Sekecil Apapun Kebahagiaan mari kita rayakan dengan ngopi!!!!!

Rabu, 30 Maret 2011

mensyukuri karunia ALLAH!!!!

”Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Ingatlah nikmat Allah atas kalian ketika Dia menyelamatkan kalian dari Fir’aun dan pengikut-pengikutnya, mereka menyiksa kalian dengan siksa yang pedih, mereka menyembelih anak-anak laki-laki kalian, membiarkan hidup anak-anak perempuan kalian; dan pada yang demikian itu ada cobaan yang besar dari Tuhan kalian”.
(Q.S. Ibrahim [14]: 6).


Untuk dapat bersyukur atas semua karunia Allah SWT seseorang ternyata membutuhkan pengalaman-pengalaman hidup yang privat sifatnya, baik terkait langsung ataupun tidak langsung dengan individu maupun kelompoknya (ummah, qaum, sya’b, qabîlah). Pengalaman-pengalaman dalam hidup seseorang itulah yang semestinya akan memberikan pengaruh terhadap jalan hidupnya di kemudian hari. Pengalaman-pengalaman dimaksud adalah pengalaman sosial maupun pengalaman spiritual lainnya. Penjelasan tentang hal ini dapat kita klarifikasi pada beberapa ayat dalam surat Ibrahim, diantaranya, ”Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Ingatlah nikmat Allah atas kalian ketika Dia menyelamatkan kalian dari Fir’aun dan pengikut-pengikutnya, mereka menyiksa kalian dengan siksa yang pedih, mereka menyembelih anak-anak laki-laki kalian, membiarkan hidup anak-anak perempuan kalian; dan pada yang demikian itu ada cobaan yang besar dari Tuhan kalian”. (Q.S. Ibrahim [14]: 6).

Ayat tersebut di atas berisi pengalaman sosial dan spiritual anak keturunan Israil, nama lain dari nabi Allah SWT yang shalih yaitu Nabi Ya’qub a.s. Dengan adanya pengalaman sosial dimana mereka mendapatkan siksaan dari penguasa kejam dan lalim bernama Fir’aun dan untuk selanjutnya disusul dengan pengalaman spiritual yang mencengangkan yaitu menyeberangi lautan dengan mukjizat tongkat Nabi Musa a.s. Tidak hanya sampai di situ, mereka juga melihat dengan mata kepala mereka secara langsung bagaimana Allah SWT menenggelamkan Fir’aun beserta bala tentaranya. Hal tersebut seharusnya menjadi modal dasar bagi mereka untuk bersyukur atas semua karunia Allah SWT tersebut jika mereka mampu menghadirkannya dalam ingatan mereka. Itulah yang disebut dengan kaitan yang mengaitkan hati seseorang dengan keagungan Allah SWT dimana hamba membutuhkan dan al-Khaliq memberikan. Allah SWT memandang syukur sebagai pengikat nikmat yang ada (qayd al-maujûd) agar tidak terlepas dan alat pengembali nikmat-nikmat yang telah lepas (shayd al-mafqûd). Bahkan Allah SWT berjanji secara pasti bagi setiap yang mensyukuri nikmat-Nya pasti akan ditambah lebih banyak lagi dengan kenikmatan-kenikmatan lainnya. ”Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhan kalian telah memaklumkan; “Sesungguhnya jika kalian bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepada kalian, dan jika kalian mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih“. (Q.S. Ibrahim [14]: 7).

