-taubah, al-sabr, al-faqr, al-zuhud, al-tawakkul, al-mahabbah, al-ma’rifah dan al-ridla. Al-Tusi menempatkan zuhud dalamsistematika : al-taubah,al-wara’,al-zuhd, al-faqr,al-shabr,al-ridla,al-tawakkul, dan al-ma’rifah. Sedangkan al-Qusyairi menempatkan zuhud dalam urutan maqam : al-taubah,al-wara’,al-zuhud, al-tawakkul dan al-ridla.

Jalan yang harus dilalui seorang sufi tidaklah licin dan dapat ditempuh dengan mudah. Jalan itu sulit,dan untuk pindah dari maqam satu ke maqam yang lain menghendaki usaha yang berat dan waktu yang bukan singkat, kadang – kadang seorang calon sufi harus bertahun – tahun tinggal dalam satu maqam.

Para peneliti baik dari kalangan orientalis maupun Islam sendiri saling berbeda pendapat tentang faktor yang mempengaruhi zuhud. Nicholson dan Ignaz Goldziher menganggap zuhud muncul dikarenakan dua faktor utama,yaitu : Islam itu sendiri dan kependetaan Nasrani, sekalipun keduanya berbeda pendapat tentang sejauhmana dampak faktor yang terakhir.

Harun Nasution mencatat ada lima pendapat tentang asal – usul zuhud. Pertama, dipengaruhi oleh cara hidup rahib-rahib Kristen. Kedua, dipengaruhi oleh Phytagoras yang megharuskan meninggalkan kehidupan materi dalamrangka membersihkan roh. Ajaran meninggalkan dunia dan berkontemplasi inilah yang mempengaruhi timbulnya zuhud dan sufisme dalam Islam. Ketiga, dipengaruhi oleh ajaran Plotinus yang menyatakan bahwadalam rangka penyucian roh yangtelah kotor,sehingga bisa menyatu dengan Tuhan harus meninggalkan dunia. Keempat, pengaruh Budha dengan faham nirwananya bahwa untukmencapainya orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi. Kelima, pengaruh ajaran Hindu yang juga mendorong manusia meninggalkan dunia dan mendekatkandiri kepada Tuhan untuk mencapai persatuan Atman dengan Brahman

Sementara itu Abu al’ala Afifi mencatat empat pendapat parapeneliti tentang faktor atau asal –usul zuhud. Pertama, berasal dari atau dipengaruhi oleh India dan Persia. Kedua, berasal dari atau dipengaruhi oleh askestisme Nasrani. Ketiga, berasal atau dipengaruhi oleh berbagai sumber yang berbeda- beda kemudian menjelma menjadi satu ajaran. Keempat, berasal dari ajaran Islam. Untukfaktor yang keempat tersebut Afifi memerinci lebih jauh menjadi tiga : Pertama, faktor ajaran Islam sebagaimana terkandung dalam kedua sumbernya, al-Qur’an dan al-Sunnah. Kedua sumber ini mendorong untukhidup wara’, taqwa dan zuhud.

Kedua, reaksi rohaniah kaum muslimin terhadap sistemsosial politik dan ekonomi di kalangan Islam sendiri,yaitu ketika Islam telah tersebar keberbagai negara yangsudah barang tentu membawa konskuensi – konskuensi tertentu,seperti terbukanya kemungkinan diperolehnya kemakmuran di satu pihak dan terjadinya pertikaian politik interen umat Islam yang menyebabkan perang saudara antara Ali ibn Abi Thalib dengan Mu’awiyah,yang bermula dari al-fitnah al-kubraI yang menimpa khalifahketiga, UstmanibnAffan (35 H/655 M). Dengan adanya fenomena sosial politik seperti itu ada sebagian masyarakat dan ulamanya tidak inginterlibat dalamkemewahan dunia dan mempunyai sikap tidak mau tahu terhadap pergolakan yang ada,mereka mengasingkan diri agar tidak terlibat dalam pertikaian tersebut.

Ketiga, reaksi terhadap fiqih dan ilmukalam, sebab keduanya tidak bisa memuaskan dalam pengamalan agama Islam. Menurut at-Taftazani, pendapat Afifi yang terakhir ini perlu ditelitilebih jauh, zuhud bisa dikatakan bukan reaksi terhadap fiqih dan ilmu kalam, karena timbulnya gerakan keilmuan dalamIslam, seperti ilmu fiqih dan ilmukalam dan sebaginya muncul setelah praktek zuhud maupun gerakan zuhud. Pembahasan ilmu kalam secara sistematis timbul setelah lahirnya mu’tazilah kalamiyyah pada permulaan abad II Hijriyyah, lebih akhir lagi ilmu fiqih,yakni setelah tampilnya imam-imam madzhab, sementara zuhud dan gerakannya telah lama tersebar luas didunia Islam.

Menurut hemat penulis,zuhud itu meskipun ada kesamaan antara praktek zuhud dengan berbagai ajaran filsafat dan agama sebelum Islam, namun ada atau tidaknya ajaran filsafat maupun agama itu, zuhud tetap ada dalam Islam. Banyak dijumpai ayat al-Qur’an maupun hadits yang bernada merendahkan nilai dunia, sebaliknya banyak dijumpai nash agama yangmemberi motivasi beramal demi memperoleh pahala akhirat dan terselamatkan dari siksa api neraka (QS.Al-hadid :19),(QS.Adl-Dluha : 4),(QS. Al-Nazi’aat : 37 – 40).

D. PERALIHAN DARI ZUHUD KE TASAWUF

Benih – benih tasawuf sudah ada sejak dalam kehidupan Nabi SAW. Hal ini dapat dilihat dalam perilaku dan peristiwa dalam hidup, ibadah dan pribadi Nabi Muhammad SAW. Sebelum diangkat menjadi Rasul, berhari –hari ia berkhalwat di gua Hira terutama pada bulan Ramadhan. Disana Nabi banyak berdzikir bertafakur dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Pengasingan diri Nabi di gua Hira ini merupakan acuan utama para sufi dalam melakukan khalwat. Sumber lain yang diacu oleh para sufi adalahkehidupan para sahabat Nabi yang berkaitan dengan keteduhan iman, ketaqwaan, kezuhudan dan budi pekerti luhur. Oleh sebab itu setiap orang yang meneliti kehidupan kerohanian dalam Islam tidak dapat mengabaikan kehidupan kerohanian para sahabat yang menumbuhkan kehidupan sufi di abad – abad sesudahnya.

Setelah periode sahabat berlalu, muncul pula periode tabiin (sekitar abad ke I dan ke II H). Pada masa itu kondisi sosial-politik sudah mulai berubah darimasa sebelumnya. Konflik –konflik sosial politik yang bermula dari masa Usman bin Affan berkepanjangan sampai masa – masa sesudahnya.Konflik politik tersebut ternyata mempunyai dampak terhadap kehidupan beragama, yakni munculnya kelompok kelompok Bani Umayyah,Syiah, Khawarij, dan Murjiah.

Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, kehidupan politik berubah total. Dengan sistem pemerintahan monarki, khalifah – khalifah BaniUmayyah secara bebas berbuat kezaliman – kezaliman, terutama terhadap kelompok Syiah, yakni kelompok lawan politiknya yang paling gencar menentangnya.Puncak kekejaman mereka terlihat jelas pada peristiwa terbunuhnya Husein bin Alibin Abi Thalib di Karbala. Kasus pembunuhan itu ternyata mempunyai pengaruh yang besar dalam masyarakat Islam ketika itu. Kekejaman Bani Umayyah yang tak henti – hentinya itu membuat sekelompok penduduk Kufah merasa menyesal karena mereka telah mengkhianati Husein dan memberikan dukungan kepada pihak yang melawan Husein. Mereka menyebut kelompoknya itu dengan Tawwabun (kaum Tawabin). Untuk membersihkan diri dari apa yang telah dilakukan, mereka mengisi kehidupan sepenuhnya dengan beribadah. Gerakan kaumTawabin itu dipimpin oleh Mukhtar bin Ubaid as-Saqafi yang terbunuh di Kufah pada tahun 68 H.

Disamping gejolak politik yang berkepanjangan, perubahan kondisi sosialpun terjadi.halini mempunyai pengaruh yang besar dalampertumbuhan kehidupan beragama masyarakat Islam. Pada masa Rasulullah SAW dan para sahabat,secara umum kaum muslimin hidup dalam keadaan sederhana.KetikaBaniUmayyah memegang tampuk kekuasaan,hidup mewah mulai meracuni masyarakat, terutama terjadi di kalanganistana.Mu’awiyah bin Abi Sufyan sebagai khalifah tampak semakin jauh dari tradisi kehidupan Nabi SAW serta sahabat utama dan semakin dekat dengan tradisi kehidupan raja – raja Romawi. Kemudian anaknya,Yazid (memerintah 61 H/680 M – 64 H/683M), dikenalsebagai seorang pemabuk. Dalam sejarah, Yazid dikenal sebagai seorang pemabuk. Dalam situasi demikian kaummuslimin yang saleh merasa berkewajiban menyerukan kepada masyarakat untuk hidup zuhud, sederhana, saleh,dan tidak tenggelam dalam buaian hawa nafsu. Diantara para penyeru tersebut ialah Abu Dzar al-Ghiffari. Dia melancarkan kritik tajam kepada Bani Umayyah yang sedang tenggelam dalam kemewahan dan menyerukan agar diterapkan keadilan sosial dalam Islam.

