Awal kemunculan wayang di Jawa menjadi bukti akulturasi budaya.
Sekaligus menjadi media penyebaran agama Islam bagi wali songo terkhusus
Sunan Kalijaga sebagai pencipta wayang –punakawan.
Akan tetapi, tingginya arus globalisasi sedikit demi sedikit menggeser
dunia pewayangan di Indonesia. Penulis amati, agaknya globalisasi yang
tengah hangat ini mampu menggantikan pewayangan yang sejak dahulu ada.
Tidak dapat dipungkiri, kecenderungan memilih melihat konser band luar
negeri dibanding budaya sendiri, wayang. Padahal, epistemologi
pewayangan Indonesia jauh di atas produk globalisasi tersebut. Nilai
yang terkandung melebihi dari sekadar alunan syair kontemporer saat ini.
Wayang yang selama ini kita sanggap jadul ternyata menyimpan keindahan filosofi pada setiap tokohnya. Penulis teramat berkesan dengan keindahan tokoh Punakawan yang kerap mewarnai pementasan wayang di Indonesia. Bahkan menjadi idola bagi para penikmat wayang. Ternyata 4 pandawa Punakawan mempunyai filosofi luhur yang diambil dari bahasa arab.
Tokoh Punakawan yang terdiri atas Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong ini mempunyai nama yang diambil dari bahasa arab. Semar dari kata Syimar, Gareng (Khairan), Petruk (Fatruki) dan Bagong (Bagho). Keempat kata arab tersebut jika digabungkan mempunyai makna Syimar Khairan, Fatruki Bagho yakni “sebarkan kebaikan, jauhi kejelekan”. Selain itu, Semar juga mempunyai semboyan “Begegeg Ugeg Ugeg, Mel Mel Sadulito”. Jadi orang harus kokoh, jangan mudah goyah, harus teguh pendirian. Menuntut ilmu sedikit demi sedikit, tapi tanpa henti. Sungguh keindahan filosofi dan itu warisan luhur bangsa kita sendiri.
Penulis semakin bergairah mencintai
Indonesia lewat budaya wayang. Ini dikarenakan, tokoh Punakawan tidak
hanya menjadi stimulus dunia wayang, tetapi membawa nilai-nilai luhur
melalui sifat yang mereka punyai. Semar, sebagai sang bapak bagi ketiga
pandawa. Meski berpenampilan jelek, ia merupakan simbol kebaikan.
Mempunyai kesaktian, kedalaman ilmu, dan kearifan jiwa.
Gareng, dalam kisahnya menjadi simbol manusia pandai. Namun, kepandaiannya itu tidak diikuti dengan kecakapannya dalam mengemukakan pandapat. Berbeda dengan Gareng, Petruk menyimbolkan manusia yang banyak bicara akan tetapi tidak sepandai Gareng.
Terakhir Bagong, merupakan bayangan dari Semar. Bagong mempunyai pribadi
lancang, suka mengemukakan kritikan pedas dan penuh kebijakan. Hampir
mirip dengan para pemimpin di negeri ini yang penuh kebijakan. Tapi
sayang, realisasi yang masih belum optimal.
Dari keempat pandawa di atas, ada satu tokoh yang kiranya mampu menjadi
panutan bagi para pemimpin negeri. Tokoh itu ialah Semar Bodronoyo.
Sosok yang mempunyai kadigdayan, kasekten, spiritualis, serta sebagai
sosok pemimpin yang kharismatik dan rasional.
Semar merupakan tokoh spiritual yang selalu ada di balik layar sebuah
dinamika dan mekanisme yang adil dan demokratis. Menariknya, Semar akan
segera pergi begitu mendapati kekuasaan dijalankan dengan corrupt dan
tidak adil (diskriminatif). Dalam ceritanya ia berteman dengan seluruh
imperium di dalam kekuasaan dunia dan pusat kekuasaan teologis para
dewata di kahyangan joggring saloka.1)
Tokoh tersebut adalah hasil kebudayaan Indonesia, sejak dulu hingga
sekarang kita kenali. Ironisnya, apakah para pemimpin kita sudah
melupakan arti penting dari kebudayaan tersebut?
Epistemologi punakawan tidak akan menjadi filosofi kering jika kita
sebagai generasi peradaban mampu memaknai dan menerapkan dalam kehidupan
nyata. Punakawan haruslah menjadi tuntunan bagi generasi bangsa.
Menambah kecintaan masyrakatnya terhadap keluhuran budaya.
Sungguh budaya yang mampu memikat hati penulis. Memahami, mengapresiasi,
serta menjunjung tinggi, inilah caraku mencintai negeri.
Sumber : Mulkhan, Abdul Munir. 2003. Dari Semar ke Sufi. Yogyakarta: Al Ghiyats.