Bagaimana seharusnya Bani Israil dan umat-umat rasul yang lainnnya mensyukuri setiap karunia Allah SWT? Di antara cara mensyukuri karunia itu adalah dengan beriman secara tulus (al-îmân al-khâlish) dan amal shalih (al-åmal al-shâlih). Demikian menurut Muhammad ibn Umar Nawawi dalam Kitâb Marâh Labîd li Kasyfi Ma’nâ al-Qur’ân al-Majîd. Menurut Ibn Abbas sebagaimana dikutip oleh Abdullah ibn Ahmad al-Nasafi dalam Kitâb Tafsîr al-Nasafî: Madârik al-Tanzîl wa Haqâ’iq al-Ta’wîl bahwa untuk mensyukuri karunia Allah SWT, Bani Israil hendaknya bersungguh-sungguh dalam menjalankan ketaatan kepada Allah (al-jidd fi al-thâ’ah). Artinya, jika anak-anak keturunan Israil tersebut bersungguh-sungguh dalam menjalankan ketaatan beribadah kepada Allah SWT maupun ketaatan dalam menjalankan setiap perintah Allah SWT lainnya melalui nabi-nabi-Nya maka Allah SWT pasti membalasnya dengan kesungguhan dalam memberikan pahala (al-jidd fi al-matsûbah).

Sayang! Sudah menjadi kebiasaan manusia untuk melupakan pengalaman-pengalaman mereka atau melupakan apa yang selama ini menjadi sumber kebahagiaan hidup mereka. Bahkan ada yang tidak dapat mensyukuri karunia itu setelah mendapatkan pengalaman-pengalaman yang seyogianya dapat membangkitkan motivasi dan menjadi spirit untuk bersyukur kepada Allah SWT. Sikap mengingkari setiap karunia Allah SWT yang demikian itu disebut dengan sikap kufr (ingkar). Dan bagi siapa saja yang kufur, Allah SWT telah memaklumatkan tentang siksa pedih yang akan Dia timpakan bagi pelaku kufur nikmat tersebut, cepat ataupun lambat, di dunia ataupun di akhirat. Siksa tersebut, menurut Ibn Abbas r.a., adalah dalam bentuk terampasnya kembali segala sumber kenikmatan (salb al-ni’am) dalam hidupnya di dunia dan siksaan serta murka Allah SWT yang berlangsung terus menerus (tawâlî al-niqam).

Jika seseorang tetap menetapkan hatinya untuk kufur kepada Allah SWT maka sesungguhnya hal itu sama sekali tidak memiliki pengaruh apa pun bagi Allah SWT. Jangan merasa bahwa semua hal baik yang kita lakukan itu akibat baiknya untuk Allah SWT. Tidak! Semua hal baik yang kita lakukan akan kembali kepada diri kita sendiri. Demikian pula sebaliknya. Dalam lintasan historis, kalangan keturunan Israil selalu memiliki asumsi bahwa ketaatan yang mereka lakukan itu akan sangat berpengaruh bagi Allah SWT dan utusan-Nya. Anggapan itu ditolak dengan tegas, bahwa bersyukur ataupun tidak itu akibatnya akan kembali kepada umatnya sendiri dan tidak ada apa-apanya bagi Allah SWT. Allah SWT tidak memerlukan syukur hamba-hamba-Nya. Coba perhatikan dengan seksama ayat berikut, ”Dan Musa berkata: “Jika kalian dan orang-orang yang ada di muka bumi semuanya mengingkari (nikmat Allah) maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. (Q.S. Ibrahim [14]: 8)

Itu adalah pengalaman Nabi Musa as. Bagaimana dengan kita umat yang hidup bahkan jauh setelah turunnya Nabi Muhammad s.a.w.? Kurang lebih sama saja! Kita dapat menjadikan pengalaman-pengalaman sosial dan spiritual kita sebagai motor penggerak rasa syukur kita kepada Allah SWT. Pengalaman dengan terjadinya gempa bumi, letusan gunung, banjir, longsor, kebakaran, kekeringan, dan lain-lainnya. Semua itu adalah pengalaman yang luar biasa. Bagaimana jika tidak mengalaminya? Setidaknya setiap orang memiliki rasa senang dan susah yang potensi membangkitkan rasa syukur. Jika tidak juga, maka kita harus memancingnya dengan jalan belajar dari orang lain. Bagaimana caranya? Nabi Muhammad s.a.w. menganjurkan kita untuk melihat orang-orang yang kurang beruntung atau ada di bawah kita agar kita dapat mensyukurinya. Atau bentuk kongkretnya disebutkan oleh ‘Â’idh al-Qarny dalam Kitab Lâ Tahzan:”Zur al-mustasyfâ kai ta’rifa ni’mat al-’âfiyah! Wa al-sijna kai ta’rifa ni’mat al-hurriyyah! Wa al-mâristân kai ta’rifa ni’mat al-’aql! Fa innaka fî ni’amin lâ tadrî bihâ” (Kunjungilah rumah sakit agar Anda dapat mengenal nikmatnya afiat; kunjungilah penjara agar Anda dapat mengenal nikmat kebebasan; dan kunjungilah rumah sakit jiwa agar Anda mengenal nikmatnya akal. Karena Anda sering berada dalam suatu kenikmatan yang tidak Anda sadari).