Dari perubahan –perubahan kondisi sosial tersebut sebagian masyarakat mulai melihat kembali pada kesederhanaan kehidupan Nabi SAW para sahabatnya. Mereka mulai merenggangkan diri dari kehidupan mewah.Sejak saat itu kehidupan zuhud menyebar luas dikalangan masyarakat. Para pelaku zuhud itu disebut zahid (jamak : zuhhad) atau karena ketekunan mereka beribadah, maka disebut abid (jamak : abidin atau ubbad) atau nasik (jamak : nussak)

Zuhud yang tersebar luas pada abad –abad pertama dan kedua Hijriyah terdiri atas berbagai aliran yaitu :

1. Aliran Madinah

Sejak masa yang dini,di Madinah telah muncul para zahid.Mereka kuat berpegang teguh kepada al-Qur’an dan al-sunnah, dan mereka menetapkan Rasulullah sebagai panutan kezuhudannya. Diantara mereka dari kalangan sahabat adalah Abu Ubaidah al-jarrah (w.18 H.), Abu Dzar al-Ghiffari (w. 22H.), Salman al-Farisi (w. 32 H.), Abdullah ibn Mas’ud (w. 33 H.), Hudzaifah ibn Yaman (w. 36 H.). Sementara itu dari kalangan tabi’in diantaranya adalah Sa’id ibn al-Musayyad (w. 91 H.) dan Salim ibn Abdullah (w. 106 H.).

Aliran Madinah ini lebih cenderung pada pemikiran angkatan pertama kaum muslimin (salaf),dan berpegang teguh pada zuhud serta kerendah hatian Nabi. Selain itu aliran ini tidak begitu terpengaruh perubahan – perubahan sosial yang berlangsung pada masa dinasti Umayyah, dan prinsip – prinsipnya tidak berubah walaupun mendapat tekanan dari Bani Umayyah.dengan begitu, zuhud aliran ini tetap bercorak murni Islam dan konsisten pada ajaran –ajaran Islam.

2. Aliran Bashrah

Louis Massignon mengemukakan dalam artikelnya, Tashawwuf, dalam Ensiklopedie de Islam ,bahwa pada abad pertama dan kedua Hijriyah terdapat dua aliran zuhud yang menonjol. Salah satunya di Bashrah dan yang lainnya di Kufah. Menurut Massignon orang – orang Arab yang tinggal di Bashrah berasal dari Banu tamim. Mereka terkenal dengan sikapnya yang kritis dan tidak percaya kecuali pada hal – hal yang riil. Merekapun terkenal menyukai hal- hal logis dalam nahwu, hal – hal nyata dalam puisi dan kritis dalam hal hadits. Mereka adalah penganut aliran ahlus sunnah, tapi cenderung padaaliran – aliran mu’tazilah dan qadariyah. Tokoh mereka dalam zuhud adalah Hasan al-Bashri, Malik ibn Dinar, Fadhl al-Raqqasyi,Rabbah ibn ‘Amru al-qisyi, Shalih al-Murni atau Abdul Wahid ibn Zaid,seorang pendiri kelompok asketis di Abadan.

Corak yang menonjol dari para zahid Bashrah ialah zuhud dan rasa takut yang berlebih –lebihan.Dalam halini Ibn Taimiyah berkata : “Para sufi pertama –tama muncul dari Bashrah.Yang pertama mendirikan khanaqah para sufi ialah sebagian teman Abdul Wahid ibn Zaid, salah seorang teman Hasan al-Bashri.para sufi di Bashrah terkenal berlebih –lebihan dalam hal zuhud, ibadah, rasa takut mereka dan lain –lainnya, lebih dari apa yang terjadi di kota – kota lain”.Menurut Ibn Taimiyyah hal ini terjadi karena adanya kompetisi antara mereka dengan para zahid Kufah.

3. Aliran Kufah

Aliran Kufah menurutLouis Massignon, berasal dariYaman.Aliran ini bercorak idealistis, menyukai hal- hal aneh dalam nahwu, hal-hal image dalam puisi,dan harfiah dalam hal hadits.Dalam aqidah mereka cenderung pada aliran Syi’ah dan Rajaiyyah.dan ini tidak aneh, sebab aliran Syi’ah pertama kali muncul di Kufah.

Para tokoh zahid Kufah pada abad pertama Hijriyah ialah ar-Rabi’ ibn Khatsim (w. 67 H.) pada masa pemerintahan Mu’awiyah, Sa’id ibn Jubair (w. 95 H.), Thawus ibn Kisan (w. 106 H.), Sufyan al-Tsauri (w. 161 H.)

4. Aliran Mesir

Pada abad – abad pertama dan kedua Hijriyah terdapat suatu aliran zuhud lain, yang dilupakan para orientalis, dan aliran ini tampaknya bercorak salafi seperti halnya aliran Madinah. Aliran tersebut adalah aliran Mesir. Sebagaimana diketahui, sejak penaklukan Islam terhadap Mesir, sejumlah para sahabat telah memasuki kawasan itu,misalnya Amru ibn al-Ash, Abdullah ibn Amru ibn al-Ash yang terkenal kezuhudannya, al-Zubair bin Awwam dan Miqdad ibn al-Aswad.

Tokoh – tokoh zahid Mesir pada abad pertama Hijriyah diantaranya adalah Salim ibn ’Atar al-Tajibi. Al-Kindi dalam karyanya, al-wulan wa al-Qydhah meriwayatkan Salim ibn ‘Atar al-Tajibi sebagai orang yang terkenal tekun beribadah dan membaca al-Qur’an serta shalat malam, sebagaimana pribadi – pribadi yang disebut dalam firmanAllah :”Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam”. (QS.al-Dzariyyat, 51:17). Dia pernah menjabat sebagai hakim diMesir,dan meninggal di Dimyath tahun 75 H. Tokoh lainnya adalah Abdurrahman ibn Hujairah (w. 83 H.) menjabat sebagai hakim agung Mesir tahun 69 H.

Sementara tokoh zahid yang paling menonjol pada abad II Hijriyyah adalah al-Laits ibn Sa’ad (w. 175 H.).Kezuhudan dan kehidupannya yang sederhana sangat terkenal. Menurut ibn Khallikan, dia seorang zahid yang hartawan dan dermawan, dll

Dari uraian tentang zuhud dengan berbagai alirannya, baik dari aliran Madinah, Bashrah, Kufah, Mesir ataupun Khurasan, baik pada abad I dan II Hijriyyah dapat disimpulkan bahwa zuhud pada masa itu mempunyai karakteristik sebagai berikut :

Pertama : Zuhud ini berdasarkan ide menjauhi hal – hal duniawi, demi meraih pahala akhirat dan memelihara diri dari adzab neraka. Ide ini berakar dari ajaran –ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah yang terkena dampak berbagai kondisi sosial politik yang berkembang dalam masyarakat Islam ketika itu.

Kedua : Bercorak praktis, dan para pendirinya tidak menaruh perhatian buat menyusun prinsip – prinsip teoritis zuhud. Zuhud ini mengarah pada tujuan moral.

Ketiga : Motivasi zuhud ini ialah rasa takut, yaitu rasa takut yang muncul dari landasan amal keagamaan secara sungguh –sungguh. Sementara pada akhir abad kedua Hijriyyah, ditangan Rabi’ah al-Adawiyyah, muncul motivasi cinta kepada Allah, yang bebas dari rasa takut terhadap adzab-Nya.

Keempat : Menjelang akhir abad II Hijriyyah, sebagian zahid khususnya di Khurasan dan pada Rabi’ah al-Adawiyyah ditandai kedalaman membuat analisa, yang bisa dipandang sebagai fase pendahuluan tasawuf atau sebagai cikal bakal para sufi abad ketiga dan keempat Hijriyyah. Al-Taftazani lebih sependapat kalau mereka dinamakan zahid, qari’ dan nasik (bukan sufi). Sedangkan Nicholson memandang bahwa zuhud ini adalah tasawuf yang paling dini. Terkadang Nicholson memberi atribut pada para zahid ini dengan gelar “para sufi angkatan pertama”.

Suatu kenyataan sejarah bahwa kelahiran tasawuf bermula dari gerakan zuhud dalam Islam.Istilah tasawuf baru muncul pada pertengahan abad III Hijriyyah oleh Abu Hasyim al-Kufy (w.250 H.) dengan meletakkan al-sufy di belakang namanya. Pada masa ini para sufi telah ramai membicarakan konsep tasawuf yang sebelumnya tidak dikenal.Jika pada akhir abad II ajaran sufi berupa kezuhudan, maka pada abad ketiga ini orang sudah ramai membicarakan tentang lenyap dalam kecintaan (fana fi mahbub), bersatu dalam kecintaan (ittihad fi mahbub), bertemu dengan Tuhan (liqa’) dan menjadi satu dengan Tuhan (‘ain al jama’). Sejak itulah muncul karya –karya tentang tasawuf oleh para sufi pada masa itu seperti al-muhasibi (w. 243 H.), al-Hakim al-Tirmidzi (w. 285 H.), dan al-Junaidi (w. 297 H.). Oleh karena itu abad II Hijriyyah dapat dikatakan sebagai abad mula tersusunnya ilmu tasawuf.

E. KESIMPULAN

· Zuhud adalah fase yang mendahului tasawuf.

· Munculnya aliran –aliran zuhud pada abad I dan II H sebagai reaksi terhadap hidup mewah khalifah dan keluarga serta pembesar – pembesar negara sebagai akibat dari kekayaan yang diperoleh setelah Islam meluas ke Syiria, Mesir, Mesopotamia dan Persia. Orang melihat perbedaan besar antara hidup sederhana dari Rasul serta para sahabat.

