Sekecil Apapun Kebahagiaan mari kita rayakan dengan ngopi!!!!!

Rabu, 05 November 2014

ALLAH YANG MENGATUR, BUKAN KITA

Alangkah lebih baik jika kita berprasangka baik kepada Allah. Dia Maha Pengampun. Andai dosa manusia pertama hingga manusia terakhir dikumpulkan, dan dimohonkan ampunan, niscaya tidak mengurangi senoktah saja AmpunanNya. Manusia memang bangsa yang melampaui batas, namun samudera ampunanNya teramat luas hingga tak terjangkau apa pun. 

Jika Kasih Sayang Allah saja melampaui KemurkaanNya, mustahil sebesar-besarnya dosa besar makhluk akan bisa melebihi AmpunanNya. Allah berfirman dalam Q.S. Az Zumar: 53,"Katakanlah: wahai hamba-hambaku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun dan Maha Penyayang."

Siapa yang sanggup melawan Allah? Seandainya seluruh umat manusia bersatu untuk menciptakan tuhan baru, tiadalah satu keberhasilan saja akan tercapai. Tuhan tidak perlu dibela, sebagaimana yang pernah ditulis oleh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), sebab tiada sekutu, tiada seteru, bagiNya. Di hadapan Allah, segalanya lemah, menyerah, kalah, musnah.  

Allah itu Maha Esa, dan kita wajib memurnikan KeesaanNya yang demikian tanpa pertanyaan, tanpa perlawanan, dengan segala keniscayaan yang mutlak dalam KekuasaanNya. Allah bukan sama, bukan pula berbeda, dengan siapa pun yang adalah ciptaanNya -- dalam pengertian manusia yang serba terbatas. Maka, segala yang sama dan yang berbeda itu bersifat jamak, lebih dari satu, dan ia bukan Tuhan.

Jika manusia saja masih terus mencari dan menambah pengetahuan, mengembangkan pengetahuan melalui penelitian dan penemuan, bagaimana bisa ia menyetarakan diri atau disetarakan dengan Allah Yang Maha Tahu. Allah itu Maha Awal, Mula dari segala permulaan. Allah itu Maha Akhir, Azali Abadi nun tak terhingga dan tidak selesai. Tidak bertambah, tidak juga berkurang, namun tidak bisa kita menyebutNya bersifat tetap. 

Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dia Maha Menciptakan, namun bukan ibu kehidupan. Dia Maha Mencukupi, namun juga bukan ayah kehidupan. Allah bukan laki-laki, bukan perempuan, bukan gender tertentu, dan Dia tak terucapkan dengan kata, makna, dan suara. Tak tergambarkan dengan lukisan, tulisan, dan bunyian. Raden Tanoyo dalam mensarikan Serat Wirid Hidayat Jati karya Kanjeng Sunan Kalijaga menyebutNya: tan kena kinaya ngapa, tiada dapat diperumpamakan dengan apa pun.

Para leluhur kita telah membahas tentang perilaku tauhid dalam memurnikan Keesaan Allah dengan teramat indah. Ini senafas dengan Q.S. Al Ikhlash: 4 yang berbunyi,"Tiada yang setara dengan Dia."
Ya, Allah Maha Satu. Satu-satunya Satu. Tiada berdua, tiada mendua, tiada diduakan. Dia tiada banding, tiada tanding, tiada sanding. Tidak ada permisalan bagiNya, tiada pula bagi perumpamaan.

Dalam berperikehidupan, terutama dalam menyembah Allah, Hamba-lah yang membutuhkan Tuhan, dan bukan sebaliknya. Allah adalah Allah, tak tergantikan. Tidak ada Tuhan baru, sebagaimana tidak ada Tuhan lama. Dia tidak terkungkung oleh ruang dan waktu yang adalah ciptaanNya. Dia berhak, berkehendak, berwenang, berkuasa penuh untuk berbuat sesukaNya. 

Kehendak Allah adalah segala-galanya. Seluruh makhluk, takluk. Pilihan kita hanya satu: berserah. Kita berdiri, duduk, berbaring di atas permukaan bumi, dan di bawah hamparan langit yang sama, dan gulita jika tanpa CahayaNya. Dialah yang memilih siapa yang DianugerahiNya penerangan dan keterangan dan siapa yang dibiarkan tetap dalam gelap. Allah itu Penguasa segalanya. Apalah kita tanpaNya. Selagi masih ada umur, mari berhenti melawan, segera berserah diri, ruku’, sujud. 

Percuma kita mengagungkan prestasi, itu karya Ilahi. Kehormatan, kekuasaan, kemulian, kekayaan, adalah dari Allah. Kepada kita mudah bagiNya memberi, semudah dari kita bagiNya mengambil kembali. Pun demikian kehinaan, Dia yang kuasai. Dia Maha Berkehendak, dan bahkan tiada yang bisa menahanNya menghapus KehendakNya sendiri jika itu yang Dia kehendaki. Suka-suka Dia. Alam semesta ciptaanNya sendiri. Makhluk ciptaanNya sendiri. Tak ada yang bisa mempengaruhiNya untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Dialah Sang Maha Pengatur, tak ada yang bisa mengaturNya. 


