Iman dibangun atas empat pilar keyakinan. Yaitu ilmal yaqin atau
percaya berdasarkan pengetahuan, 'ainul yaqin atau percaya berdasarkan
pandangan langsung, haqqul yaqin atau percaya berdasarkan pengalaman
pribadi, dan ikmal yaqin atau percaya berdasarkan keterlibatan mendalam.
Ilmal yaqin dapat diibaratkan sebagai mula-awal belajar. Seorang Sufi
menimba ilmu dari siapa pun, terutama dari gurunya, tentang sesuatu
hal. Sebagaimana seorang pehobi masak mencatat resep masakan dari
seorang Chef. Jika berhenti hanya pada menimba ilmu, apalagi jika
sebanyak-banyaknya, maka semakin banyak ilmu justru semakin berat beban
hidupnya.
Para Sufi memiliki analogi yang satir, yaitu betapa pun seekor
keledai menarik segerobak ilmu, toh ia tetaplah seekor keledai. Semakin
banyak ilmu, jika tak diwujudkan menjadi amal, maka alih-alih membawa
manfaat, ia justru menimbulkan madharat bagi penghimpun ilmu itu
sendiri. Oleh karenanya, ilmal yaqin harus dilanjutkan dengan 'ainul
yaqin.
Kita bisa belajar dari kopi. Setelah mencatat bahwa secangkir kopi
dibuat dari setuang air mendidih, setakar bubuk kopi, dan gula
sebutuhnya, seorang Sufi harus melihat sendiri apa itu air, kopi, dan
gula. Tak cukup baginya hanya mendapati air, kopi, dan gula sebagai
susunan aksara. Hanya teks, dan bukan konteks.
Sesuai fitrahnya, kopi diseduh atau disajikan dengan ampasnya, dengan
cangkir, bukan gelas. Tapi, mengapa harus demikian? Seorang Guru
Tasawuf saya mengatakan," supaya kau seolah memegang kuping sendiri saat
memegang kuping cangkir."
"Setelah kuping terpegang dan kopi mendekat, kau aktifkan lidah
sebagai indera penyesap dan hidung sebagai indera pencium," lanjutnya.
Mata sebagai indera penglihat akan menatap ke arah suwung tertentu,
ketika kopi kita sesap dan seketika aromanya kita hirup. Segera panasnya
secangkir kopi itu membuka pori-pori kulit, sehingga pendek kata:
hiduplah seluruh lima indera dalam diri.
Inilah mengapa tatkala mengaji Tasawuf, seorang murid disuguhi
secangkir kopi oleh sang mursyid. Lebih pahit lebih baik bagi indera.
Seolah belum Sufi jika belum ngopi. Dan, memang demikianlah tradisi
ngopi bermula: dari para Sufi yang melek semalam suntuk.
"Tahu dari mana itu kopi?" tanya Guru Tasawuf saya, suatu malam. Ia
berseru,"siapa tahu aspal? Toh sama hitamnya sama pekatnya. Minumlah!"
Segera saya sesap secangkir kopi itu, saya rasakan dengan tamat, lalu
saya jawab,"Ini benar kopi, Kiai. Yakin seyakin-yakinnya."
Guru saya itu berwasiat, iman dibangun setidaknya dengan empat
keyakinan: 'ilmal yaqin, 'ainul yaqin, haqqul yaqin, ikmal yaqin. "Ilmal
yaqin adalah yakin berdasar pengetahuan. Tahu secangkir kopi diracik
dari air mendidih, kopi, dan gula dalam takaran tertentu. Namun,
cita-rasa tak cukup hanya dari resep di atas kertas. 'Ainul yaqin adalah
yakin berdasarkan kesaksian. Melihat kasunyatan," katanya.
Melihat sendiri,"O, ini yang disebut air mendidih. O, ini bubuk kopi.
O, ini butiran gula." Nyata. Bukan lagi teori, bukan ilusi. Tapi,
melihat saja pun tak cukup. Haqqul yaqin adalah yakin karena mengalami
sendiri. Memasak air, meracik kopi. Terlibat prosesnya. Puncaknya
keyakinan adalah ikmal yaqin, yaitu yakin karena merasakan sendiri.
Menyesap kopi dan merasakan sensasinya.
Ini kopiku, mana kopimu?
#SulukSufi By: Gus Candra