Untuk dapat benar-benar bersyukur, kita harus tahu benar apa sesungguhnya yang dimaksud dengan syukur itu. Tanpa itu, kita akan sering terjatuh kepada kesalahan karena kebodohan kita, merasa menjadi seorang hamba yang bersyukur namun pada kenyataannya masih jauh dari kenyataan. Berikut ini adalah definisi tentang syukur yang dikemukakan oleh seorang mufassir, Abdurrahman ibn Nashir al-Sa’dy dalam Kitâb Tafsîr Taisîr al-Karîm al-Rahmân fi Tafsîr al-Kalâm al-Mannân: ”Syukur adalah pengakuan hati terhadap semua karunia Allah, kemudian memuji Allah terhadap segala karunia tersebut, dan lalu memanfaatkan karunia-karunia tersebut dalam menggapai keridhaan Allah Ta’ala. Dan kufur nikmat adalah berlawanan dari itu semua”. Semoga kita semua mampu melihat semua karunia Allah SWT dengan mata batin yang jernih dan mampu menjadi umat Nabi Muhammad s.a.w. yang pandai dalam mensyukuri karunia Allah SWT. Âmîn ya Rabb al-’âlamîn. Wallâhu a’lam bi al-shawwâb [ ]

menyikapi kehidupan Dunia dgn Zuhud

Siapakah yang lebih baik dalam hal agama daripada orang yang memasrahkan dirinya kepada Allah dan dia adalah orang yang berbuat baik lagi pula ia sepenuh hati mengikuti agama Ibrahim yang lurus (hanif)

(Q.S. An-Nisaa [4]: 125).

Allah menjadikan hidup ini sebagai ujian. Hal ini dapat dilihat dari firman-Nya dalam surat Yunus [10] ayat 7 dan surat al-Mulk [67] ayat 2. Berdasarkan dua ayat ini, kita bisa mengetahui bahwa Allah menjadikan hidup ini sebagai ujian dengan tujuan apakah manusia dapat mengisi hidupnya dengan amalan-amalan yang baik. Manusia yang berhasil menjadi manusia yang paling baik adalah mereka paling paling taat kepada-Nya.

Hidup memang sebuah ujian, hanya orang-orang yang benar-benar teguh iman saja yang dapat melewati ujian ini dengan baik. Mereka adalah orang-orang yang tidak tertipu oleh kilauan nikmat dunia yang begitu menggoda, orang-orang yang memahami hakikat kehidupan dunia ini sesuai dengan apa yang telah Allah dan Rasul-Nya ajarkan. Mereka memndang dunia dan seisinya ini tak lebih dari sebuah permainan yang seringkali melalaikan, mereka tidak berbangga hati dan sombong dengan harta kekayaan dan anak yang di miliki. Jika dalam diri mereka telah tertanam sifat-sifat tersebut, maka mereka adalah orang-orang yang zuhud.

