Sekecil Apapun Kebahagiaan mari kita rayakan dengan ngopi!!!!!

Rabu, 28 Januari 2015

Api dan Cinta

Cemewweewwww........

Cinta selayaknya kekuatan, bukan kelemahan. dan cinta seharusnya tahu cara untuk bahagia. Jika kebahagiaan adalah tujuan utama, maka kita rela untuk menempuh penderitaan demi meraihnya. Namun, kebahagiaan bukanlah hasil. Ia proses menjadi. Kebahagiaan akan terus-menerus menjadi wujud baru seiring pertumbuhan spiritual manusia dalam memaknainya. Jika telah menyentuh rasa cukup, maka kebahagiaan telah mewujud kesederhanaan. Pada derajat inilah, kita bisa menikmati sikap hidup tawadlu.

Cukup tidak selalu berarti berkecukupan. Dalam kata berkecukupan terkandung arti hidup dengan kekayaan, bahkan dapat dimaknai sebagai berkelebihan. Jika ini yang dijadikan ukuran, manusia miskin harta tak dapat digolongkan di dalamnya. Padahal, hidup yang berkecukupan dan/ atau berkelebihan acapkali diselubungi oleh rasa kurang, yang menjauhkan kita dari rasa cukup. Dalam Q.S. Al Fajr: 20, Allah menyebut," dan kau mencintai harta benda dengan cinta yang berlebihan." Dan, yang berlebihan itu tidak baik.

Cinta yang selayaknya menjadi kekuatan justru kemudian cenderung melemahkan kita. Kesenangan duniawi rajin menyamar sebagai kebahagiaan dan kita teperdaya. Q.S An Nahl: 107 menegaskan, ini terjadi karena cinta kepada dunia melebihi cinta kepada akhirat. Padahal, dunia itu fana; kebahagiaan di dunia pun sesungguhnya fatamorgana. Namun, bukan berarti kita lantas menolak dunia, bahkan membenci segala hal di dalamnya. Tidak bijaksana pula jika kita bahkan menyalahkan dunia. Kitalah penentu kebahagiaan kita sendiri.

Jika memahami kebahagiaan sebagai proses menjadi, maka proses itu dimulai dari sekarang, di sini, dan oleh diri kita sendiri. Sabda Rasulullah Muhammad SAW tentang "rumahku surgaku" sangat jelas menunjukkan betapa kebahagiaan dapat diperjuangkan sejak sekarang, di lingkungan inti yang di dalamnya hidup kelompok terkecil bernama keluarga -- yang saling mencintai, melindungi dan merawat, serta mendoakan. Satu yang perlu disadari: api menyala di dalamnya. Ya, setiap keluarga selalu mematik api.

Api bisa untuk menghangatkan, namun bisa pula untuk membakar. Bisa untuk memasak, tapi bisa pula untuk merusak. Bukan salah api jika yang terjadi adalah yang tidak dikehendaki, melainkan salah kita sendiri ceroboh menyimpannya di dalam rumah. Seluruh harta benda dan jiwa raga luluh-lantak jika terbakar api. Dan, manusia dewasa paham bahwa api juga menyala di dalam diri dalam wujud amarah. Benci, dendam, dan permusuhan bisa mengobarkannya menjadi api yang lebih besar lagi yaitu angkara murka.

Kebencian menjerumuskan kita untuk berbuat tidak adil. Padahal, ketika tidak adil, ketika itulah kita baru saja merebut potensi kebahagiaan orang lain. Dalam Q.S Al Maidah: 8, Allah mengingatkan," Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorongmu berbuat tidak adil." Api yang membakar tentu saja merusak, dan siapa yang mengumbar kebencian dan menyebar permusuhan, maka ia sesungguhnya rugi besar. Apalagi jika ia membenci dan memusuhi orang-orang baik dan orang-orang yang berbuat baik.

Ya, orang baik tak selalu berbuat baik, meski bukan berarti ia berbuat buruk. Ia kadang mengalami ragu, khawatir, dan takut. Orang yang dicap sebagai orang buruk; entah tabiat entah perbuatannya; tak selamanya berbuat buruk. Toh kita sama memiliki akal budi dan nurani, dan Allah memberikan hidayah kepada siapa pun yang Dia kehendaki. Boleh jadi kita membenci sesuatu yang padahal amat baik untuk kita, pun sebaliknya, seperti disebut dalam Q.S. Al Baqarah: 216. Allah Maha Mengetahui mana yang lebih baik.

Berlomba-lomba dalam kebaikan adalah satu-satunya lomba yang Allah serukan. Ini wahana yang tepat untuk menempuh perjalanan spiritual menuju kebahagiaan. Ya, dengan membahagiakan sesama. Ya, dengan mencintai sesama sebagaimana kita mencintai diri sendiri -- sesuai sabda Rasulullah Muhammad SAW. Ya, dengan berbuat baik. Cinta, seperti api, mampu membakar dan merusak. Padahal, cinta selayaknya menuntaskan kegelapan dan menghangatkan. Adalah tugas kita untuk menjaga diri dan keluarga dari kobar api.

Entah itu api di dunia, atau pun api yang dalam Q.S. At Tahrim: 6 ditulis berbahan bakar manusia dan batu, yaitu api neraka. Sebagaimana kebahagiaan surgawi yang dapat diraih mulai dari sekarang, di sini, dan oleh diri kita sendiri, demikian pula penderitaan di akhirat kelak -- nau'dzu bi 'l-laahi min dzaalik. Betapa beruntung kita tidak memiliki lawan kata untuk surgawi. Tidak ada kata nerakawi. Ini menunjukkan betapa kita memiliki bakat berbuat baik dan memperjuangkan kebahagiaan. Kita, setiap kita, berhak untuk bahagia.

By: Gus Candra