· Pada akhir abad ke II Hijriyyah peralihan dari zuhud ke tasawuf sudah mulai tampak. Pada masa ini juga muncul analisis –analisis singkat tentang kesufian. Meskipun demikian,menurut Nicholson,untuk membedakan antara kezuhudan dan kesufian sulit dilakukan karena umumnya para tokoh kerohanian pada masa ini adalah orang – orang zuhud. Oleh sebab itu menurut at-taftazani,mereka lebih layak dinamai zahid daripadasebagai sufi.


tentang tasawuf & manfaatnya

Dari segi bahasa terdapat sejumlah kata atau istilah yang di-hubungkan para ahli untuk menjelaskan kata tasawuf. Nasution, misalnya menyebutkan lima istilah yang ber-dengan tasawuf, yaitu al-suffah (ahl al-suffah), (orang yang nindah dengan Nabi dari Mekkah ke Madinah), saf (baris-sufi (suci), sophos (bahasa Yunani: hikmat), dan suf (kain Keseluruhan kata ini bisa-bisa saja dihubungkan dengan wuf. Kata ahl al-suffah (orang yang ikut pindah dengan Nabi Mekkah ke Madinah) misalnya menggambarkan keadaan yang rela mencurahkan jiwa raganya, harta benda dan lain-lainya hanya untuk Allah.
Mereka ini rela meninggalkan jung halamannya, rumah, kekayaan dan harta benda lainnya kah untuk hijrah bersama Nabi ke Madinah. Tanpa ada iman dan kecintaan pada Allah, tak mungkin mereka ukan hal yang demikian. Selanjutnya kata sa/juga meng-rkan orang yang selalu berada di barisan depan dalam adah kepada Allah dan melakukan amal kebajikan. Demi-pula kata sufi (suci) menggambarkan orang yang selalu ielihara dirinya dari berbuat dosa dan maksiat, dan kata suf (Kain wol) menggambarkan orang yang hidup sederhana dan mementingkan dunia. Dan kata sophos (bahasa Yunani) mbarkan keadaan jiwa yang senantiasa cenderung ke pada kebenaran.

Dari segi Linguistik (kebahasaan) ini segera dapat dipahami bahwa tasawuf adalah sikap mental yang selalu memelihara cian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan dan selalu bersikap bijaksana. Sikap jiwa yang demikian pada hakikatnya adalah akhlak yang mulia.

Adapun pengertian tasawuf dari segi istilah atau pendapat para ahli amat bergantung kepada sudut pandang yang diguna-kannya masing-masing. Selama ini ada tiga sudut pandang yang digunakan para ahli untuk mendefinisikan tasawuf, yaitu sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas, manusia sebagai makhluk yang harus berjuang, dan manusia sebagai makhluk yang1 ber-Tuhan. Jika dilihat dari sudut pandang manusia sebagai makhluk yang terbatas, maka tasawuf dapat didefinisikan seba­gai upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia, dan memusatkan perhatian hanya kepada Allah SWT.

1. Unsur Islam

Secara umum ajaran Islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah atau jasadiah, dan kehidupan yang bersifat batiniah. Pada unsur kehidupan yang bersifat batiniah itulah kemudian lahir tasawuf. Unsur kehidupan tasawuf ini mendapat perhatian yang cukup besar dari sumber ajaran Islam, al-Qur'an dan al-Sunnah serta praktek kehidupan Nabi dan para sahabatnya. Al-Qur'an antara lain berbicara tentang kemungkinan manu­sia dengan Tuhan dapat saling mencintai (mahabbah) (Lihat QS. al-Maidah, 5: 54); perintah agar manusia senantiasa bertaubah, membersihkan diri memohon ampunan kepada Allah (Lihat QS. Tahrim, 8), petunjuk bahwa manusia akan senan­tiasa bertemu dengan Tuhan di manapun mereka berada. (Lihat QS. al-Baqarah, 2:110), Tuhan dapat memberikan cahaya ke­pada orang yang dikehendakinya (Lihat QS. al-Nur, 35). Selan­jutnya al-Qur'an mengingatkan manusia agar dalam hidupnya tidak diperbudak oleh kehidupan dunia dan harta benda (Lihat QS. al-Hadid, al-Fathir, 5), dan senantiasa bersikap sabar da­lam menjalani pendekatan diri kepada Allah SWT. (Lihat QS. Ali Imran, 3).

2. Unsur Luar Islam

Dalam berbagai literatur yang ditulis para orientalis Barat sering dijumpai uraian yang menjelaskan bahwa tasawuf Islam dipengaruhi oleh adanya unsur agama masehi, unsur Yunani, unsur Hindu/Budha dan unsur Persia. Hal ini secara akademik bisa saja diterima, namun secara akidah perlu kehati-hatian. Para orientalis Barat menyimpulkan bahwa adanya unsur luar Islam masuk ke dalam tasawuf itu disebabkan karena secara historis agama-agama tersebut telah ada sebelum Islam, bahkan banyak dikenal oleh masyarakat Arab yang kemudian masuk Islam. Akan tetapi kita dapat mengatakan bahwa boleh saja orang Arab terpengaruh oleh agama-agama tersebut, namun tidak secara otomatis mempengaruhi kehidupan tasawuf, karena para penyusun ilmu tasawuf atau orang yang kelak menjadi sufi itu bukan berasal dari mereka itu.
Dengan demikian adanya unsur luar Islam yang mempengaruhi tasawuf Islam itu merupakan masalah akademik bukan masalah akidah Islamiah. Karenanya boleh diterima dengan sikap yang sangat kritis dan obyektif. Kita mengakui bahwa Islam sebagai agama universal yang dapat bersentuhan dengan berbagai lingkungan sosial. Dengan sangat selektif Islam bisa beresonansi dengan berbagai unsur ajaran sufistik yang terdapat dalam berbagai ajaran tersebut. Dalam hubungan ini maka Islam termasuk ajaran tasawufnya dapat ber­sentuhan atau memiliki kemiripan dengan ajaran tasawuf yang berasal dari luar Islam itu.


a. Unsur Masehi

Orang Arab sangat menyukai cara kependetaan, khususnya dalam hal latihan jiwa dan ibadah. Atas dasar ini tidak mengherankan jika Von Kromyer berpendapat bahwa tasawuf adalah buah dari unsur agama Nasrani yang terdapat pada zaman Jahiliyah. Hal ini diperkuat pula oleh Gold Ziher yang mengatakan bahwa sikap fakir dalam Islam adalah merupakan cabang dari agama Nasrani. Selanjutnya Noldicker mengatakan bahwa pakaian wol kasar yang kelak digunakan para sufi sebagai lambang kesederhanaan hidup adalah merupakan pakaian yang biasa dipakai oleh para pendeta. Sedangkan Nicholson mengatakan bahwa istilah-istilah tasawuf itu berasal dari agama Nasrani, dan bahkan ada yang berpendapat bahwa aliran tasawuf berasal dari agama Nasrani.

b. Unsur Yunani

Kebudayaan Yunani yaitu filsafatnya telah masuk pada dunia di mana perkembangannya dimulai pada akhir Daulah Umayyah dan puncaknya pada Daulah Abbasiyah, metode berpikir filsafat Yunani ini juga telah ikut mempengaruhi pola berpikir sebagian orang Islam yang ingin berhubungan dengan Tuhan. Kalau pada bagian uraian dimulai perkembangan tasawuf ini baru dalam taraf amaliah (akhlak) dalam pengaruh filsafat Yunani ini maka uraian-uraian tentang tasawuf itu pun telah berubah menjadi tasawuf filsafat. Hal ini dapat dilihat dari pikiran al-Farabi', al-Kindi, Ibn Sina terutama dalam uraian mereka tentang filsafat jiwa. Demikian juga pada uraian-uraian tasawuf dari Abu Yazid, al-Hallaj, Ibn Arabi, Suhrawardi dan lain-lain sebagainya.

c. Unsur Hindu/Budha

Antara tasawuf dan sistem kepercayaan agama Hindu dapat dilihat adanya hubungan seperti sikap fakir, darwisy. Al-Birawi mencatat bahwa ada persamaan antara cara ibadah dan mujahadah tasawuf dengan Hindu. Kemudian pula paham reinkamasil (perpindahan roh dari satu badan ke badan yang lain), cara kelepasan dari dunia versi Hindu/Budha dengan persatuan diri dengan jalan mengingat Allah.
Salah satu maqomat Sufiah al-Fana tampaknya ada persamaan dengan ajaran tentang Nirwana dalam agama Hindu. Goffiq Ziher mengatakan bahwa ada hubungan persamaan antara koh Sidharta Gautama dengan Ibrahim bin Adham tokoh sufi

d. Unsur Persia

Sebenarnya antara Arab dan Persia itu sudah ada hubung­an semenjak lama yaitu hubungan dalam bidang politik, pemikiran, kemasyarakatan dan sastra. Akan tetapi belum ditemukan dalil yang kuat yang menyatakan bahwa kehidupan rohanj Persia telah masuk ke tanah Arab. Yang jelas adalah kehidupan kerohanian Arab masuk ke Persia itu terjadi melalui ahli-ahli tasawuf di dunia ini. Namun barangkali ada persamaan antara istilah zuhd di Arab dengan zuhd menurut agama Manu Mazdaq dan hakikat Muhammad menyerupai paham (Tuhan kebaikan) dalam agama Zarathustra.

MAQAMAT DAN HAL

A. Maqamat

Secara harfiah maqamat berasal dari bahasa Arab yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia. Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti sebagai jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat dengan Allah. Dalam bahasa Inggris maqamat dikenal dengan istilah stages yang berarti tangga.
Tentang berapa jumlah tangga atau maqamat yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk sampai menuju Tuhan, di kalangan para sufi tidak sama pendapatnya. Muhammad al-Kalabazy dalam kitabnya al-Taarruf li Mazhab ahl al-Tasawwuf, sebagai dikutip Harun Nasution misalnya mengatakan bahwa maqamat itu jumlahnya ada sepuluh, yaitu al-taubah, al-zuhud, (al-shabr, al-faqr, al-tawadlu, al'taqwa, al-tawakkal, al'ridla, al-mahabbah dan al-ma'rifah.

