Segala makhluk dicipta berbeda. Hanya satu yang sama. Selaras. Yaitu rasa. Ia berumah pada hati. Pada rumah yang tak pernah menutup pintu.
Rasa itu bernama penyesalan. Tak ada yang tak memilikinya. Ia berbahasa sama: bahasa gelisah. Ia suka bicara sendiri. Tentang sedih dan takut.
Pada Cak Nun, saya belajar: puasa adalah menahan "Ya" dan mendaras "Tidak". Sebab, selama ini kita melulu mendaras "Ya" dan bukan "Tidak".
Tiap diri adalah ayat Ilahi. Ia tidak tak bermakna. Tiada yang dicipta sebagai sia sia. Satu satunya yang tiada adalah kesia siaan tersebut.
Tiap diri adalah pusaran Ilahi. Ia tidak tak bergerak. Segalanya berputar berporos. Tiada yang menjauh dari urat lehernya sendiri.
Tiap diri adalah ayat Ilahi. Ia tidak tak bermakna. Tiada yang dicipta sebagai sia sia. Satu satunya yang tiada adalah kesia siaan tersebut.
Tiap diri adalah pusaran Ilahi. Ia tidak tak bergerak. Segalanya berputar berporos. Tiada yang menjauh dari urat lehernya sendiri.
Tiap diri adalah citra Ilahi. Ia tidak tak berjiwa. Tiada yang dicipta tanpa raga. Segalanya memiliki bentuk. Cerminan Yang Maha Wujud.
Tiap diri adalah cerminan Ilahi. Ia tidak tak melihat. Tiada yang lebih ia rindukan dari melihat yang Becermin. Temu pandang. Sawang-sinawang.
Tiap diri adalah masjid. Ia tidak tak bersujud. Tiada yang dicipta tanpa sisi gelap, tanpa bayangan yang tunduk. Segalanya takluk pada Cahaya.
Tiap diri adalah sisi Ilahi. Ia bukan arah bukan tujuan. Tidak di utara-selatan-timur-barat dirinya sendiri. Ia tepat di dirinya sendiri.
Segala cerminan adalah pantulan perbuatan.
Tiap diri merindu Ilahi. Ia tidak tak kesepian. Tiada yang dicipta sebagai dua. Ia menyatu tapi tidak menjadi satu. Tak pula menjadi Satu.
Tiap diri merindu Ilahi. Rindu-dendam yang kekal. Seperti rindu dada pada punggung. Menyatu tapi tidak menjadi satu. Berjumpa tapi berpisah.
Apalah kaki jika tanpa bumi untuk berpijak?
Apalah sayap jika tanpa angkasa untuk terbang?
Apalah diri jika tanpa jati untuk bercermin?
#guscandra