Sekecil Apapun Kebahagiaan mari kita rayakan dengan ngopi!!!!!

Jumat, 22 April 2016

Ziarah Batin

Allah dikenal melalui tajalli-Nya, dan/atau Asma-Nya. Dalam satu pengertian, tajalli-Nya adalah “segala nama” yang diajarkan kepada Adam. Dalam pengertian lain, tajalli-Nya adalah ciptaan-Nya yang beragam, dan tajalli-Nya yang paling sempurna adalah dalam bentuk manusia, dengan totalitas eksistensinya. Karena itu, dalam diri manusia “tersimpan” Nama-Nama Allah yang senantiasa “menggerakkan dan mengawasi ” manusia dengan seksama. Melalui Asma Ilahi inilah ditetapkan relasi manusia dengan Tuhannya. Karena itu, dalam konteks ini, dapat dikatakan ada “jejak” (atsar) Ilahi dalam diri manusia yang kelihatan (lahir) maupun yang tidak kelihatan oleh mata dan pikiran (ghaib).

Tetapi, dengan alasan yang sepenuhnya hanya diketahui Allah Subhanahu wa ta’la, atsarilahi itu bisa tidak terasa, tidak disadari atau pudar dalam kesadaran manusia; ini terjadi ketika manusia lebih memperturutkan hawa nafsunya ketimbang berusaha merenungi, memahami dan mempertahankan kecemerlangan jejak Tuhan dalam dirinya. Oleh karena itu Jejak Ilahi yang rahasia ini dari waktu ke waktu seharusnya dijaga hingga sampai pada titik di mana jejak itu terukir atau menetap dalam ingatan dan hati. Dalam ajaran tasawuf, caranya adalah dengan melanggengkan zikir.

Zikir adalah membangkitkan sekaligus mengukir atsar Ilahi dalam diri, dari tingkatan hukum ilahi hingga ke Zat-Nya. Sebagian sufi mengajarkan paling tidak ada empat tingkatan zikir: lisan, hati, sirr dan ruh. Pemula pada awalnya berzikir dengan lisan tanpa kehadiran hati; jika ia istiqomah, maka ia akan berzikir dengan lisan dan hati tanpa kehadiran sirr; jika istiqomah, akan meningkat pada zikir lisan hati dan sirr tanpa kehadiran ruh. Dan bila ia sampai ke zikir ruh, maka tiga organ spiritual lainnya diam, dan pezikir akan tenggelam dalam zikir hingga tak ada sesuatupun yang diingatnya, dan bahkan tak ingat dirinya sendiri, hingga yang tersisa adalah  ingatan tentang Tuhannya. Dan ketika ia tak bisa mengingat lagi tentang ingatan pada Tuhannya, maka siapa yang bertahta? Tak ada lagi ruang untuk mengingat zikir itu sendiri. Maka pezikir tak lagi menjadi “yang mengingat” atau tidak lagi pihak yang berzikir, tetapi ia menjadi “yang diingat” atau yang “dizikiri” oleh Allah. Pada maqam inilah atsar Ilahi terukir dengan kuat dan cemerlang, tak lagi terhijab. Pada tingkatan selanjutnya, atas perkenan dan izin Allah, ketika pezikir kembali sadar, ia seolah-olah telah “menyegel” jejak itu dalam dirinya, sehingga dalam setiap tarikan nafasnya dia selalu sadar dan ingat kepada Allah.

Dalam ajaran sebagian tarekat, misalnya Naqsybandiyyah,  penyempurnaan dan penyegelan ini dicapai dengan zikir diam (dzikir khafi) — sebab zikir dengan diam itulah seseorang bisa terus berzikir meski dalam kesibukan dunia. Ini adalah salah satu dari 11 prinsip Tarekat Naqsybandiyyah: khalwa dar anjuman (menyendiri [berzikir diam] dalam keramaian). Karena pada hakikatnya akar dari atsar itu adalah Zat-Nya, dan Zat-Nya juga “hadir” dalamatsar itu, maka sebagian Sufi memilih berzikir diam dengan menyebut Ism al-Dzat, yakni “Allah.” Mereka mengulangulang asma ini dalam hati, dengan diam, tanpa diketahui orang (sebab hakikat Zat itu tetap rahasia), terus-menerus tanpa henti sehingga Nama itu “tercetak” atau “terukir” dalam hati dan kemudian, seperti disinggung di atas, sampai pada titik ia bisa menyegelnya dalam hati — mencapai kondisi diri yang tak pernah pisah dari zikir. Inilah makna dari Naqsyabandi —Naqs adalah ukiran, efek, yang tercetak pada hati; dan band adalah segel, mengikat. Pengikut Naqsybandiyyah yang sejati, karena itu, dikatakan adalah orang-orang yang menyempurnakan atsar ilahi dalam dirinya. Mereka adalahahlullah, atau rijalullah — “orang-orang Tuhan.” Merekalah yang disebut ALlah:ana jalis man dzakarani, “aku bersama orang-orang yang selalu mengingat-Ku.”

Tetapi karena jalan menuju Allah itu beragam, maka teknik zikir khafi tidak selalu sama dalam setiap tarekat. Misalnya, sebagian guru sufi lebih menganjurkan menyebut ism al-dzat “Allah” dengan melafalkannya, atau dengan bersuara, sebelum kemudian diam mengawasi pergerakan zikir lain yang “mengalit dalam hati dan pikiran,” semisal zikirHu atau yang lainnya. Tarekat Qadariyyah, misalnya, lebih mengutamakan zikir membaca kalimat thayyibah (la ilaha illa Allah) dengan bersuara. Semua itu tujuannya sama, yakni membersihkan jiwa (tazkiyatun nafs) melalui kekuatan doa dan dzikir. Riyadhah dan mujahadah dengan berzikir akan membawa salik (pejalan ruhani) untuk menelusuri relung-relung batin yang selama ini diabaikan. Dengan berzikir, salik akan menempuh jalan yang sulit dan lembut, di mana ia akan terus berusaha agar hatinya selalu mengingat apa-apa yang dilupakan oleh pikirannya. Melalui zikir salik akan berjalan ke dalam, menelisik diri sendiri, agar mampu mengenali apa, bagaimana, dan siapa sesungguhnya dirinya sendiri, sebab dengan cara itulah salik baru bisa mengenali Tuhan –man arafa nafsahu fa qad arafa rabbahu. Perjalanan ke dalam adalah perjalanan dari lahir ke batin ke rahasia (sir). Mengenali diri berarti mengenali semua aspek dari yang lahir dan tak rahasia hingga ke rahasia, sebab Allah berfirman dalam hadis Qudsi,al-insaanu sirri wa ana sirruhu(insan adalah rahasia-Ku, dan Aku adalah rahasia insan). Manusia “mengandung” rahasia Allah, dan karenanya ia mendapatkan “amanah” untuk berusaha mengenali dan menjaga rahasia Allah. Dengan mengenali rahasia dirinya itu maka manusia atau insan akan dapat mengenal Rabb-nya.

Oleh karena itu, zikir, dalam satu pengertian, adalah juga doa, karena melalui zikir kita mengaku bahwa kita tidak akan bisa membersihkan jiwa hingga ke unsur-unsur rahasia dalam diri insan tanpa pertolongan Allah melalui jalan-jalan dan petunjuk yang telah ditentukan-Nya melalui risalah yang diajarkan kepada Kanjeng Nabi Muhammad dan diwariskan kepada para penerusnya yang alim lagi berakhlak mulia.