Zuhud merupakan sifat yang seharusnya dimiliki oleh setiap orang yang mengaku mukmin. Zuhud juga hendaknya menjadi gaya hidup umat muslim kapan dan di manapun ia berada. Zuhud bukanlah meninggalkan kenikmatan dunia, bukan berarti mengenakan pakaian yang lusuh, dan bukan berarti miskin. Zuhud juga bukan berarti hanya duduk di masjid, beribadah dan beribadah saja tanpa melakukan kegiatan-kegaitan lainnya. Zuhud adalah kemampuan kita dalam menjaga hati dari godaan serta tipu daya kemewahan dunia tanpa meninggalkannya. Dengan pengertian yang lebih luas, zuhud merupakan hikmah pemahaman yang membuat seseorang memiliki pandangan khusus terhadap kehidupan duniawi; mereka tetap bekerja dan berusaha, namun kehidupan duniawi itu tidak menguasai kecenderungan hatinya dan tidak membuatnya meninggalkan Allah sedetik-pun. Kita beramal shalih, memakmurkan bumi dan bermuamalah, namun di saat yang sama hati kita tidak tertipu. Kita meyakini sepenuhnya bahwa kehidupan akhiratlah yang menjadi tujuan utama.

Melalui sebuah hadits singkat Rasulullah SAW telah memberikan panduan bagi orang-orang yang beriman dalam menghadapi kehidupan dunia: “Jadilah kamu di dunia seperti orang asing atau musafir.’ (H.R. Bukhari). Rasul tidak hanya memberi perintah, melainkan Beliau juga mencontohkan langsung kepada umatnya bagaimana cara hidup di dunia, yakni setiap gerak langkah selalu bermuara pada harapan akan keridhaan Allah. Semua orang sepakat bahwa Beliau SAW adalah sosok yang paling rajin bekerja dan beramal shalih. Tak ada seorangpun yang mampu menandingi semangat beliau dalam menjalankan ibadah, padahal Alah sudah menjamin Beliau masuk surga. Di medan perang, beliau adalah orang yang gigih berjihad, senantiasa mendampingi pasukan, dan bahkan berada di garis depan. Tidak hanya duduk di belakang meja memberi perintah. Yang paling mengagumkan adalah kehidupan beliau yang begitu sederhana dan bersahaja.

Suatu ketika Ibnu Mas’ud r.a. melihat Rasulullah tidur di atas tikar yang lusuh sampai-sampai pola anyaman tikar membekas di pipinya. Lalu Ibnu Mas’ud menawarkan kepada beliau sebuah kasur. Apa jawaban rasul? “Untuk apa dunia itu! Hubungan saya dengan dunia seperti pengendara yang mampir sejenak di bawah pohon, lalu pergi dan meninggalkannya.” (HR Tirmidzi).

Kesederhanaan hidup Rasul ini benar-benar dicontoh oleh para sahabatnya. Abu Bakar ash-Shiddiq, Usman bin Affan dan Abdurrahman Bin Auf hanya segelintir contoh sahabat Rasul yang memiliki kekayaan melimpah, namun hanya sedikit dari kekayaan itu yang mereka nikmati sendiri. Sebagian besarnya mereka gunakan bagi kepentingan dakwah, jihad fii sabilillah dan menolong kaum muslimin. Bahkan Abu Bakar pernah memanjatkan do’a kepada Allah: “Ya Allah, jadikanlah dunia di tangan kami, bukan di hati kami.” Selain itu, sembilan dari sepuluh sahabat Nabi yang telah dijamin masuk surga adalah termasuk orang-orang yang kaya raya. Tapi di saat yang sama mereka pun zuhud, tidak membangga-banggakan harta kekayaannya. Mereka rajin bersedekah baik untuk orang-orang miskin maupun untuk kepentingan dakwah.

Teladan-teladan kehidupan sederhana dan bersahaja seperti yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat itu sudah sangat jarang kita temukan di zaman sekarang ini. Sebagian besar umat Islam kini telah terjebak dan terlena oleh manisnya tipu daya dunia, rakus terhadap kehidupan dunia bahkan terkadang rela menghalalkan segala cara untuk mendapatkan harta kekayaan yang sebenarnya hanya bersifat sementara. Hal semacam itu sama seperti apa yang dilakukan oleh orang-orang kafir sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah SWT dalam surat Muhammad ayat 12: Dan oran-orang yang kafir itu bersenang-senang(di dunia) dan mereka makan seperti binatang-binatang. Dan neraka adalah tempat tinggal mereka. (Q.S. Muhammad [47]: 12).