1. Al-Zuhud

Secara harfiah al-zuhud berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat keduniawian. Sedangkan menurut Harun Nasution zuhud artinya keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian. Selanjutnya al-Qusyairi mengatakan bahwa di antara para ulama berbeda pendapat dalam mengartikan zuhud. Sebagian ada yang mengatakan bahwa zuhud adalah orang yang zuhud di dalam masalah yang haram, karena yang halal adalah sesuatu yang mubah dalam pandangan Allah, yaitu orang yang diberikan nikmat berupa harta yang halal, kemudian ia bersyukur dan meninggalkan dunia itu dengan kesadarannya sendiri. Sebagian ada pula yang mengatakan bahwa zuhud adalah zuhud dalam yang haram sebagai suatu kewajiban.
Zuhud termasuk salah satu ajaran agama yang sangat penting dalam rangka mengendalikan diri dari pengaruh kehidupan dunia. Orang yang zuhud lebih mengutamakan atau mengejar kebahagiaan hidup di akhirat yang kekal dan abadi, daripada mengejar kehidupan dunia yang fana dan sepintas lalu. Hal ini dapat dipahami dari isyarat ayat yang berbunyi,
“Katakanlah kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun” (QS. 4: 78).

2. Al-Taubah

Al-Taubah berasal dari bahasa Arab taba, yatubu, taubatan yang artinya kembali. Sedangkan taubat yang dimaksud oleh kalangan sufi adalah memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan disertai janji yang sungguh-sungguh tidak akan mengulangi perbuatan dosa tersebut, yang disertai dengan melakukan amal kebajikan. Harun Nasution, mengatakan taubat dimaksud sufi ialah taubat yang sebenarnya, taubat yang tidak akan membawa kepada dosa lagi. Untuk mencapai taubat yang sesungguhnya dan dirasakan diterima oleh Allah terkadang tidak dapat dicapai satu kali saja. Ada kisah yang mengatakan bahwa seorang sufi sampai tujuh puluh kali taubat, baru ia mencapai tingkat taubat yang sesungguhnya. Taubat yang sebenarnya dalam paham sufisme ialah lupa pada segala hal kecuali Tuhan. yang taubat adalah orang yang cinta pada Allah, dan orang yang demikian senantiasa mengadakan kontemplasi tentang Allah.

3. Al-Wara

Secara harfiah al-wara' artinya saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa. Kata ini selanjutnya mengandung arti menjauhi hal-hal yang tidak baik. Dan dalam pengertian sufi al-wara adalah meninggalkan segala yang di dalamnya terdapat keragu-raguan antara halal dan haram (syubhat). Sikap menjauhi diri dari yang syubhat ini sejalan dengan hadis Nabi yang berbunyi: “Barangsiapa yang dirinya terbebas dari syubhat, maka sesung­guhnya ia telah terbebas dari yang haram.” (HR. Bukhari).
Hadits tersebut menunjukkan bahwa syubhat lebih dekat pada yang haram. Kaum sufi menyadari benar bahwa setiap makanan, minuman, pakaian dan sebagainya yang haram dapat memberi pengaruh bagi orang yang memakan, meminum atau memakannya. Orang yang demikian akan keras hatinya, sulit mendapatkan hidayah dan ilham dari Tuhan. Hal ini dipahami dari hadits Nabi yang menyatakan bahwa setiap makanan yang haram yang dimakan oleh manusia akan menyebabkan noda hitam pada hati yang lama-kelamaan hati menjadi keras. ini sangat ditakuti oleh para sufi yang senantiasa mengharapka Nur Ilahi yang dipancarkan lewat hatinya yang bersih.

B. HAL

Menurut Harun Nasution, hal merupakan keadaan mental, seperti perasaan senang, perasaan sedih, perasaan takut dan sebagainya. Hal yang biasa disebut sebagai hal adalah takut (al-Khauf), rendah hati (al-tawadlu), patuh (al-Taqwa), ikhlas (al-Ikhlas), rasa berteman (al-uns), gembira hati (al-Wajd), berterima kasih (al-Syukr).
Hal berlainan dengan maqam, bukan diperoleh atas usaha manusia, tetapi diperdapat sebagai anugerah dan rahmat dari Tuhan. Dan berlainan pula dengan maqam, hal bersifat sementara, datang dan pergi, datang dan pergi bagi seorang sufi dalam perjalanannya mendekati Tuhan.
Selain melaksanakan berbagai kegiatan dan usaha sebagai­mana disebutkan di atas, seorang sufi juga harus melakukan serangkaian kegiatan mental yang berat. Kegiatan mental tersebut seperti riyadah, mujahadah, khalwat, uzlah, muraqabah, suluk dan sebagainya. Riyadah berarti latihan mental dengan melaksanakan zikir dan tafakkur yang sebanyak-banyaknya serta melatih diri dengan berbagai sifat yang terdapat dalam maqam. Selanjutnya mujahadah berarti berusaha sungguh-sungguh dalam melaksanakan perintah Allah. Selanjutnya khalwat berarti menyepi atau bersemedi, dan uzlah berarti mengasingkan diri dari pengaruh keduniaan. Dan muraqabah berarti mendekatkan diri kepada Allah; dan suluk berarti menjalankan cara hidup sebagai sufi dengan zikir dan zikir.

MAHABBAH

A. Pengertian Tujuan Dan Kedudukan Mahabbah

Kata mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabatan, yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan atau cinta yang mendalam. Dalam Mu'jam al-Fal-safi, Jamil Shaliba mengatakan mahabbah adalah lawan dari al-baghd, yakni cinta lawan dari benci. Al-Mahabbah dapat pula berarti al-wadud, yakni yang sangat kasih atau penyayang. Selain itu al-mahabbah dapat pula berarti kecenderungan pada sesuatu yang sedang berjalan, dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual, seperti cintanya seseorang yang kasmaran pada sesuatu yang dicintainya, orang tua pada anaknya, seseorang pada sahabatnya, suatu bangsa terhadap tanah airnya, atau seorang pekerja kepada pekerjaannya. Mahabbah pada tingkat selanjutnya dapat pula berarti suatu usaha sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat rohaniah tertinggi dengan tercapainya gambaran Yang Mutlak, yaitu cinta kepada Tuhan.
Kata mahabbah tersebut selanjutnya digunakan untuk menunjukkan pada suatu paham atau aliran dalam tasawuf. Dalam hubungan ini mahabbah obyeknya lebih ditujukan pada Tuhan. Dari sekian banyak arti mahabbah yang dikemukakami di atas, tampaknya ada juga yang cocok dengan arti mahabbah yang dikehendaki dalam tasawuf, yaitu mahabbah yang artinya kecintaan yang mendalam secara ruhian pada Tuhan.
Rabi'ah al-Adawiyah adalah seorang zahid perempuari yang amat besar dari Bashrah, di Irak. la hidup antara tahun 713-801 H. Sumber lain menyebutkan bahwa ia meninggal, dunia dalam tahun 185 H./796 M. Menurut riwayatnya ia ada­lah seorang hamba yang kemudian dibebaskan. Dalam hidup selanjutnya ia banyak beribadat, bertaubat dan menjauhi hidup duniawi. la hidup dalam kesederhanaan dan menolak segala bantuan material yang diberikan orang kepadanya. Dalam berbagai doa yang dipanjatkannya ia tak mau meminta hal-hal yang bersifat materi dari Tuhan. la betul-betul hidup dalam keadaan zuhud dan hanya ingin berada dekat dengan Tuhan.

MA’RIFAH

Pengertian Tujuan Dan Kedudukan Ma'rifah

Dari segi bahasa ma'rifah berasal dari kata arafa, ya'rifu, irfan, ma'rifah yang artinya pengetahuan atau pengalaman Dan dapat pula berarti pengetahuan tentang rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang biasa didapati oleh orang-orang pada umumnya. Ma'rifah adalah pengetahuan yang obyeknya bukan pada hal-hal yang bersifat zahir, tetapi lebih mendalam terhadap batinnya dengan mengetahui rahasianya. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa akal manusia sanggup mengetahui hakikat ketuhanan, dan hakikat itu satu, dan segala yang maujud berasal dari yang satu.
Selanjutnya ma'rifah digunakan untuk menunjukan, pada salah satu tingkatan dalam tasawuf. Dalam arti sufistik ini, ma'rifah diartikan sebagai pengetahuan mengenai Tuhan: melalui hati sanubari. Pengetahuan itu demikian lengkap dan jelas sehingga jiwanya merasa satu dengan yang diketahuinya itu, yaitu Tuhan. Selanjutnya Harun Nasution mengatakan bahwa ma'rifah menggambarkan hubungan rapat daiam bentuk gnosis, pengetahuan dengan hati sanubari.
Seterusnya al-Ghazali menjelaskan bahwa orang yang mempunyai ma'rifah tentang Tuhan, yaitu arif, tidak akan mengatakan ya Allah atau ya rabb karena memanggil Tuhan dengan kata-kata serupa ini menyatakan bahwa Tuhan ada di bekalang tabir. Orang yang duduk berhadapan dengan temannya tidak akan memanggil temannya itu.
Tetapi bagi al-Ghazali ma'rifah urutannya terlebih dahulu daripada mahabbah, karena mahabbah timbul dari ma'rifah. Namun mahabbah yang dimaksud al-Ghazali berlainan dengan mahabbah yang diucapkan oleh Rabi'ah al-Adawiyah, yaitu mahabbah dalam bentuk cinta seseorang kepada yang berbuat baik kepadanya, cinta yang timbul dari kasih dan rahmat Tuhan kepada manusia yang memberi manusia hidup, rezeki, kesenangan dan lain-lain. Al-Ghazali lebih lanjut mengatakan bahwa ma'rifah dan mahabbah itulah setinggi-tinggi tingkat yang dapat dicapai seorang sufi. Dan pengetahuan yang diper­oleh dari ma'rifah lebih tinggi mutunya dari pengetahuan yang diperoleh dengan akal.