Gus Candra

Selasa, 04 November 2014

SEMESTA MANUSIA

Semesta memiliki caranya sendiri untuk merawat kehidupan dan memilih siapa dan apa saja yang bertahan hidup di lingkarannya. Seleksi alam menghendaki siapa yang kuat, maka dialah yang selamat. Tidak hanya kuat secara fisik, namun juga psikis. Tidak cuma akal, tapi demikian pula hati. Rimba belantara tidak selalu dalam wujud hutan raya, melainkan juga segala misteri di dalamnya. Dari masa ke masa, perubahan pun berubah. Di dunia, keselamatan tak berusia abadi.

Dan, semesta yang sesungguhnya adalah diri ini. Diri kita sendiri ini. Di dalamnya hidup hutan raya dengan keanekaragamannya. Watak-watak binatang menjelma nafsu-nafsu manusia dan karakter-karakter tumbuh-tumbuhan dari akar hingga buahnya menyerupai pertumbuhan jiwa kita. Suara-suara dari ruang-ruang kosong dalam diri bagai bisikan dan raungan dalam hutan, yang entah dari mana sumbernya. Timbul-tenggelam dalam bentuk pikiran dan perasaan.

Ya, manusia adalah jagat, yang bahkan lebih agung dibanding alam raya yang tergelar. Diri manusia mengandung samudera yang dari sanalah terbetik peribahasa "dalamnya lautan bisa diukur, dalamnya hati siapa tahu?". Diri manusia mengandung angkasa lepas, yang sampai-sampai untuk menegur kesombongan pun terlahir idiom "masih ada langit di atas langit". Sebesar-besar perang, jika mengutip Muhammad SAW, masih lebih besar perang melawan diri sendiri.

Sebelum Allah mendaulat manusia sebagai khalifah fil ardli, pemimpin di bumi, Dia menetapkannya sebagai makhluk paling mulia karena dibekali akal. Bahkan, Muhammad bersabda," Sesungguhnya Allah menciptakan Adam sebagai CitraNya." Dan, dalam Q.S. Al Baqarah: 31, Allah berfirman," Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhnya." Betapa mulia kedudukan manusia, apalagi jika ia diterima di sisiNya selagi masih hidup. Inilah kedudukan manusia bertakwa.

Segala sesuatu bermula dari Allah dan berakhir untuk kembali padaNya. Manusia menjalani fitrahnya, pun Allah memiliki FitrahNya sendiri dan segala sesuatu indah pada WaktuNya. Salah satu di antara seleksi alam yang kerap membuat manusia gagal mencapai kedudukan Insan Kamil atau Manusia Paripurna adalah musibah. Kesedihan, kesengsaraan, kenestapaan, dukalara, dan entah apa lagi namanya, tak sulit mencerabut keyakinan manusia atas Allah. Ia meragu, bahkan putus asa.

Sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Al Baqarah: 155, Allah memberi manusia musibah berupa ketakutan, kelaparan, dan serbaneka kekurangan, tapi hanya orang-orang yang sabar yang berhasil melewati etape ini. Bagi mereka, babak ini sangat penting untuk memahami ajaran tentang segala sesuatu berasal dari Allah dan kembali padaNya. Yang tidak merasa memiliki, ia tidak merasa kehilangan. Yang sadar bahwa dirinya adalah milik Allah, ia tak punya rasa memiliki. Makhluk adalah propertiNya.

Sangat jelas Q.S. Ath Taghabun: 11 menyebutkan," Tidak ada musibah kecuali dengan izin Allah." Menerima musibah dengan baik adalah sebaik-baik pilihan. Jika kesabaran ada batasnya, kesetiaanlah yang menjadi garisnya. Dan, manusia penyabar adalah ia yang tetap berada di dalam garis itu. Tabah dan setia mendengar dan melaksanakan PerintahNya dan menjauhi LaranganNya. Pada mereka inilah, Allah memberikan keberkahan yang sempurna, rahmat dan petunjuk.

Dari penyair W.S. Rendra, siapa pun bisa belajar betapa kebahagiaan dan penderitaan adalah sama saja. Dia pernah pula mengatakan,"Kesadaran adalah matahari, kesabaran adalah bumi, keberanian menjadi cakrawala, dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata." Sang pujangga memiliki  kesimpulan sama bahwa manusia-lah semesta sesungguhnya. Perusakan, sebagaimana pembangunan, berada di tangan manusia sebagai pemimpin bagi dirinya sendiri maupun bagi bumi.

Manusia digambarkan lebih kuat daripada gunung sehingga Al Qur'an diturunkan padanya. Dalam Q.S. Al Hasyr: 21 dilukiskan betapa gunung akan hancur terbelah jika menerima ayat-ayat suciNya. Jika "awwaluddin ma'rifatullah" atau beragama dimulai dengan mengenal Allah, dan untuk mengenal Allah berlaku prinsip "man arafa nafsahu faqad arafa Rabbahu" atau siapa kenal diri maka ia kenal Ilahi, setiap manusia perlu mengenal seisi rimba belantara di dalam diri.


Gus Candra.