Orang-orang yang memiliki harta lebih, terkadang enggan untuk mengeluarkan hak-hak saudaranya yang terdapat dalam harta kekayaannya tersebut. Kalaupun bersedekah itu hanya sedikit sekali dan itu pun masih disertai dengan perkataan yang mengindikasikan ketidakikhlasan hatinya. Mereka dengan bangga mengatakan semua itu adalah hasil jerih payahnya sendiri.

Lain lagi dengan fenomena yang terjadi di kalangan remaja, gaya hidup hedonis dan glamour sudah melekat kuat dalam diri mereka. Walupun harta kekayaan yang mereka gunakan bukan dari hasil jerih payah sendiri, mereka berbangga dan sombong. Kuliah rasanya tidak keren kalau tidak menggunakan mobil mewah, pakaian dan aksesoris lain yang dikenakan pun tidak mau atau malu jika harganya murah. Kebanyakan dari remaja sekarang lebih bangga hidup dengan gaya kebarat-baratan dimana batasan halal dan haram tidak jadi acuan.

Beberapa contoh tadi setidaknya memberikan gambaran pada kita bahwa kerusakan moral umat Islam saat ini sudah mencapai tahap yang sangat memprihatinkan. Pandangan materi mendominasi pada hampir semua lapangan kehidupan. Gaya hidup kaum muslimin khususnya para remaja nyaris tak sedikitpun mencerminkan sikap Islam apalagi zuhud, bahkan sikap mereka sudah tidak ada bedanya dengan bagaimana orang-orang kafir bersikap. Apabila dikumpulkan antara remaja muslim dan non-muslim di suatu tempat akan sangat sulit bagi kita untuk membedakannya. Masyarakat kita manganggap tolok ukur kesuksesan hanya didasarkan pada sebanyak apa kekayaan yang dimiliki dan semewah apa aksesoris yang digunakan. Maka tidak heran jika masyarakat kita berlomba-lomba menjadi selebriti, menjual diri dan harga diri demi keuntungan materi semata.

Mencintai dunia dan rakus harta adalah penyakit paling berbahaya. Tidak berlebihan jika dikatakan, segala bentuk kejahatan bermuara dari kerakusan terhadap dunia dan gaya hidup materialisme. Seks bebas, penjualan bayi, narkoba, perjudian, riba, KKN, korupsi dan lainnya dan segala bentuk tindakan kriminal selalu bertalian erat dengan kerakusan terhadap harta dan materi. Rasulullah SAW mengingatkan tentang bahayanya: “Dua serigala lapar yang dikirim kepada kambing tidak begitu berbahaya dibanding kerakusan seseorang tehadap harta dan kedudukan.” (H.R. Tirmidzi).

Oleh karena itu, merupakan hal yang sangat penting bagi kita untuk sadar dan menyadarkan kembali diri sendiri beserta saudara-saudara kita tentang hakikat dunia dan akhirat. Iman terhadap hari akhir merupakan prinsip yang harus terus-menerus diingatkan dan ditanamkan dalam hati kita, sehingga motivasi dan tujuan hidup kita sesuai dengan nilai-nilai Islam dan dapat memupuk sikap zuhud kita terhadap kehidupan dunia. Sebab dari sinilah ujung pangkal segala kebaikan dan keburukan. Semakin kuat keimanan seseorang kepada hari akhir, maka semakin tenanglah ia memandang kehidupan. Sebaliknya, semakin lemah keimanan seseorang terhadap hari pembalasan, otomatis akan menjadikan ia manusia yang rakus dan mudah tertipu oleh gemerlap keindahan yang ditawarkan oleh dunia.

“ya Allah jadikanlah dunia di tangan kami bukan di hati kami”