AL-FANA, AL-BAQA DAN ITTIHAD

A. Pengertian tujuan dan kedudukan al-Fana, al-Baqa dan al-Ittihad

Dari segi bahasa al-fana berarti hilangnya wujud sesuatu Fana berbeda dengan al-fasad (rusak). Fana artinya tidak tampaknya sesuatu, sedangkan rusak adalah berubahnya sesuatu kepada sesuatu yang lain. Dalam hubungan ini Ibn Sina ketika membedakan antara benda-benda yang bersifat samawiyah dan benda-benda yang bersifat alam. mengatakan bahwa keberadaan benda alam itu atas dasar permulaannya, bukan atas dasar perubahan bentuk yang satu kepada bentuk yang lainnya, dan hilangnya benda alam itu dengan cara fana, bukan cara rusak. Adapun arti fana menurut kalangan sufi adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lazim digunakan pada diri. Menurut pendapat lain, fana berarti bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan. Dan dapat pula berarti hilangnya sifat-sifat yang tercela.
Dalam pada itu Mustafa Zahri mengatakan bahwa yang dimaksud fana adalah lenyapnya inderawi atau kebasyariahan, yakni sifat sebagai manusia biasa yang suka pada syahwat dan hawa nafsu. Orang yang telah diliputi hakikat ketuhanan, sehingga tiada lagi melihat daripada alam baharu, alam rupa dan alam wujud ini, maka dikatakan ia telah fana dari alam cipta atau dari alam makhluk. Selain itu fana juga dapat berarti hilangnya sifat-sifat buruk (maksiat) lahir batin.
Kalau seorang sufi telah mencapai al-fana al-nafs, yaitu kalau wujud jasmaniah tak ada lagi (dalam arti tak disadarinya lagi), maka yang akan tinggal ialah wujud rohaninya dan ketika itu ia bersatu dengan Tuhan secara rohaniah. Menurut Harun Nasution, kelihatannya persatuan dengan Tuhan ini terjadi langsung setelah tercapainya al-fana al-nafs. Tak ubahnyk dengan fana yang terjadi ketika hilangnya kejahilan, maksiat dan kelakuan buruk di atas. Dengan hancurnya hal-hal ini yang langsung tinggal (baqa) ialah pengetahuan, takwa dan kelakuan baik.

Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa yarig dituju dengan fana dan baqa ini adalah mencapai persatuan secara rohaniah dan batiniah dengan Tuhan, sehingga yang disadarinya hanya Tuhan dalam dirinya.

AL-HULUL

A. Pengertian, Tujuan Dan Kedudukan Hulul

Secara harfiah hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana. Menurut keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam al-Luma' sebagai dikutip Harun Nasution, adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan. Di dalam teks Arab pernyataan tersebut berbunyi: "Sesungguhnya Allah memilih jasad-jasad (tertentu) dan me-nempatinya dengan makna ketuhanan (setelah) menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan".
Paham bahwa Allah dapat mengambil tempat pada manusia ini, bertolak dari dasar pemikiran al-Hallaj yang mengatakan bahwa pada diri manusia terdapat dua sifat dasar yaitu lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan). Ini dapat; dilihat dari teorinya mengenai kejadian manusia dalam bukunya bernama al-thaiwasim
Sebelum Tuhan menjadikan makhluk, la hanya melihat diri-Nya sendiri. Dalam kesendian-Nya itu terjadilah dialog antara Tuhan dengan diri-Nya sendiri, yaitu dialog yang didalamnya tidak terdapat kata ataupun huruf. Yang dilihat Allah hanyalah kemuliaan dan ketinggian zat-Nya. Allah melihat kepada zat-nya dan la pun cinta pada zat-Nya sendiri, cinta yang tak dapat disifatkan, dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab dari yang banyak ini. la pun mengeluarkan dari yang tiada bentuk copy dari diri-Nya yang mempunyai sifat dan nama-Nya. Bentuk kopi ini adalah Adam. Setelah menjadikan Adam dengan cara itu, la memuliakan dan mengagungkan Adam, la cinta pada Adam, dan pada diri Adam Allah muncul dalam bentuknya. Dengan demikian pada diri Adam terdapat sifat-sifat yang dipancarkan Tuhan yang berasal dari Tuhan sendiri

B. Tokoh yang Mengembangkan Paham al-Hulul

Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa tokoh yang mengembangkan paham al-Hulul adalah al-Hallaj. Nama lengkapnya adalah Husein bin Mansur al-Hallaj. la lahir tahun 244 H. (858 M.) di Negeri Baidha, salah satu kota kecil yang terletak di Persia. Dia tinggal sampai dewasa di Wasith, dekat Baghdad, dan dalam usia 16 tahun dia telah pergi belajar pada seorang Sufi yang terbesar dan terkenal, bernama Sahl bin Abdullah al-Tustur di Negeri Ahwaz. Selanjutnya ia berangkat ke Bashrah dan belajar pada seorang sufi bernama Amr al-Makki, dan pada tahun 264 H. ia masuk kota Baghdad dan belajar pada. al-Junaid yang juga seorang sufi. Selain itu ia pernah juga menunaikan ibadah haji di Mekkah selama tiga kali. Dengan riwayat hidup yang singkat ini jelas bahwa ia memiliki dasair pengetahuan tentang tasawuf yang cukup kuat dan mendalam.
Dalam perjalanan hidup selanjutnya ia pernah keluar ma­suk penjara akibat konflik dengan ulama fikih. Pandangan-pandangan tasawuf yang agak ganjil sebagaimana akan dikemukakan di bawah ini menyebabkan seorang ulama fiqh bernama Ibn Daud al-Isfahani mengeluarkan fatwa untuk membantah dan memberantas pahamnya. Al-lsfahani dikenal sebagai ulama fikih penganut mazhab Zahiri, suatu mazhab yang hanya mementingkan zahir Nas ayat belaka. Fatwa yang menyesatkan yang dikeluarkan oleh Ibn Daud itu sangat besar pengaruhnya terhadap diri al-Hallaj, sehingga al-Hallaj ditangkap dan dipenjarakan. Tetapi setelah satu tahun dalam penjara, dia dapat meloloskan diri berkat bantuan seorang sifir penjara.

WAHDAT AL-WUJUD

A. Pengertian dan Tujuan Wahdat al-Wujud

Wahdat al-wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata, yaitu wahdat dan al-wujud. Wahdat artinya sendiri, tunggal atau kesatuan, sedangkan al-wujud artinya ada. Dengan demi­kian wahdat al-wujud berarti kesatuan wujud. Kata wahdah selanjutnya digunakan untuk arti yang bermacam-macam. Di kalangan ulama klasik ada yang mengartikan wahdah sebagai sesuatu yang zatnya tidak dapat dibagi-bagi pada bagian yang lebih kecil. Selain itu kata al-wahdah digunakan pula oleh para ahli filsafat dan sufistik sebagai suatu kesatuan antara materi dan roh, substansi (hakikat) dan forma (bentuk), antara yang tampak (lahir) dan yang batin, antara alam dan Allah, karena alam dari segi hakikatnya qadim dan berasal dari Tuhan.
Pengertian wahdatul wujud yang terakhir itulah yang se­lanjutnya digunakan para sufi, yaitu paham bahwa antara manusia dan Tuhan pada hakikatnya adalah satu kesatuan wujud. Harun Nasution lebih lanjut menjelaskan paham ini dengan mengatakan, bahwa dalam paham wahdat al-wujud, nast yang ada dalam hulul diubah menjadi khalq (makhluk) dan lahut menjadi haqq (Tuhan). Khalq dan haqq adalah dua bagian sesuatu. Aspek yang sebelah luar disebut Khalq dan yang sebelah dalam disebut Haqq. Kata-kata khalq dan haqq inj; merupakan padanan kata al-'Arad (accident) dan al-Jauhar (substance) dan al-Zahir (lahir-luar-tampak), dan al-bathin (da­lam, tidak tampak).

Menurut paham ini tiap-tiap yang ada mempunyai dua aspek, yaitu aspek luar yang disebut al-Khalq (makhluk) Al'arad (accident-kenyataan luar), zahir (luar-tampak), dan aspek dalam yang disebut al-haqq (Tuhan), al-jauhar (substance-hakikat), dan al-bathin (dalam).

Selanjutnya paham ini juga mengambil pendirian bahwa dari kedua aspek tersebut yang sebenarnya ada dan yang terpenting adalah aspek batin atau al-haqq yang merupakan hakikat, essensi atau substansi. Sedangkan aspek al-khalq, luar dan yang tampak merupakan bayangan yang ada karena adanya aspek yang pertama (al'haqq).
Paham ini selanjutnya membawa kepada timbulnya paham bahwa antara makhluk (manusia) dan al-haqq (Tuhan) sebenarya satu kesatuan dari wujud Tuhan, dan yang sebenarnya ada adalah wujud Tuhan itu, sedangkan wujud makhluk hanya bayang atau foto copy dari wujud Tuhan. Paham ini dibangun dari suatu dasar pemikiran bahwa Allah sebagai diterangkan dalam al-hulul, ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya, dan oleh karena itu dijadikan-Nya alam ini. Dengan demikian alam ini merupakan cermin bagi Allah. Pada saat la ingin meli­hat diri-Nya, ia cukup dengan melihat alam ini. Pada benda-benda yang ada di alam ini Tuhan dapat melihat diri-Nya, karena pada benda-benda alam ini terdapat sifat-sifat Tuhan, dan dari sinilah timbul paham kesatuan. Paham ini juga menga­takan bahwa yang ada di alam ini kelihatannya banyak tetapi sebenarnya satu. Hal ini tak ubahnya seperti orang yang melihat dirinya dalam beberapa cermin yang diletakkan di sekelilingnya. Di dalam tiap cermin ia lihat dirinya kelihatan banyak, tetapi sebenarnya dirinya hanya satu. Dalam Fushush al'Hikam seba­gai dijelaskan oleh al-Qashimi dan dikutip Harun Nasution, fama wahdatul wujud ini antara lain terlihat dalam ungkapan: “Wajah sebenarnya satu, tetapi jika engkau perbanyak cermin ia menjadi banyak”

B. Tokoh yang Membawa Paham Wahdatul Wujud

Paham Wahdatul Wujud dibawa oleh Muhyiddin Ibn Arabi yang lahir di Murcia, Spanyol di tahun 1165. Setelah selesai studi di Seville, ia pindah ke Tunis di tahun 1145, dan di sana ia masuk aliran sufi. Di tahun 1202 M. ia pergi ke Mekkah dan meninggal di Damaskus di tahun 1240 M.
Selain sebagai sufi, Ibn Arabi juga dikenal sebagai penulis yang produktif. Jumlah buku yang dikarangnya menurut perhitungan mencapai lebih dari 200, di antaranya ada yang hanya 10 halaman, tetapi ada pula yang merupakan ensiklopedia tentang sufisme seperti kitab Futuhah al'Makkah. Disamping buku ini, bukunya yang termasyhur ialah Fusus al-Hikam yang juga berisi tentang tasawuf.
Menurut Hamka, Ibn Arabi dapat disebut sebagai orang yang telah sampai pada puncak wahdatul wujud. Dia telah menegakkan pahamnya dengan berdasarkan renungan pikir dan filsafat dan zauq tasawuf. la menyajikan ajaran tasawufnya dengan bahasa yang agak berbelit-belit dengan tujuan untuk menghindari tuduhan, fitnah dan ancaman kaum awam sebagaimana dialami al-Hallaj.

INSAN KAMIL

Pengertian Insan Kamil

Insan kamil berasal dari bahasa Arab, yaitu dari dua kata: Insan dan kamil. Secara harfiah, Insan berarti manusia, dan kamil berarti yang sempurna. Dengan demikian, insan kamil berarti manusia yang sempurna.
Selanjutnya Jamil Shaliba mengatakan bahwa kata insan menunjukkan pada sesuatu yang secara khusus digunakan untuk arti manusia dari segi sifatnya, bukan fisiknya. Dalam bahasa Arab kata insan mengacu kepada sifat manusia yang terpuji seperti kasih sayang, mulia dan lainnya. Selanjutnya kata insan digunakan oleh para filosof klasik sebagai kata yang menunjuk­kan pada arti manusia secara totalitas yang secara langsung mengarah pada hakikat manusia. Kata insan juga digunakan untuk menunjukkan pada arti terkumpulnya seluruh potensi intelektual, rohani dan fisik yang ada pada manusia, seperti hidup, sifat kehewanan, berkata-kata dan lainnya.
Adapun kata kamil dapat pula berarti suatu keadaan yang sempurna, dan digunakan untuk menunjukkan pada sempurnanya zat dan sifat, dan hal itu terjadi melalui terkumpulnya sejumlah potensi dan kelengkapan seperti ilmu, dan sekalian sifat yang baik lainnya.
Selanjutnya kata insan dijumpai di dalam al-Qur'an dan dibedakan dengan istilah basyar dan al-nas. Kata insan jamak-nya kata al-nas. Kata insan mempunyai tiga asal kata. Pertama, berasal dari kata anasa yang mempunyai arti melihat, mengeta-hui dan minta izin. Yang kedua berasal dari kata nasiya yang artinya lupa. Yang ketiga berasal dari kata al-uns yang artinya jinak, lawan dari kata buas. Dengan bertumpu pada asal kata anasa, maka insan mengandung arti melihat, mengetahui dan meminta izin, dan semua arti ini berkaitan dengan kemampuan manusia dalam bidang penalaran, sehingga dapat menerima pengajaran.
Selanjutnya dengan bertumpu pada akar kata nasiya, insan mengandung arti lupa, dan menunjukkan adanya kaitan dengan kesadaran diri. Manusia lupa terhadap sesuatu karena ia kehilangan kesadaran terhadap hal tersebut. Orang yang lupa dalam agama dapat dimaafkan, karena hal yang demikian termasuk sifat insaniyah.
Dengan demikian, insan kamil lebih ditujukan kepada manusia yang sempurna dari segi pengembangan potensi intelektual, rohaniah, intuisi, kata hati, akal sehat, fitrah dan lainnya yang bersifat batin lainnya, dan bukan pada manusia dari dimensi basyariahnya. Pembinaan kesempurnaan basyariah bukan menjadi bidang garapan tasawuf, tetapi menjadi garapan fikih. Dengan perpaduan fikih dan tasawuf inilah insan kamil akan lebih terbina lagi. Namun insan kamil lebih ditekankan pada manusia yang sempurna dari segi insaniyahnya, atau segi potensi intelektual, rohaniah dan lainnya itu.
Insan Kamil juga berarti manusia yang sehat dan terbina potensi rohaniahnya sehingga dapat berfungsi secara optimal dan dapat berhubungan dengan Allah dan dengan makhluk la­innya secara benar menurut akhlak Islami. Manusia yang selamat rohaniah itulah yang diharapkan dari manusia Insan Kamil Manusia yang demikian inilah yang akan selamat hidupnya di dunia dan akhirat. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT.

1. Berfungsi Akalnya Secara Optimal

Fungsi akal secara optimal dapat dijumpai pada pendapat kaum Muktazilah. Menurutnya manusia yang akalnya berfungsi secara optimal dapat mengetahui bahwa segala perbuatan baik seperti adil, jujur, berakhlak sesuai dengan essensinya dan merasa wajib melakukan semua itu walaupun tidak diperintahkan oleh wahyu. Manusia yang berfungsi akalnya sudah merasa wajib melakukan perbuatan yang baik. Dan manusia yang demikianlah yang dapat mendekati tingkat insan kamil. De­ngan demikian insan kamil akalnya dapat mengenali perbuatan yang baik dan perbuatan buruk karena hal itu telah terkandung pada essensi perbuatan tersebut.

2. Berfungsi Intuisinya

Insan Kamil dapat juga dicirikan dengan berfungsinya intuisi yang ada dalam dirinya. Intuisi ini dalam pandangan Ibn Sina disebut jiwa manusia (rasional soul). Menurutnya jika yang berpengaruh dalam diri manusia adalah jiwa manusianya, maka orang itu hampir menyerupai malaikat dan mendekati kesempurnaan.

3. Mampu Menciptakan Budaya

Sebagai bentuk pengamalan dari berbagai potensi yang terdapat pada dirinya sebagai insan, manusia yang sempurna adalah manusia yang mampu mendayagunakan seluruh potensi rohaniahnya secara optimal. Menurut Ibn Khaldun manusia adalah makhluk berpikir. Sifat-sifat semacam ini tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Lewat kemampuan berpikirnya itu, ma­nusia tidak hanya membuat kehidupannya, tetapi juga menaruh perhatian terhadap berbagai cara guna memperoleh makna hidup. Proses-proses semacam ini melahirkan peradaban.
Tetapi dalam kaca mata Ibn Khaldun kelengkapan serta kesempurnaan manusia tidaklah lahir dengan begitu saja, melainkan melalui suatu proses tertentu. Proses tersebut dewasa ini dikenal dengan evolusi.

4. Menghiasi Diri dengan Sifat-sifat Ketuhanan

Pada uraian tentang arti insan tersebut di atas telah disebutkan bahwa manusia termasuk makhluk yang mempunyai naluri ketuhanan (fitrah). la cenderung kepada hal-hal yang berasal dari Tuhan, dan mengimaninya. Sifat-sifat tersebut menyebabkan ia menjadi wakil Tuhan di muka bumi. Manusia sebagai khalifah yang demikian itu merupakan gambaran ideal. Yaitu manusia yang berusaha menentukan nasibnya sendiri, baik sebagai kelompok masyarakat maupun sebagai individu. Yaitu manusia yang memiliki tanggung jawab yang besar, ka­rena memiliki daya kehendak yang bebas. Manusia yang ideal itulah yang disebut insan kamil, yaitu manusia yang dengan sifat-sifat ketuhanan yang ada pada dirinya dapat mengendalikan sifat-sifat rendah yang lain. Sebagai khalifah Allah di muka bumi ia melaksanakan amanat Tuhan dengan melaksanakan perintah-Nya.

5. Berakhlak Mulia

Sejalan dengan ciri keempat di atas, insan kamil juga adalah manusia yang berakhlak mulia. Hal ini sejalan dengan pendapat Ali Syari'ati yang mengatakan bahwa manusia yang sempurna memiliki tiga aspek, yakni aspek kebenaran, kebajikan dan keindahan. Dengan kata lain ia memiliki pengetahuan, etika dan seni. Semua ini dapat dicapai dengan kesadaran, kemerdekaan dan kreativitas. Manusia yang ideal (sempurna) adalah manusia yang memiliki otak yang briliyan sekaligus memiliki kelembutan hati. Insan kamil dengan kemampuan otaknya mampu menciptakan peradaban yang tinggi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, juga memiliki kedalaman perasaan terhadap segala sesuatu yang menyebabkan penderitaan, kemiskinan, kebodohan dan kelemahan.

6. Berjiwa Seimbang

Menurut Nashr, sebagai dikutip Komaruddin Hidayat, bahwa manusia modem sekarang ini tidak jauh meleset dari siratan Darwin. Bahwa hakikat manusia terletak pada aspek kedalamannya, yang bersifat permanen, immortal yang kini tengah bereksistensi sebagai bagian dari perjalanan hidupnya yang teramat panjang. Tetapi disayangkan, kebanyakan dari mereka lupa akan immortalitas dirinya yang hakiki tadi. Manusia modern mengabaikan kebutuhannya yang paling mendasar, yang bersifat ruhiyah, sehingga mereka tidak akan mendapatkan ketenteraman batin, yang berarti tidak hanya ke­seimbangan diri, terlebih lagi bila tekanannya pada kebutuhan materi kian meningkat, maka keseimbangan akan semakin rusak.
Kutipan tersebut mengisyaratkan tentang perlunya sikap seimbang dalam kehidupan, yaitu seimbang antara pemenuhan kebutuhan material dengan spiritual atau ruhiyah. Ini berarti perlunya ditanamkan jiwa sufistik yang dibarengi dengan pengamalan syariat Islam, terutama ibadah, zikir, tafakkur, muhasabbah, dan seterusnya.

Rabu, 30 Maret 2011

mensyukuri karunia ALLAH!!!!

”Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Ingatlah nikmat Allah atas kalian ketika Dia menyelamatkan kalian dari Fir’aun dan pengikut-pengikutnya, mereka menyiksa kalian dengan siksa yang pedih, mereka menyembelih anak-anak laki-laki kalian, membiarkan hidup anak-anak perempuan kalian; dan pada yang demikian itu ada cobaan yang besar dari Tuhan kalian”.
(Q.S. Ibrahim [14]: 6).


Untuk dapat bersyukur atas semua karunia Allah SWT seseorang ternyata membutuhkan pengalaman-pengalaman hidup yang privat sifatnya, baik terkait langsung ataupun tidak langsung dengan individu maupun kelompoknya (ummah, qaum, sya’b, qabîlah). Pengalaman-pengalaman dalam hidup seseorang itulah yang semestinya akan memberikan pengaruh terhadap jalan hidupnya di kemudian hari. Pengalaman-pengalaman dimaksud adalah pengalaman sosial maupun pengalaman spiritual lainnya. Penjelasan tentang hal ini dapat kita klarifikasi pada beberapa ayat dalam surat Ibrahim, diantaranya, ”Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Ingatlah nikmat Allah atas kalian ketika Dia menyelamatkan kalian dari Fir’aun dan pengikut-pengikutnya, mereka menyiksa kalian dengan siksa yang pedih, mereka menyembelih anak-anak laki-laki kalian, membiarkan hidup anak-anak perempuan kalian; dan pada yang demikian itu ada cobaan yang besar dari Tuhan kalian”. (Q.S. Ibrahim [14]: 6).

Ayat tersebut di atas berisi pengalaman sosial dan spiritual anak keturunan Israil, nama lain dari nabi Allah SWT yang shalih yaitu Nabi Ya’qub a.s. Dengan adanya pengalaman sosial dimana mereka mendapatkan siksaan dari penguasa kejam dan lalim bernama Fir’aun dan untuk selanjutnya disusul dengan pengalaman spiritual yang mencengangkan yaitu menyeberangi lautan dengan mukjizat tongkat Nabi Musa a.s. Tidak hanya sampai di situ, mereka juga melihat dengan mata kepala mereka secara langsung bagaimana Allah SWT menenggelamkan Fir’aun beserta bala tentaranya. Hal tersebut seharusnya menjadi modal dasar bagi mereka untuk bersyukur atas semua karunia Allah SWT tersebut jika mereka mampu menghadirkannya dalam ingatan mereka. Itulah yang disebut dengan kaitan yang mengaitkan hati seseorang dengan keagungan Allah SWT dimana hamba membutuhkan dan al-Khaliq memberikan. Allah SWT memandang syukur sebagai pengikat nikmat yang ada (qayd al-maujûd) agar tidak terlepas dan alat pengembali nikmat-nikmat yang telah lepas (shayd al-mafqûd). Bahkan Allah SWT berjanji secara pasti bagi setiap yang mensyukuri nikmat-Nya pasti akan ditambah lebih banyak lagi dengan kenikmatan-kenikmatan lainnya. ”Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhan kalian telah memaklumkan; “Sesungguhnya jika kalian bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepada kalian, dan jika kalian mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih“. (Q.S. Ibrahim [14]: 7).

Bagaimana seharusnya Bani Israil dan umat-umat rasul yang lainnnya mensyukuri setiap karunia Allah SWT? Di antara cara mensyukuri karunia itu adalah dengan beriman secara tulus (al-îmân al-khâlish) dan amal shalih (al-åmal al-shâlih). Demikian menurut Muhammad ibn Umar Nawawi dalam Kitâb Marâh Labîd li Kasyfi Ma’nâ al-Qur’ân al-Majîd. Menurut Ibn Abbas sebagaimana dikutip oleh Abdullah ibn Ahmad al-Nasafi dalam Kitâb Tafsîr al-Nasafî: Madârik al-Tanzîl wa Haqâ’iq al-Ta’wîl bahwa untuk mensyukuri karunia Allah SWT, Bani Israil hendaknya bersungguh-sungguh dalam menjalankan ketaatan kepada Allah (al-jidd fi al-thâ’ah). Artinya, jika anak-anak keturunan Israil tersebut bersungguh-sungguh dalam menjalankan ketaatan beribadah kepada Allah SWT maupun ketaatan dalam menjalankan setiap perintah Allah SWT lainnya melalui nabi-nabi-Nya maka Allah SWT pasti membalasnya dengan kesungguhan dalam memberikan pahala (al-jidd fi al-matsûbah).

Sayang! Sudah menjadi kebiasaan manusia untuk melupakan pengalaman-pengalaman mereka atau melupakan apa yang selama ini menjadi sumber kebahagiaan hidup mereka. Bahkan ada yang tidak dapat mensyukuri karunia itu setelah mendapatkan pengalaman-pengalaman yang seyogianya dapat membangkitkan motivasi dan menjadi spirit untuk bersyukur kepada Allah SWT. Sikap mengingkari setiap karunia Allah SWT yang demikian itu disebut dengan sikap kufr (ingkar). Dan bagi siapa saja yang kufur, Allah SWT telah memaklumatkan tentang siksa pedih yang akan Dia timpakan bagi pelaku kufur nikmat tersebut, cepat ataupun lambat, di dunia ataupun di akhirat. Siksa tersebut, menurut Ibn Abbas r.a., adalah dalam bentuk terampasnya kembali segala sumber kenikmatan (salb al-ni’am) dalam hidupnya di dunia dan siksaan serta murka Allah SWT yang berlangsung terus menerus (tawâlî al-niqam).

Jika seseorang tetap menetapkan hatinya untuk kufur kepada Allah SWT maka sesungguhnya hal itu sama sekali tidak memiliki pengaruh apa pun bagi Allah SWT. Jangan merasa bahwa semua hal baik yang kita lakukan itu akibat baiknya untuk Allah SWT. Tidak! Semua hal baik yang kita lakukan akan kembali kepada diri kita sendiri. Demikian pula sebaliknya. Dalam lintasan historis, kalangan keturunan Israil selalu memiliki asumsi bahwa ketaatan yang mereka lakukan itu akan sangat berpengaruh bagi Allah SWT dan utusan-Nya. Anggapan itu ditolak dengan tegas, bahwa bersyukur ataupun tidak itu akibatnya akan kembali kepada umatnya sendiri dan tidak ada apa-apanya bagi Allah SWT. Allah SWT tidak memerlukan syukur hamba-hamba-Nya. Coba perhatikan dengan seksama ayat berikut, ”Dan Musa berkata: “Jika kalian dan orang-orang yang ada di muka bumi semuanya mengingkari (nikmat Allah) maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. (Q.S. Ibrahim [14]: 8)

Itu adalah pengalaman Nabi Musa as. Bagaimana dengan kita umat yang hidup bahkan jauh setelah turunnya Nabi Muhammad s.a.w.? Kurang lebih sama saja! Kita dapat menjadikan pengalaman-pengalaman sosial dan spiritual kita sebagai motor penggerak rasa syukur kita kepada Allah SWT. Pengalaman dengan terjadinya gempa bumi, letusan gunung, banjir, longsor, kebakaran, kekeringan, dan lain-lainnya. Semua itu adalah pengalaman yang luar biasa. Bagaimana jika tidak mengalaminya? Setidaknya setiap orang memiliki rasa senang dan susah yang potensi membangkitkan rasa syukur. Jika tidak juga, maka kita harus memancingnya dengan jalan belajar dari orang lain. Bagaimana caranya? Nabi Muhammad s.a.w. menganjurkan kita untuk melihat orang-orang yang kurang beruntung atau ada di bawah kita agar kita dapat mensyukurinya. Atau bentuk kongkretnya disebutkan oleh ‘Â’idh al-Qarny dalam Kitab Lâ Tahzan:”Zur al-mustasyfâ kai ta’rifa ni’mat al-’âfiyah! Wa al-sijna kai ta’rifa ni’mat al-hurriyyah! Wa al-mâristân kai ta’rifa ni’mat al-’aql! Fa innaka fî ni’amin lâ tadrî bihâ” (Kunjungilah rumah sakit agar Anda dapat mengenal nikmatnya afiat; kunjungilah penjara agar Anda dapat mengenal nikmat kebebasan; dan kunjungilah rumah sakit jiwa agar Anda mengenal nikmatnya akal. Karena Anda sering berada dalam suatu kenikmatan yang tidak Anda sadari).

Untuk dapat benar-benar bersyukur, kita harus tahu benar apa sesungguhnya yang dimaksud dengan syukur itu. Tanpa itu, kita akan sering terjatuh kepada kesalahan karena kebodohan kita, merasa menjadi seorang hamba yang bersyukur namun pada kenyataannya masih jauh dari kenyataan. Berikut ini adalah definisi tentang syukur yang dikemukakan oleh seorang mufassir, Abdurrahman ibn Nashir al-Sa’dy dalam Kitâb Tafsîr Taisîr al-Karîm al-Rahmân fi Tafsîr al-Kalâm al-Mannân: ”Syukur adalah pengakuan hati terhadap semua karunia Allah, kemudian memuji Allah terhadap segala karunia tersebut, dan lalu memanfaatkan karunia-karunia tersebut dalam menggapai keridhaan Allah Ta’ala. Dan kufur nikmat adalah berlawanan dari itu semua”. Semoga kita semua mampu melihat semua karunia Allah SWT dengan mata batin yang jernih dan mampu menjadi umat Nabi Muhammad s.a.w. yang pandai dalam mensyukuri karunia Allah SWT. Âmîn ya Rabb al-’âlamîn. Wallâhu a’lam bi al-shawwâb [ ]

menyikapi kehidupan Dunia dgn Zuhud

Siapakah yang lebih baik dalam hal agama daripada orang yang memasrahkan dirinya kepada Allah dan dia adalah orang yang berbuat baik lagi pula ia sepenuh hati mengikuti agama Ibrahim yang lurus (hanif)

(Q.S. An-Nisaa [4]: 125).

Allah menjadikan hidup ini sebagai ujian. Hal ini dapat dilihat dari firman-Nya dalam surat Yunus [10] ayat 7 dan surat al-Mulk [67] ayat 2. Berdasarkan dua ayat ini, kita bisa mengetahui bahwa Allah menjadikan hidup ini sebagai ujian dengan tujuan apakah manusia dapat mengisi hidupnya dengan amalan-amalan yang baik. Manusia yang berhasil menjadi manusia yang paling baik adalah mereka paling paling taat kepada-Nya.

Hidup memang sebuah ujian, hanya orang-orang yang benar-benar teguh iman saja yang dapat melewati ujian ini dengan baik. Mereka adalah orang-orang yang tidak tertipu oleh kilauan nikmat dunia yang begitu menggoda, orang-orang yang memahami hakikat kehidupan dunia ini sesuai dengan apa yang telah Allah dan Rasul-Nya ajarkan. Mereka memndang dunia dan seisinya ini tak lebih dari sebuah permainan yang seringkali melalaikan, mereka tidak berbangga hati dan sombong dengan harta kekayaan dan anak yang di miliki. Jika dalam diri mereka telah tertanam sifat-sifat tersebut, maka mereka adalah orang-orang yang zuhud.

Zuhud merupakan sifat yang seharusnya dimiliki oleh setiap orang yang mengaku mukmin. Zuhud juga hendaknya menjadi gaya hidup umat muslim kapan dan di manapun ia berada. Zuhud bukanlah meninggalkan kenikmatan dunia, bukan berarti mengenakan pakaian yang lusuh, dan bukan berarti miskin. Zuhud juga bukan berarti hanya duduk di masjid, beribadah dan beribadah saja tanpa melakukan kegiatan-kegaitan lainnya. Zuhud adalah kemampuan kita dalam menjaga hati dari godaan serta tipu daya kemewahan dunia tanpa meninggalkannya. Dengan pengertian yang lebih luas, zuhud merupakan hikmah pemahaman yang membuat seseorang memiliki pandangan khusus terhadap kehidupan duniawi; mereka tetap bekerja dan berusaha, namun kehidupan duniawi itu tidak menguasai kecenderungan hatinya dan tidak membuatnya meninggalkan Allah sedetik-pun. Kita beramal shalih, memakmurkan bumi dan bermuamalah, namun di saat yang sama hati kita tidak tertipu. Kita meyakini sepenuhnya bahwa kehidupan akhiratlah yang menjadi tujuan utama.

Melalui sebuah hadits singkat Rasulullah SAW telah memberikan panduan bagi orang-orang yang beriman dalam menghadapi kehidupan dunia: “Jadilah kamu di dunia seperti orang asing atau musafir.’ (H.R. Bukhari). Rasul tidak hanya memberi perintah, melainkan Beliau juga mencontohkan langsung kepada umatnya bagaimana cara hidup di dunia, yakni setiap gerak langkah selalu bermuara pada harapan akan keridhaan Allah. Semua orang sepakat bahwa Beliau SAW adalah sosok yang paling rajin bekerja dan beramal shalih. Tak ada seorangpun yang mampu menandingi semangat beliau dalam menjalankan ibadah, padahal Alah sudah menjamin Beliau masuk surga. Di medan perang, beliau adalah orang yang gigih berjihad, senantiasa mendampingi pasukan, dan bahkan berada di garis depan. Tidak hanya duduk di belakang meja memberi perintah. Yang paling mengagumkan adalah kehidupan beliau yang begitu sederhana dan bersahaja.

Suatu ketika Ibnu Mas’ud r.a. melihat Rasulullah tidur di atas tikar yang lusuh sampai-sampai pola anyaman tikar membekas di pipinya. Lalu Ibnu Mas’ud menawarkan kepada beliau sebuah kasur. Apa jawaban rasul? “Untuk apa dunia itu! Hubungan saya dengan dunia seperti pengendara yang mampir sejenak di bawah pohon, lalu pergi dan meninggalkannya.” (HR Tirmidzi).

Kesederhanaan hidup Rasul ini benar-benar dicontoh oleh para sahabatnya. Abu Bakar ash-Shiddiq, Usman bin Affan dan Abdurrahman Bin Auf hanya segelintir contoh sahabat Rasul yang memiliki kekayaan melimpah, namun hanya sedikit dari kekayaan itu yang mereka nikmati sendiri. Sebagian besarnya mereka gunakan bagi kepentingan dakwah, jihad fii sabilillah dan menolong kaum muslimin. Bahkan Abu Bakar pernah memanjatkan do’a kepada Allah: “Ya Allah, jadikanlah dunia di tangan kami, bukan di hati kami.” Selain itu, sembilan dari sepuluh sahabat Nabi yang telah dijamin masuk surga adalah termasuk orang-orang yang kaya raya. Tapi di saat yang sama mereka pun zuhud, tidak membangga-banggakan harta kekayaannya. Mereka rajin bersedekah baik untuk orang-orang miskin maupun untuk kepentingan dakwah.

Teladan-teladan kehidupan sederhana dan bersahaja seperti yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat itu sudah sangat jarang kita temukan di zaman sekarang ini. Sebagian besar umat Islam kini telah terjebak dan terlena oleh manisnya tipu daya dunia, rakus terhadap kehidupan dunia bahkan terkadang rela menghalalkan segala cara untuk mendapatkan harta kekayaan yang sebenarnya hanya bersifat sementara. Hal semacam itu sama seperti apa yang dilakukan oleh orang-orang kafir sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah SWT dalam surat Muhammad ayat 12: Dan oran-orang yang kafir itu bersenang-senang(di dunia) dan mereka makan seperti binatang-binatang. Dan neraka adalah tempat tinggal mereka. (Q.S. Muhammad [47]: 12).

Orang-orang yang memiliki harta lebih, terkadang enggan untuk mengeluarkan hak-hak saudaranya yang terdapat dalam harta kekayaannya tersebut. Kalaupun bersedekah itu hanya sedikit sekali dan itu pun masih disertai dengan perkataan yang mengindikasikan ketidakikhlasan hatinya. Mereka dengan bangga mengatakan semua itu adalah hasil jerih payahnya sendiri.

Lain lagi dengan fenomena yang terjadi di kalangan remaja, gaya hidup hedonis dan glamour sudah melekat kuat dalam diri mereka. Walupun harta kekayaan yang mereka gunakan bukan dari hasil jerih payah sendiri, mereka berbangga dan sombong. Kuliah rasanya tidak keren kalau tidak menggunakan mobil mewah, pakaian dan aksesoris lain yang dikenakan pun tidak mau atau malu jika harganya murah. Kebanyakan dari remaja sekarang lebih bangga hidup dengan gaya kebarat-baratan dimana batasan halal dan haram tidak jadi acuan.

Beberapa contoh tadi setidaknya memberikan gambaran pada kita bahwa kerusakan moral umat Islam saat ini sudah mencapai tahap yang sangat memprihatinkan. Pandangan materi mendominasi pada hampir semua lapangan kehidupan. Gaya hidup kaum muslimin khususnya para remaja nyaris tak sedikitpun mencerminkan sikap Islam apalagi zuhud, bahkan sikap mereka sudah tidak ada bedanya dengan bagaimana orang-orang kafir bersikap. Apabila dikumpulkan antara remaja muslim dan non-muslim di suatu tempat akan sangat sulit bagi kita untuk membedakannya. Masyarakat kita manganggap tolok ukur kesuksesan hanya didasarkan pada sebanyak apa kekayaan yang dimiliki dan semewah apa aksesoris yang digunakan. Maka tidak heran jika masyarakat kita berlomba-lomba menjadi selebriti, menjual diri dan harga diri demi keuntungan materi semata.

Mencintai dunia dan rakus harta adalah penyakit paling berbahaya. Tidak berlebihan jika dikatakan, segala bentuk kejahatan bermuara dari kerakusan terhadap dunia dan gaya hidup materialisme. Seks bebas, penjualan bayi, narkoba, perjudian, riba, KKN, korupsi dan lainnya dan segala bentuk tindakan kriminal selalu bertalian erat dengan kerakusan terhadap harta dan materi. Rasulullah SAW mengingatkan tentang bahayanya: “Dua serigala lapar yang dikirim kepada kambing tidak begitu berbahaya dibanding kerakusan seseorang tehadap harta dan kedudukan.” (H.R. Tirmidzi).

Oleh karena itu, merupakan hal yang sangat penting bagi kita untuk sadar dan menyadarkan kembali diri sendiri beserta saudara-saudara kita tentang hakikat dunia dan akhirat. Iman terhadap hari akhir merupakan prinsip yang harus terus-menerus diingatkan dan ditanamkan dalam hati kita, sehingga motivasi dan tujuan hidup kita sesuai dengan nilai-nilai Islam dan dapat memupuk sikap zuhud kita terhadap kehidupan dunia. Sebab dari sinilah ujung pangkal segala kebaikan dan keburukan. Semakin kuat keimanan seseorang kepada hari akhir, maka semakin tenanglah ia memandang kehidupan. Sebaliknya, semakin lemah keimanan seseorang terhadap hari pembalasan, otomatis akan menjadikan ia manusia yang rakus dan mudah tertipu oleh gemerlap keindahan yang ditawarkan oleh dunia.

“ya Allah jadikanlah dunia di tangan kami bukan di hati kami”